-- GanzMengenang petuah tak sama dengan ketika kau meneriaki kata-kata dari dalam kertas. Kertas di tangan kirimu yang sampai pada mata, membayangi kenangan saat itu :
“aku masih meraba, membayangkan seorang kakek dengan cerutu dan gading kesayangannya sedang bermain-main. Padahal seusia itu, memang wajar waktu membuatku keriput. Tapi kau menolak. Cuma kutukan yang membuatku tua dan mengenal seperti apa nikmatnya tanah.
Aku tahu Tuhan itu baik. Bukankah dalam rambutku yang berangka delapan pernah menyimpan gambar-gambar tubuh telanjang? Tujuh puluh tahun sebelum aku berkenalan dengan iblis dan setan, aku masih disebut kanak-kanak. Ibu sangat rajin memandikanku dengan sabun yang kelewat wangi. Bapak juga sering ngomel tak karuan dibuatnya.”
Seorang kakek, dari tubuh itu meluap keramahan yang hidup. Pelukan dadanya selalu bidang.
Seorang kakek, apakah kau marah kalau aku tumbuh dan tua, apakah kau akan mecubit pipiku bila besok menemukanku mencintai bunga yang merah?
--Gie:
Oh sayang,
Dengarkan aku kali ini saja. Aku mau mengeluh terakhir kalinya.
Tentang tenggorokan dan perasaanku kemarin, sebenarnya tak benar-benar ada. Microphone di hadapanku tak akan pernah menjadi seorang kekasih yang setia. Barangkali aku pernah bilang padamu. Dalam dunia yang aku umpamakan bejana ini, microphone itu sebetulnya hidup dari seorang lelaki yang pandai menyambung kabel.
“suatu sore, tepatnya pukul empat pagi. Lelaki itu menyelinap memasuki perkampungan kami. Dua pasang gadis periang bernama Air dan Nyala telah pergi. Tak ada yang tahu. Kami saling menuduh. Membakar rumah. Berlari dan kadang terjatuh di kaki pohon, menghindar dari tujuh senjata yang konon sakti dan keramat.
Desa kami hangus. Darah menjadi keringat.”
--Pii
Aku tak pernah memaksamu memakai baju kecoklatan.
Aku tak bisa mengatakan, kedua kacamata merah mudamu sangan lucu. Keanehan itu tiba-tiba saja muncul. Lenganmu yang telanjang membawa raib sepuluh celana dalamku. Kamu tersenyum. Menyeka kecemasan dan menukarnya dengan seikat gandum bertuliskan :
“akulah satu-satunya cinta. Dewi laut yang hidup tanpa jantung. Aku menghisap darah. Merokok. Memotong bayam tak rata. Aku tak mengenal asin yang melengkapi matinya sepasang panci dan kuali. Biasa saja. Aku yakin kamu mengerti. Kamu tak lelah. Kamu lelaki. Sepasang merpati tak akan menjadi utuh tanpa menikah dan kawin di depan gereja.
Tapi aku juga menyukai nabi. Dari kepala mereka, pujian dan paksaan berloncatan sebelum meledak. Aku juga akan melahap orang-orang yang sangat takut maut dan suka pada kematian. Sebab dari cucu mereka yang jujur itu, Tuhan pernah kecewa. Lalu diciptakannyalah aku padamu. Demi kesakitan yang akan membunuh kehidupan, kelahiran, aku akan senantiasa datang di sampingmu. Kamu boleh memilih. Tapi kamu tak boleh tak suka. Aku sangat suka memaksa. Bila kamu tak terima, aku akan menempeleng gundukan lemak yang lama berkuasa dengan nyenyak di perutmu!”
--Kita
Doa yang abadi, mi
Doa yang memancar dari bibirmu, bibirku.
Aku dibuatnya sesak. Tolol. Bengong. Jengah. Putus asa.
Harapan yang semula menjadi sepetak bukit bunga, saat ini hanya menjadi sepetak ladang yang gundul tanpa nutrisi. Rasanya, berapa kali pun aku sujud, menggeruskan hidung dan nyawa di atas pengampunan, tetap tak ada fitrah yang berubah. Dunia layar di belakangku tetap menjelma nenek-nenek yang mengunyah sirih di mulutnya. Kelengangan menjadi sangat berbisa. Masalaluku menjadi sangat dekat. Orang-orang hanya menyaksikan dan mendengar, tidak ada yang mengemini. Bulan berganti bulan. Malam juga mendung.
Selain menduga-duga, saat ini usia gagal menyiksaku menjadi pipimu yang takwa. Menyerahkan diri pada panggung tanpa dibayar sama saja dengan mengembalikan waktu pada usia. Aku pasti mati. tapi aku tak pernah yakin, kamu pun ikut mati. aku ingin menyerah. Tapi padamu, aku melarang!
2011
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin