Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Dan Tak Ada Jalan Lain

à G.M. AKU keluarkan KAU dari derita dari perut busung orang-orang akan berdoa mereka siap mati siap berair mata "inilah doa! matikan lampu dan biarkan kami hidup dengan mimpi!" tanda cahaya perlahan akan hidup dari dua jalan yang rahasia ini sebuah sungai panjang mengalir. Jakarta, Desember

Dalam Dekade

à Sitor Situmorang seperti apakah lagu? --seperti luka di dalam benakmu ENGKAU berkata pada cermin angin menyampaikannya padaku tidak ada yang boleh ragu sebab ENGKAU yang dikenal tumbuh bersama sepotong kayu walau pun terkelupas syarafmu yang satu tetap di dalam perahu di atas tanah air mengalir ikan-ikan hidup dan bertelur Jakarta, Desember

7h 30

Kita mesti berlari jauh Matahari yang bulat dan bulan yang pucat Akan segera menghabisi   waktu Dan bagi siang yang mencintai burung-burung di langit Dan malam yang membangunkan suara-suara dari kegaiban Tiba-tiba kosong dan terluka Jakarta, '11

Aforisme Hari Ini

- bagi yang bernafas dengan bau dan warna kuning menyengat kereta api adalah sepotong keju yang tumbuh di perut kita -- kemudian setangkai mawar yang menyelinap di kelopak mata adalah manusia dengan kening basah Depok, 2011

Dari Ruas Tol

: Tomas Transtromer menghindari banyak nama dari jalan yang menyilang dekat rumah meski tengah malam dan siang sedikit sama teriakan kita akan terasa lebih melengking dan istimewa ketimbang teriakan anak kecil berusia lima belas tahun yang berpikir sudah banyak mengenal usia dari kedua tangannya yang menggenggam sepasang lolipop ulat dan semut merah benyanyi bermain musik meski di kota sudah banyak pemusik yang berjalan kaki menuju bis kota untuk menjual suara musik dan suara mereka "kami butuh malam dan siang yang bisa disimpan dalam saku" . . . kemudian mereka masuk lewat pintu dari tiap-tiap wajah penumpang yang kehabisan oksigen dengan sepotong koin emas berangka lima ratus rupiah mungkin cukup menutupi perut yang bocor dan basah Jakarta, Oct 2011 : ditujukan pada puisinya yang berjudul Open and Closed Space

MAHASISWA

: Ganjar A. Sudibyo berulangkali aku jatuh cinta pada bulan yang rontok dari wajahmu yang berpaling dan jauh kunang-kunang bermain cahaya pohon hilang di dalam gaun aku jatuh cinta pada bulan yang rontok yang sesekali mengatupkan mata "mari bercinta mari membuka dada mari bersembunyi di bawah cahaya sebelum hujan matang di tubuh kita!" Jakarta, Sept 2011

Une Ile

: Kinu  kita baru saja menciptakan langit awan tersenyum melihat kita dari perut yang buncit entah kenapa tak ada mata lain selain mata kucing yang jauh di sana berkali-kali mencoba menewaskan kita dengan sepuluh cakarnya bau kerupuk dan metafor mengelabui kita dalam perahu mengayuh darisatu sampan ke sampan berikutnya sesekali kita mengeluh pada rintik dan jerami tempat kita menjatuhkan jarum jam kia bertengkar saling memaki dan baling-baling berhenti    Jakarta, Sept 2011

3 Menit Sebelum Berhenti dari Kereta

: Herpinus Simanjuntak ada yang tak ingin kita lupakan sebuah nama yang menengok dari belakangmu yang kau teriakkan berkali-kali lewat suara yang berasal dari suara dan kematian yang begitu dekat seperti musim gandum hilang sebelum cahaya s'il vous plait, mounseour! silahkan tuan! untuk kedua kalinya kita berbicara mengenai bahasa yang gaib yang lekas musnah a bientot! selamat jalan! kita memang tak mesti hidup sekarang kita mesti berjalan dulu mencari jalan pulang Jakarta, Sept 2011

KEMBANG API

seperti mimpi anak kecil yang bermain kita terus bermain dan melompat melewati pagar yang ada pada mulut kita mengajak dunia menjadi bola yang berputar mengajaknya semakin liar dan nakal dari kedua mata kita angin bergerak ke utara menggiring sepasang burung yang sedang terbakar lautan matahari menuju sepasang bukit yang terbakar pula di kaki gunung yang tidak begitu jauh kita menyaksikan awan bergerak dengan seksama sesekali kita petik beberapa buah hujan yang tumbuh di atas langit kita kumpulkan gemuruh kita jadikan suara di telinga untuk di dengar kita tak pernah bertanya kapan doa menjadi lelah kapan amin menjadi prasangka di atas tengadah setelah kita tidur kembali menghadap langit yang mulai reda Jakarta, Sept 2011

Puisi Bilingual

A Game A fish jumps from thy chest A little funny boy squirms An old woman sleeps soundly From the mouth of soaking a lizard chills loving the winter in the refrigerator living a little longer in the ice trees of lie begin to grow a fatty goat kept chewing the leaves a mother down the hill a blade attached at the hip a ran and killed sheep of a green fields a name to the poem lie to lie something that can be said to be free of fifty years ago merely be an abomination rivers flowing from the hands of from the river widens into the estuary a puzzle began to play Permainan Seekor ikan melompat-lompat dari dadamu Seorang lelaki kecil menggeliat lucu Seorang wanita tua tidur nyenyak Dari mulutnya yang kuyup seekor cicak menggigil mencintai musim dingin di kulkas bermukim sedikit lebih lama dalam kebekuan pohon-pohon kebohongan mulai tumbuh seekor kambing yang gemuk terus mengunyah daun-daunnya seorang ibu turun dari bukit sebuah pisau yang terikat di pinggul seekor domba berlari d

Suatu Ketika di Laut Lepas

i Seketika kita mesti hanyut Berenang lebih dalam di mana gelombang pesisir yang kacau Setidaknya pagi ini sampai di pantai ii   Seorang anak wanita yang terkapar Dengan wajah memar Memeluk boneka yang juga ikut hanyut bersamanya Serupa buah anggur Maka ia tersenyum sambil membayangkan Beberapa yang rontok Akan matang tepat di atas tangannya   iii Sebuah perahu dengan seorang lelaki yang baru saja menghadap ke utara Wajahnya yang terbenam matahari Diam-diam mengelupas Ia keluarkan seekor ular yang baru terbakar Sebab ia yang habis basah di air laut Merasa ingin hidup dengan insang yang lunak Dari seekor ular yang hangus itu Tumbuhlah sayap yang gagal Sebuah insang yang menyelinap tumbuh dan membesar Jakarta, Ogust 2011  

Yang Mesti Dikatakan

kita tak sedang berbicara mengenai disket berisi adegan penyanyi saling memukuli penontonnya, Adinda. kita pun tak sedang menonton seorang pemain sirkus sedang telanjang dan menari-nari di atas papan bertali.  demikian yang mesti kukatakan padamu sebelum berkali-kali ingin menuang air dalam gelas yang pecah. sepasang jendela terbuka, matahari yang panas, lampu diskotik tidak menyala, deretan mall ibukota, tidak dapat melunasi pembayaran tiket tidur nyenyak kita malam ini. mimipi-mimpi yang putus pada seekor cicak, menyembunyikan mataku yang bergerak. menghisap keringatmu dari rasa dan bau, apakah mesti begitu mimpi berlaku adil padaku, Adinda? 2011, Ogust

KANSAS

lepaskan aku dari cinta sebab aku ingin menjerit suara-suara mesin penggiling yang berkeliaran di dekat kamar mengganggu mimpiku yang merdeka dengan nasibnya sepotong apel dari kebun yang tumbuh di atas leher melarangku bernafas sedang di bibirmu aku tersedak merindukan bulan bukan lagi sekedar merindukan namamu yang masih harum bersama wangi kegelisahan Bale, aku tak ingin pulang pada paruh penari yang menjual pinggulnya aku ingin hidup lepaskan aku dari cinta sebab aku ingin menjerit aku ingin hidup lepas dari cinta 2011, Ogust

21.15

: piy dari sepucuk surat dan dingin tembaga, seorang ibu dengan sebakul derita menggali liang di matanya "untuk anak-anakku kalau tumbuh dewasa" begitulah katanya ketika kami bersiap-siap membagi mimpinya dan mimpi anaknya agar bisa bangun dan merayapi tugu batu di tengah kepalanya yang kopong dan jingga "barangkali ibu juga tak mau sia-sia. mengenai hal menggali seperti ini, ibu sudah terlatih sejak kecil dalam buaian. ibu masih ingat saat itu hujan turun sendirian. daun masih tumbuh di batang" sebab itulah kenangan berbicara dengan panjang. dengan sabar ditelannya tubuh kami perlahan. wajah kami tenggelam. tangan kami melambai, memeluk angin, menggendong segenap gemuruh di langit yang tengah gerimis -- tahoen Dua Nol Sebelas

Inception

T etapi kita melihat pada jalan yang lolong dan langit tanpa malam di atas kepala. Tetapi kita hirup sesak napas dan debu dan deru berupa gas alam yang hancur kesabarannya untuk tetap hidup di antara tipis daun di bukit atas kepala. Tetapi kita yang mendengar lagu dan menulis lagu dan suara dan lagu parau, dari tenggorokan kita yang terluka oleh kata dan bedil kata yang nakal bermain-main dengan pisau, kekecewaan mengalir menjadi darah di atas kepala. Tetapi kita yang hilang jalan sepulang bepergian di pasar swayalan dengan sepotong peta yang kita lentangkan dadanya selebar lautan yang meminum tetumbuhan dan tanah dan ranah, menuju kedalaman nubuat hingga menjadi makbul doa dan mantra di atas kepala. Tetapi kita yang menengadah tangan ke arah utara, di mana hidup awalnya muncul karena derita dan kesepian, telah menjadi-jadi bersama-sama raung yang dalam di atas air danau hijau di atas kepala. Tetapi kita tak mengerti apa-apa. Selain remuk keinginan yang tumbuh dewasa dan liar b

HAMMOCK

Ever found a lady And a man One in a hammock Between two palm trees And a scissor under a leaf Ever found a lady And a man And his legs Cut down under the lips Of a kissing before the long road Sees the winding wind Ever found a lady And a man Of sleeping nor night and day One must be awaken up No longer after the name were framed Inside a lady And a man 2011

Perihal ORANG

: Gie ORANG lahir dari suara anjing dari patung yang menuang air ORANG hidup dengan setangkup payung di atas kepalanya dengan sepasang pipa susu yang mengalir dari bukit hijau yang beku ORANG memakan daging lewat sebilah pisau runcing di hutan ketiak yang bau ORANG memancing seekor ikan mirip belalang mirip kesabaran api panggang di tengah unggun sebelum jadi abu ORANG mulai khawatir melihat petir sebagai musuh yang dikirim Tuhan melihat makam di atas langit angin berteriak lewat knalpot kendaraan ORANG yang tak ingin pulang : bertikaman maut di tengah jalan sebelum gerbang rumah bersitegang  nyala lampu yang nyaris telanjang 2011

Stoikiometri

B entara dan pulau dari lima puluh lima kilometer batok kepala yang bulat menelan sepasang lengan dan tubuh sebidang kaki yang pincan                      melompat-lompat menuju lubang kancing baju 2011

Semua yang Suka KEJU

T entang sebatang KEJU dari mulut kita Adalah waktu kanak yang berjarak lima ratus kilometer dari jurang yang mengisahkan seorang pengeran negeri seberang Dari pelabuhan dinyalakannya lilin Membangun bayangan yang tak pernah disaksikan lewat jendela sore Tentang parutan KEJU dari bilah pisau Adalah sejenak amuk yang ingin kita bangun dari sepasang taring Yang berupa sinyal kartu dan ponsel yang kadang terlalu sering mengingat senyum jauh Atau bahkan beberapa pasang stiker yang akrab dijumpai di pintu kulkas Senyum dingin di atas bahu beruas Senyum lekat di bawah gigitan seekor nyamuk betina yang gemuk Sepintas mondar-mandir dengan sekantung darah yang dicuri dari catatan kita Tentang apa saja yang menjadi KEJU dan rasa asin tubuhnya Adalah kita yang mengerjakan puisi lewat jalan pintas yang tak selalu mulus melewati kegilaan Antara kita yang bilang tawa cukup dengan haha Tangis yang cuma jadi dengan akhiran baca titik koma sederet tangga yang diinjak dengan kereta dan Volvo

Pukul Delapan April

S esuatu yang paling sabar adalah ketika kita berjalan sendirian. Melihat burung-burung membuat sarang. Mendengar langit bergemuruh, beramai-ramai memanggil hujan. Jatuh perlahan di tubuh. Kita tak akan berlari dan menepi di bawah teras yang luas. Kita lebih merindukan dingin yang mengerat tulang. Berkali-kali bertalu menggigiti pengupingan kita. Meraibkan suara yang memanggil, menjadikan kita dibesarkan oleh mata: sepasang ruh yang kesepian. Sebelum kita sempat melarikan diri membawa kedua kaki, tanaman kangkung dan teratai yang bernafas lebih lama dari musim tahun depan telah lebih dulu sampai mencegah langkah. Tak ada detak jantung yang ditakuti. Bahkan perpisahan dengan bumi hanya menjadi perumpamaan kelahiran tunggal paling fatal. Sebab kesalahan apa pun sudah tentu bisa dimaafkan kecuali ada yang bersalah dan disakiti. Kereta api pukul empat sore, melaju kencang. Pemandangan hijau yang basah. Awan yang limbung di atas kawah. Serbuan hujan runtuh menyerbu badan. Pend

ASAS FRUSTASI Ayat 5

Aku lebih suka menggulung lidah kalau berbicara masalah cinta. Pagi-pagi sebelum jam tiga sudah bangun. Merapikan selimut suami yang masih ngopi sama teman kencannya si mimpi. Anak-anak kecil yang melukis wajah mereka dengan kencing. Aku lebih suka mandi dan sabunan agak lama sebelum ke warung menyiapkan materi perkuliahan atau sembari menggosip tentang seorang penyair yang menjual ikan di dalam celana dan sajaknya. Konon fermentasi atau pengawetan dengan butir keringat di tubuhnya lebih aman dan lebih menggemukkan peternak babi yang tengah bisnis jamu MELANGSINGKAN. Aku lebih suka manyun sambil melototi sejumlah iklan televisi yang menampilkan tubuh telanjang lelaki yang banyak ditempeli janda beranak tiga hingga tujuh kali. Sesekali dari bibir mereka, tumbuh sepasang payudara yang begitu merah dan padat. Atau ketika seorang penjual roti dengan selai empedu hati dan usus duabelasjari sengaja mondar-mandir dan kakinya yang masih ingin memanjang satu senti tiap hari, aku lebih suka

Di Jalan (PETAK) 1 Kebayoran

Kalau luka pisau tak sembuh dari rasa sakit dan nyeri, coba kau basuh dengan segelas air garam yang dikumurkan dekat gigi geraham yang berlubang. Kalau masih tak sembuh dari rasa iritasi dan gatal, cepat panggil pacarmu agar membawa kijang yang bisa ngebut sampai di rumah mantri atau dukun yang sakti di kota sebelah. Kalau luka itu, belum juga terbakar di dalam jeritan yang sepi, jalanmu yang berdampingan dengan sebuah toko rangkaian bunga yang ditulisi “kami sedang berduka dengan nyanyian” akan penuh besok pagi. Salah satu di antara mereka adalah dirimu sendiri. Diri yang ditinggal sepotong daging dengan ucapan “sampai bertemu lain kali”. 2011

Sakit INGATAN

Bertanyalah selagi belum kambuh Selagi udara masih rindu pada usia Dan sekantung darah di dalamnya Tusuk bagian mana pun yang disuka Selagi pak polisi dan hansip masih menjadi musuh Selagi maling dan perakit peledak yang gelisah di atas hotel Selagi banyak bintang dan kembang rontok di jalan Oi, Selagi kita mencium aroma ikan yang bertelur di bawah tembakau Selagi sampai tak ingin mengatakan selamat tinggal Selagi nanti tak ada saat kita benar-benar ligat Menunggu dan berpeluk Mencapai geliat yang padu. padi pada merunduk Ilmu kita tak akan masuk surga selagi rumah sakit belum resmi tewas Kemudian bebas dari hijrah kubur yang mawas siksa 2011

SAKIT Ingatan

Seorang lelaki datang ke rumah pacarnya dengan teka-teki. Seorang perempuan berlari, ia berteriak sambil melempar sebuah kail pada semangkuk sup kekasihnya yang tinggal separuh. Seekor ikan berenang-renang di wajahnya. Seorang ibu menghitung jumlah bulan yang tidur di kamar suaminya. Seorang anak memukul teman perempuannya yang tak pandai menendang bola ke dadanya sendiri. Sambil menangis, ia pulang mengunci diri. Dibantingnya cermin yang berdiri. Diinjaknya lantai yang baru saja nyenyak tidur sehari. Seorang nenek yang menyaksikan cucunya yang marah itu tertawa geli namun akhirnya ia kalap. Seekor burung bangkai dilepaskan dari tubuh bangkainya yang hamper mati. selepas itu ia lepaskan tulangnya satu persatu, tulang ditubuhnya yang gemelutuk segera diganti. Seekor ular betina bertelur. Lima ekor anak mereka menetas bergantian. Namun di antara mereka yang malu-malu mengaku jadi ibu cuma satu. Lantaran si anak punya sepasang kaki. Lantaran si anak lelaki yang bicara dengan bahasa mesin

Di Bawah Langit AMPERA

: ayah bayu Menunggu siapa lagi selain gang dan lorong yang kami umpamakan terus memaki dan berusaha bunuh diri?” Ada banyak perempuan Di jalan panglima yang lebar Tikungan kota dan kawasan kota dekat muara Paling tidak  hidup yang berlayar di bawah Ampera menjadi tempat tinggal paling mencekam  di sepanjang bangun kami Pukul tiga pagi waktu matahari Tak banyak yang lewat Pintu rumah dikunci anak-anak kecil yang mengamuk manja dalam mimpi Meneriaki rumah kami anjing-anjing menggeliat di gerbang pabrik listrik menjadi pucat kerusakan arus terkadang memaksa kami terdampar dan hanyut entah apakah teluk pun mengenal lautnya yang tak pernah kering sebongkah batu yang makin larut menyumbat ususparau kami yang terdengar nyaring namun terpotong-potong A i...  siapa pun yang memutar jalan di depan pagar kami Apakah serumpun istri yang menetaskan telur di lingkar kepalanya  tak kuat sekadar menjadi lindu yang ditunda kehancurannya   Sedang dingin yang masuk percuma atas kami  telah menjadi

Palingkan Mana Saja yang Kita Anggap Sebagai Hal yang Merugikan

-- mama Kalau kau mengerti cara menghitung kapal dan induknya lautan Mari serempak kita melangkah dengan meloncatkan kedua moncong kaki kita lebih jauh Lebih tinggi di atas langit Lebih dalam daripada kematian Kelak, sebelum matahari terbit di Gordon : kota tua yang membuat kata menjadi adil. Kota yang layak menjadikan kata berbicara dari mata ke mata –menuju ke lain arah: arah di mana setumpuk surat menjadi asap- Kalau kau arungi sesisir pantai dan kenangan di pucuk tembakau Seribu wajah pelukis dan lukisannya berdiri di sana -apakah mereka akan bertelur di pundakmu aku tak tahu pasti letak kebenarannya- Kelak, sebelum matahari memagut keraguan di Gordon : rumah di atas bukit yang meninggikan bebatuan menjadi orang-orangan ,  kita akan mengenang ada kelembutan di tiap tusukan mereka yang suka berperang. 2011

