Langsung ke konten utama

Yang Dikasihi Oleh Semesta


Aku hujan
Mendung di gelasmu

Poppy Flowers Orange Sky
A painting by Wieslaw Sadurski


Di puncak gunung yang hijau dan berkabut, matahari menyembul. Cahaya perlahan meninggi, mencapai keluasan langit, dan menembus awan gelap yang tebal. Mungkin suhu di sini masih 15’C atau bahkan lebih rendah dari suhu di puncak gunung lain. entahlah, aku hanya mencoba menerka. Bukan keahlianku untuk memperkirakan angka pasti dalam matematika.

Ini hari Kamis. Di akhir bulan Mei, siapa yang menyangka aku dapat bertahan hidup sampai sejauh ini. Kira-kira dua bulan silam, di tanah kelahiranku, kerusuhan terjadi. Api berkobar di mana-mana, di jalanan, di rumah penduduk, di pertokoan, hingga di gedung-gedung kantor. Beberapa angota keluargaku ikut menjadi korban. Ayah, ibu, serta kedua saudaraku ikut terbakar bersama bangunan itu. Semuanya hangus. Hanya beberapa kerangka bangunan yang tersisa. Ketika api mulai padam, barulah satu persatu korban dapat dijumpai. Nasibnya sama. ketika dievakuasi, tubuh mereka menghitam, aroma gosong menyeruak ke seluruh penjuru kota, begitu kata temanku.

Saat kejadian berlangsung, aku tak ingat apa-apa. Pilar mengatakan bahwa warga menemukanku terkulai lemas di antara kerumunan massa. Wajah dan kedua lenganku ditutupi darah. Pakaianku pun tak luput dari warna merah, cairan yang mengalir dari luka di tubuhku. Satu hal yang pasti, situasinya begitu pelik.

Orang-orang berteriak, berlarian ketakutan, mereka mencoba bersembunyi di balik rumah peduduk yang mereka tuju secara acak, kemudian juga pertokoan dan gedung-edung kantor. Bukannya perlindungan diri yang didapatkan melainkan kematian yang mengenaskan. Setelah mereka menerobos bangunan-bangunan itu, pintu keluar masuk di lantai dasar sengaja dikunci. Beberapa orang bertubuh tegap dan tinggi menyirami tembok dengan minyak. Salah satu di antara mereka melempari pemantik. Lalu terjadilah kebakaran hebat.

...

Aku masih tercenung, terbaring lemas di atas tempat tidur. Di kiri dan kananku, semuanya serba putih. Orang-orang hilir mudik sambil membawa stetoskop, catatan yang mirip lembar soal ujian sekolah, dan juga obat-obatan. Hanya sepasang jendela di hadapanku, yang berusaha mendamaikan pergumulan sengit dalam batin. Dalam hati aku berkata, “alangkah baiknya aku ikut mati bersama orang-orang terkasih.”

...

Setiap pagi, selalu ada matahari dan puncak gunung yang sama. perlahan tapi pasti, matahari yang malu-malu itu menampakkan senyumnya lewat cahaya kuning yang menghangatkan. Tiba-tiba saja pikiran aneh terlintas di kelapa. “Bagaimana jika insiden ini terjadi di musim dingin? Dimana-mana salju. Jalanan membeku. Mungkin saja api tidak berkobar sehebat itu. Mungkin, ayah, ibu, dan kedua saudaraku masih dapat bertahan hidup meskipun terkena luka bakar. Bahkan dari dalam tubuhku, tidak akan mengucurkan banyak darah.”

Ah, berandai-andai hanya membuatku semakin gila.

...

“Apa, bagaimana kondisimu? Maaf baru sempat menjenguk. Beberapa hari ini aku disibukkan membantu relawan yang lain mengidentifikasi mayat korban kerusuhan. Mengenai orang tua dan kedua saudaramu, mereka sudah dimakamkan. Kami sepakat menguburnya secara massal di taman kota. Mudah-mudahan pohon yang besar dan rimbun di sana mampu meneduhkan jiwa-jiwa yang kesakitan.”

Aku terkesiap oleh kehadiran Pilar. Ia begitu baik padaku. Ia juga gemar bercerita banyak hal. Tidak peduli apakah itu penting atau biasa-biasa saja. Namun mendengar suaranya cukup melegakan. Suara berdenging yang kerap terdengar dari telingaku, kini sudah mulai berkurang. Padahal sebelumnya setiap lima menit atau tujuh menit sekali, suara itu akan muncul. Terkadang begitu pilu.

...

“Ada beberapa jahitan di bagian pinggulmu. Tidak banyak, namun kau masih harus tetap istirahat. Obat-obatan ini harus diminum rutin dan dihabiskan. Seperti biasa, makanlah terlebih dahulu dan perbanyak konsumsi air putih. Saya juga berikan beberapa obat oles yang dapat diaplikasikan di atas permukaan luka jahit agar tidak keloid. Jangat takut, semuanya akan lekas membaik.”

Seorang dokter datang dan menasehati banyak hal padaku. Dari kejauhan nampak, ia sedang berbincang serius dengan Pilar. Sayangnya mereka merahasiakan itu dariku. Sekali pun penting, aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Yang terpenting aku bisa pulang, merebahkan tubuh di atas tempat tidur, mengurung diri di kamar, dan sesekali pura-pura tertidur jika Pilar mengetuk pintu. Aku sedang tidak ingin bicara.

...

“Apa, waktunya minum obat. Ayo makan dulu. Jangan sampai terlambat”, teriak Pilar, Suara itu terdengar begitu bersemangat. Nampaknya ia masih menyiapkan makan malam. Aku dapat mengenali aroma masakannya. Selain kentang yang direbus, aku mencium aroma sup sayur kaya akan rempah dan jus mangga yang cenderung asam. Namun lidah dan perutku tak bergeming. Aku masih bisa menahan lapar bahkan hingga satu minggu ke depan.

Jika sudah begini dan menyadari tak ada respon dariku, Pilar akan membawakan makan malam ke tempat tidurku sambil membujuk dengan pelan agar setidaknya aku mau menyenggol makanan itu.

“Baiklah, kali ini hanya dua sendok”, jawabku kesal.

Ya setiap hari percakapan kami tidak jauh dari negosiasi berapa banyak makanan yang akan masuk ke tubuhku. Setelah itu minum obat, dan aku dapat lebih tenang sedikit.

“Terima kasih kawan, maaf sudah merepotkan”, ucapku dalam hati.

...

Pertikaian dan kematian mengubah hidupku. Sekali pun bernapas, aku tetap tak berdaya. Tubuhku kini mayat hidup. Aku meratapi kejadian yang berlangsung saat itu. Di bangku kuliah, bermacam-macam teori mengenai mindfulness sempat menyihirku, mempengaruhi jalan pikir dan keputusan yang akan diambil. Aku seolah dapat berpikir jernih. Tapi efeknya tak bertahan lama. 

Kesedihan, kemalangan, kesepian, keputusasaan, dan lai-lain tidak cukup diamati begitu saja. Aku terlibat banyak hal, perasaan itu tidak hanya hinggap, sebab ia menggerogoti dan meninggalkan banyak luka. Lantas aku mempertanyakan ini, mana yang lebih riil, mindfulness atau kematian orang-orang terkasih yang menyeretku begitu dalam ke lubang kesedihan. Aku meratap dam terkurung di sana. Tak ada jalan keluar selain mengikuti nasib mereka.

Aku meraih beberapa syal, di antaranya cukup kuat menahan tubuhku. Aku sambungkan satu-persatu. Suasana sepi. Barangkali Pilar sedang tidak di rumah. Kuikatkan sambungan syal di kerangka pintu. Anehnya tidak begitu sulit. Aku menghitung mundur dan menerjang pelan kursi yang menopang kedua kakiku.

...

Pandanganku mengabur, perlahan menghitam. Napas tersendat dan sekujur tubuhku gemetar. Sayup-sayup aku mendengar Pilar menjerit, memanggil-manggil namaku berusaha menggagalkan kematianku. “Apa, Apa, yang dikasihi oleh semesta!” 

Namun terlambat.

...

Terima kasih dan selamat jalan kawan.



-Jekardah, June 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya, Aku Pulang

Kepada K. Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan. Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat

The Essence of Learning New Things Every Day

Everyone basically has opportunities to learn something new every day. They learn to get a new skill or to let go of what doesn't belong to them. The cycle comes and goes. Learning something new is not only a shortcut to improve one's life, but also to make one's meaningful, and their presence could make the simplest form of change.  I was once asked about the skills I have other than teaching. I confidently responded to them that I have enough skills in writing, photography, and cooking. While doing my responsibilities in the class, I value the three areas will be beneficial for me in professionalism. I have unlimited resources to access them if one day, I could only choose one area to support me for a living.  As an individual who has to make a move every day, I see learning as a potential way that brings us to become more selfless. We can learn new things every day as long as we have the courage and willingness to be a beginner. A beginner carries honesty since they have

The Fall and The Rise, The Sorrow and The Courage

 Dear my love, Kelvin, please accept my deep condolence on the loss of your beloved sister and beloved grandma this year.  We never been taught how to understand the loss of our loved ones: father, sister, and granny. The grief can be particularly intense. It is accepted as natural part of life with shock, confusion, and also sadness. Grieving becomes significant to welcome those feelings and to continue to embrace the time we had with our loved ones.  I genuinely appreciate your personal willingness to share what you feel. Let's go hand in hand with this wide range of emotions. This sad news can be the most uneasy challenge we face. It also can be the remembrance to honor them. I am thinking about you who are experiencing restlessness, tightness in the chest, and breathlessness.  We don't miss our father, our sister, and our granny. It's not a goodbye for they always stay here, with us in our hearts with love and peace. We will continue the bond we had with our loved ones