Neither Fondness nor Forest

tertanda rasti, pii -- terkadang orang-orang memojokkanku dengan ciuman yang menyebalkan. Nama-nama berikut akan membantumu mengutuk batu menjadi seorang peri. Mengutuk seekor lalat menjadi sorang pelayan yang menyiapkan sarapan pagi. Meniupkan terompet untuk bangun, menyikat kamar mandi, memotong rumput, mencuci pakaian kulit, memandikan kuda jantan, menimba air laut ke dalam sumur, melubangi sungai menjadi daratan, mendengarkan music dan suara seksofon yang seksi, menulis surat iseng, berkaca sambil senyum sendiri, memberi makan ternak, menggiring kereta kuda, memadamkan lahan gambut dan kopi, memangkas bulu kenangan yang tumbuh subur di pipi … Suatu waktu bila tak ada telinga yang benar-benar sanggup mendengar dengan mata terpejam, seorang gadis penyihir manis yang bengkak mata kanannya akan datang padamu. Menyihir bola matamu dengan seikat mantra racun tikus, menggelitiki pengupinganmu agar tak ada tanda perang yang meledak di ujung mesiu. Memberikan isyarat penting untuk

Ganjar

-- Ganz Mengenang petuah tak sama dengan ketika kau meneriaki kata-kata dari dalam kertas. Kertas di tangan kirimu yang sampai pada mata, membayangi kenangan saat itu : “aku masih meraba, membayangkan seorang kakek dengan cerutu dan gading kesayangannya sedang bermain-main. Padahal seusia itu, memang wajar waktu membuatku keriput. Tapi kau menolak. Cuma kutukan yang membuatku tua dan mengenal seperti apa nikmatnya tanah. Aku tahu Tuhan itu baik. Bukankah dalam rambutku yang berangka delapan pernah menyimpan gambar-gambar tubuh telanjang? Tujuh puluh tahun sebelum aku berkenalan dengan iblis dan setan, aku masih disebut kanak-kanak. Ibu sangat rajin memandikanku dengan sabun yang kelewat wangi. Bapak juga sering ngomel tak karuan dibuatnya.” Seorang kakek, dari tubuh itu meluap keramahan yang hidup. Pelukan dadanya selalu bidang. Seorang kakek, apakah kau marah kalau aku tumbuh dan tua, apakah kau akan mecubit pipiku bila besok menemukanku mencintai bunga yang merah? --Gie : Oh

Kaspia

Mana ada lelaki berpendidikan yang mau mendekati perempuan tambun sepertinya. Selain uang, apalagi. Hanya lelaki tolol dan brengsek yang hanya ingin menikmati uangnya. “Sudah berapa lama kau mengenalnya” "Belum lama. Baru dua bulan sebelas hari. Kenapa?” “Jauhi dia. Kalau perlu pergi dari hidupnya. Kau baru mengenal luarnya. Saat ini kau masih buta. Buta cinta. Buta muka.” “Memangnya apa yang kau tahu dari lelaki itu?” “Banyak. Sangat sulit diceritakan. Lagi pula kau tak akan percaya.” “Ayolah! Jangan membuatku penasaran seperti ini.” “Yang kupikirkan bukan semata kau adalah sahabatku. Tapi kenapa dengan mudahnya, kau beri ruang masuk untuk lelaki jahanam seperti dia.” “Aku tak mengerti maksudmu.” “Kau tak akan mengerti. Dengan seribu satu bukti dan saksi pun, dapat kupastikan kau tetap tidak mengerti. Harusnya kau merasakan hal aneh ketika pergi berduaan dengannya.” “Apalagi itu? Cepat ceritakan. Kau membuatku takut.” “Sebelumnya aku pun tak percaya dengan g

Yoshiki San

Lalu tak ada gadis yang berjalan mengitari matamu Kecuali nampak air Dari seberang kolam yang bening Masturbia Di antara lubang angina Rambutmu menjadi gelombang yang panik Bulan kelima mengarat dibibirmu Kemudian mongering suara yang muncul dengan rapat dan mendesis adalah tuak sepanjang lima loki dari tanganmu hinggap pada masing-masing kuku yang berkeringat Ketika itu rumput Yang malu-malu membelai wajahmu Menyelinap masuk lewat usus Tak ada yang lebih paham Mengenai jalan sempit yang bermuara pada lorong becek pada lambungmu sebab ia mendekat maka dikoyaknyalah kulitmu perlahan agar hilang pedih sampai tiba darah mengental membusung di dadamu yang terbakar 2011 http://3.bp.blogspot.com/_rJVT53UElYs/SncxtbCUv5I/AAAAAAAACks/YOeRYK-U9Cg/s1600-h/Yoshiki+(21).jpg

Fermentasi Pukul 19.24

mama tiga ruang berdarah menekuk tepat pada rindang matamu saat itu tak pernah engkau lupa bagaimana terburu-buru berkemas menuju waktu yang sudah sepuluh tahun tiba dengan terbuka dan telentang memeluk langit serupa wajah yang mengembang di antara panas pemanggang seketika matahari yang berlepasan dari kancing kemejamu berlarian dan berloncatan menuju lekuk bukit hidung yang tercatat telah tujuh kali menerbitkan almanak-almanak gaib demi kesepian yang memanggil engkau berdiam dalam tungku serta kesakralan yang sekiranya paling lincah sekali pun engkau akan percaya malam ini kekasih yang engkau tinggalkan diam-diam di atas kematian dulu sempat memiliki rindu dari perih lipatan tangan yang mengerami kedua telapak tangannya engkau pergi mengutuk malam engkau berjalan dan gentayangan 2011

Tak Lain Sebab Aku Sayang Padamu

Nasihatku Bukan semata-mata menyuruhmu meringkuk sendirian tanpa mengenal api yang disulut malam hari Kalau kau mau pulang Keluarkan dulu semua yang masih lekat pada gigimu Termasuk janji yang kemarin kau sangkutkan pada pipa cerutu Bukannya sudah kubilang Kau bisa tolol bahkan menjadi seribu kali lipat lebih tolol dari seribu keturunanmu Begini sajalah, Biar lebih mudah dan lebih cepat diserap Pukul dua belas tepat nanti Tengoklah sebentar telepon genggammu Dari sebuah pesan yang sampai itulah Aku sampaikan bahwa cicak-cicak nakal yang melubangi jalan pulang yang melingkar di mulutmu Telah menghalangiku dengan begitu kejam Sederetan tembok-tembok penyekat mengikat leherku dengan erat Aku dilarang berlari menuju rumahmu Padahal kalau pun mau dihitung Akulah yang lebih lama hapal alamat jalan rumah ketujuhmu Walau pun aku bukanlah yang pertama dan satu-satunya yang berada di samping rumahmu waktu itu Setidaknya cukuplah bagi nasihatku ini Membuatmu paham maksud

A LA LUZ DE

a la luz de E laluna Engkau yang paham bahasa tubuh Aku ingin menggeliat di wajahmu Sebagai mata, aku ingin masuk serupa cahaya Terang retina, terang yang menembus lubang jantungmu Entah seperti napas mana yang paling kau sukai Tapi konon Dari merah lesung pipimu Ada sebuah tanda sedalam lubang sumur Sebab gelap, aku tak ingin masuk lagi Kecuali engkau, E laluna Menyalakan lampu-lampu neon Apa pun warnanya engkau boleh memilih Dengan cahaya mana pun E laluna, engkau tetap memijar menyala-nyala di hadapanku 2011 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA4Nzc90HHxpZYrk0JnSKdGD9weSIzKil9-DwIjzvKLWELx0ecbyRF0iixHnVOcbeJmAldfivhLDXXZHWTIFkkVMd0GMX8ca6NFlkvoOAvRriNaYZKknFPw6TNvQQWIGUsGxjDfcmLA6Y/s1600/lampu-pijar.jpg

Replika

Barangkali malam sabtu Ada banyak kelelawar keluar jendela Di antara kota yang mati Dan lenyap dalam peta Seorang anak duduk menepi Memeluk tubuhnya sendiri Sebatang korek di keranjang Namun lembap Masih begitu terasa hangat Bubuk mesiu di permukaan Sesekali menyembul malu-malu Dinyalakannya api Tapi cahaya naik dan surut dari mata mengalir sumber air Langit beramsal lensa yang cekung Kantung mata yang lebam Tak bedanya seperti rumah-rumah kayu Yang dimakan rayap Namun sebuah ruang yang masih kosong Dan nampak mungil Tak cukup lebar untuk dimasuki Kecuali beban udara Melenguh, dan bernapas --maaf, Saya ini dulunya angin Sebelum tidur Orang-orang biasa berdoa Kuil dan dupa terbakar Dari mulut Berbagai ingin, dan murka memancar Menunjuk ke arah awan yang bergerak Seorang dewa tertegun Maka atas nama kesaksian di kota ini Saya rela hidup untuk ditampar Hingga kulit menipis Sinyal ombak mengerut Saya yang dibiarkan cepat busuk Pasti nanti datang dewa

Gombal

menyimpan sebidang dada pada sebuah nama dapat membuat kita kesepian Kesepian macam ini Ketika larut datang pada sepi Mengusap-usap hidung kita Dengan mesra udara masuk Pembuluh tapis, segenap itu juga Perlahan menyapu sesisir ombak Yang ikut tergerai dari pantai yang jauh Hingga tiba-tiba sampai pada kamar kita Yang belum sempat diberi warna merah jambu Padahal sepasang cermin sudah saling barhadapan Memburu mata kita Bayangan lalu jatuh Satu persatu pecah Namun tak jauh dari bekas langkah kita duapuluh menit yang lalu Kemudian ada suara Angin mengetuk-ngetuk Pintu dan jendela terbuka Saling berpeluk Kita memandang masing-masing mata Ini tangan Dan demi jantung yang pernah kita tusuk bersama Hingga bocor dan berdarah Nama kita melingkar serupa putting sepasang cincin yang lekat dan mampat Makin sempit di tubuh Ini waktu Mungkin sudah begitu dingin dan subuh Atau Ini laron yang gemar pada lampu Kita mengalir pada tik toknya Sampai menangkap mimpi paling

Perkenalan

selamat sore perkenalkan saya pikun yang sering mondar-mandir tiap sore di depan warung anda maaf mengganggu saya saat ini bingung anak kelima saya, si buta dari pagi tadi belum pulang juga maklum, pagi tadi saya menyuruhnya membeli racun ginjal tikus di rumah saya ibu-ibu tikus pada gemar kawin saya khawatir nantinya si buta malah lupa jalan pulang apalagi di persimpangan jalan rumah saya ada selokan lubang kuburan tanah kosong yang katanya mau dibuat gedung-gedung bertingkat padahal kalau bangunan tersebut resmi dibangun pasti keluarga saya dipaksa pindah rumah saya digusur hak milik tanah dibeli dan dipindah secara paksa jadi, saya datang ke warung anda saat ini mau bertanya apakah anda melihat atau bahkan sempat berbicara banyak pada si buta rambutnya gimbal sebahu pinggangnya agak sedikit menjorok ke dalam dadanya lebar mukanya runcing alis kirinya ada garis putus-putus kalau dia bicara seka sekali menyebut nama kekasihnya si pincang dan yang terpentin

Pengertian Sebuah Makna yang Begitu Dalam

Apalah arti pagi dan rindu yang pernah kita bincangkan pada sebuah telepon genggagm bila tak banyak yang kita mengerti untuk sebuah makna, semestinya kita telah lama paham tanpa mesti berkelahi dan berguling dekat kemaluan yang dilapisi kain selimut barangkali karena kita terlalu sering merebahkan keras kepala yang begitu menyakitkanlah seolah ketika pagi dan rindu mulai masuk bersamaan pada mata lalu ke jantung masing-masing ada sebuah gejolak yang terus berontak dan bernyanyi-nyanyi dengan suara yang senantiasa ingin berpelukan namun begitu lirih dan mengemis-ngemis rintih padahal tak ada lagi tempat yang lain yang dapat kita lalui selain lubang sepatu yang hampir dimakan rayap dan kutu untuk menuju ruang yang menjadi awal mula bertemunya pagi pada rindu beramsalkan kita yang dulunya benar-benar tak mampu mengerti segala pintu masuk yang bertuliskan "pi, mungkin dua bulan lagi kita akan menjadi sepasang merpati yang baru saja bunting. menahan luapan keringat d

Apa Saja yang Tak Luput dari Kami

bila kau lihat segumpal daging menyembul dari selangkangan yang terluka bekas pelor panas pembunuhan lima tahun lalu masih ada rasa nyeri yang diam-diam memukul tubuh kami hingga malam dan siang berlari berkali-kali kami menghalangi dentuman yang berdenging demi pengupingan yang bermuara pada arus pengeras suara di kamar ini maka saksikanlah pula berkilo keringat diperas lengan baju dikoyak celanadalam merah dilucuti lalu pada yang saat itu mati mengalir ribuan nama kelahiran yang manis menjadi hilang tanpa ada yang kembali seruan ini seruan yang terkumpul oleh kusam wajah kami. retak pada kaca makin bertambah maka makin banyak pula lubang dari ingatan kelam kami ditutup, lalu digali. sementara lubang yang lain menganga. teriak kami menguapkan awan panas. kilang-kilang minyak telah terbakar. kepulan harapan dan airmata tumbuh sumbur merimbun di ladang yang penuh darah selain garis tahun yang menggaib di tangan kami saat itu tak pernah ada kening puti

Tentang Suatu Malam dan Secangkir Kopi

Siapa tak kenal langit merah di bawah dada wanita yang mendekap anaknya Siapa tak mengenal bunyi jantung dan meriam yang memoncongkan bom-bomnya Di tengah pemukiman rumah-rumah semut dan ratunya Siapa tak mengenal terompet dan tarian rumbai yang muncul pada ledakan pertama kembang dan lidah apinya Tidak akan mungkin mengenal ibu yang tertelungkup dumakan batu Tidak akan mungkin mengenal bahwa saat itu juga ada tiga anak yang ribut di tengah kawah asam Saling ribut bertikam-tikaman de bawah tajam lading Sebab tidak ada garam yang muncul Dari pecahan gula dan air setelah yang tak mengenal itu berani menuang minuman Serupa kopi, dan air hangat yang tiba-tiba menjadikan cangkirnya penuh Dapurnya yang putih dijadikan berkabut-kalut Maka dari sendok dan nampan berpayet bunya melati Diaduknyalah si kopi agar jadi. Kemudian yang tak mengenal itu pun mencungkil putih melati di nampannya “Biar bisa ditabur, dan warnanya jadi lebih cerah Tak jadi hitam saja. Bukan kopi nama

Semisal Ucapan Good Morning

Semisal suara keindahan dan suara pagi Memanggil burung yang lindap di balik daun Dan ranting, semisal udara ditempa Embun dan butir air yang dingin, semisal itulah Tujuh langit purnama muncul dari gelombang mimpi Semisal itulah gelombang tujuh batu samudera Menepis-nepis pantai dan pohon kelapa Semisal air yang mengasihi asin laut Dan licin kulit ikan, semisal danau-danau Ditumbuhi bebatuan yang panjang Dan karang, semisal itulah Nama dan penghujung angka berawal dari almanac Menyimpan banyak symbol dan menyembunyikan tekateki Semisal apa yang kita terka Mengenai penciptaan dan penciptanya Maka semisal tubuh dan tangan dibolakbalik Lalu datang kembali masamasa kekacauan yang lampau Gunung dan api terus memompa daratan yang kering Awan dan hujan mengisi lubang palung yang dalam Tanah dan akar menggaligali dekat sumber Ini bunga dan mahkota yang masih merah Dan berbukubuku Menelungkupkan kita yang begitu ingin dilahirkan Lewat lorong gelap di bawah putik dan

The Measurement of What You Read

Engkau membaca kertas dan cahaya Yang bersimpangan jaraknya Antara jauh dan bentuk yang kasar Barangkali bayangan akan menipumu Dari balik mata yang kopong Dan tanpa retina yang berarti Engkau tak mungkin melihat dan merasa Bahwa cahaya dan kertas Tak pernah menjadi nyata Sedangkan di depan microphone Barusaja engkau lantangkan Makna yang berpusing berkeliling Apa yang sebenarnya sedang dibacakan Serupa kekosongan Tidak ada suatu apapun Yang bisa dibawa menjadi bukti yang pasti Engkau saat ini buta Membaca segala ranah dan benda benda Yang terkadang sederhana dan asing 2011   http://www.ces.fas.harvard.edu/conferences/futurism/images/ppl/ScappettoneJennifer.jpg

Sajak Penjual Buah

Sajak Penjual Buah Bagaimana daun manggis itu berdarah Kini menjadi urusan saya juga. Tak bisa begitu dan tak bisa dibiarkan begitu saja Tiba tiba jumlah buahnya bertambah Tiba tiba yang putih ada sepuluh Tiba tiba yang jingga ada enam Tiba tiba yang merah pun jadi sepuluh Bayangkan saja betapa ajaibnya Yang menjadikan buah manggis itu diheran herankan Bukanlah siapa dan apa yang nanti menjadi dampak Dan wabah yang bakal dijangkit pada penduduk Lanjut usia, tetapi efek pada pikiran yang dipaksa Dan dipukul pukul sebab dikira berbahaya Bagi siapa saja yang pernah mempermasalahkannya "Nah kamu! Ayo ikut saya Ini, cobalah barang sedikit buah manggis ajaib Konon, warnalah yang membuatnya sakti mandraguna Segala penyakit ingatan dan bala bisa ditolak mentah Segala keraguan segala rasa heran Bisa dihapuskan dengan jaminan Kamu makan ini buah manggis Kamu dapat untung hilang segala penyakit Saya pun dapat uang!" 2011

Sebuah Renungan Berangka 00.41

Sebuah Renungan Berangka 00.41 agar kau mengerti berdirilah di depan cermin itu. perhatikan berapa banyak kelahiran yang menuntut kegelisahan dan menukarnya dengan seputing dada terbelah. agar kau mengerti bagaimana perlahan kura-kura bersembunyi diamdiam di bawah kurungan cuaca berdirilah di depan cermin itu. hitung berapa lama kura-kura mampu bertahan tanpa kembali mengenalkan waktu dan berjuang keras mendongakkan kepala untuk bernafas. mengertilah kau bahwa ruang pun butuh sedikit ruang lagi agar dapat menaruh nyawa untuk hidup bertaruh pada waktu 2011

Epitaf di Tahun Sebelas

Epitaf di Tahun Sebelas epitaf atas nama wanita yang sepuluh tahun silam pernah menjadi puteri seorang adam dan ibunya Eva, hari ini telah berpulang menuju rumah yang teduh di bawah langit di atas bumi wanita itu digantung demi kesaksian yang menyatakan tak ada surga bagi anak adam dan eva yang lainnya. Tak ada neraka Bagi cucu anak adam dan eva Setelahnya. Kecuali Kematian yang begitu lapang Menyusut di bagian liang Yang berpetak dan persegi. -- Mengenang basah sesudah itu Mengenang tanah merah Yang melumat hancur tubuhnya Hingga langkah ke tujuh Adam dan Eva benar-benar pergi Lenyap menjadi sepasang kekasih Yang dikutuk turun menyerahkan Wanitanya demi Kehidupan yang berlangsung Tanpa ada kematian Yang terjadi berulangkali Setelah pergolakan Antara Tuhan dan mereka mereda 2011