Sebelumnya saya akan jelaskan terlebih dahulu alasan dimuatnya tulisan ini. Untuk menanggapi salah satu tulisan yang diterbitkan oleh Magdalena mengenai pro dan kontra seorang istri yang memilih bekerja di luar dan menjadi seorang ibu rumah tangga.
Dalam artikelnya dijelaskan bahwa tulisan itu pun dimaksudkan sebagai tanggapan dari artikel lain yang menjelaskan keuntungan ketika seorang istri menjadi seorang ibu rumah tangga. Dari kacamata seorang suami, istri yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga tidak akan berpengaruh banyak terhadap pendapatan bulanan keluarga. Dalam artian seperti ini, kalau tidak bekerja, toh tidak ada pengeluaran untuk ongkos dari rumah menuju kantor, tidak ada pengeluaran untuk asisten rumah tangga, anak-anak tidak perlu les di luar karena tugas mengajar di rumah sudah dikerjakan oleh ibu, bahkan hingga asuransi. Untuk penjabaran itu, saya sependapat dengan penulis Magdalena, bahwa hitung-hitungan seperti ini hanya terjadi pada suami yang pelit.
Penggambaran di atas tentu tidak lepas dari kacamata yang mengatasnamakan agama. Jihad seorang istri ada di dalam rumah. Seperti biasa, patriarki berkedok agama memang laku keras.
Kami berdua sepakat, ini bukanlah ajaran agama. Kami mencoba merasionalkannya melalui satu contoh sederhana. Istri pertama Nabi Muhammad, Siti Khadijah merupakan seorang pengusaha. Pada saat itu belum ada surel dan 'e commerce' sehingga mengharuskan Siti Khadijah bertransaksi di luar. Apakah lantas Nabi melarang dan menyuruh istrinya diam di rumah? Begitu pun dalam proses penyebaran agama, baik secara sembunyi maupun terbuka, justru istri beliaulah yang menemani kemana pun dakwah itu dilakukan. Sang istrilah yang membantu menyusun strateginya.
Secara pribadi, dengan melarang seorang istri bekerja di luar, artinya seorang suami telah menutup jalan untuk proses pengembangan diri seorang istri. Bekerja, tidak semata mengatasnamakan perbaikan finansial keluarga.
Saya ceritakan sedikit kasus serupa yang terjadi dalam lingkungan keluarga saya. Ibu saya merupakan seorang apoteker di Dinas Kesehatan salah satu provinsi di Sumatera. Sekali pun bekerja, ibu saya tetap memberikan perhatian penuhnya terhadap kebutuhan suami dan anak-anak. Mulai dari mengerjakan pekerjaan rumah, mengajari anak-anak menyelesaikan tugas sekolah, dll. Khusus untuk pekerjaan rumah, kami sempat memutuskan tidak menggunakan jasa seorang asisten rumah tangga. Semuanya dapat diselesaikan berkat kompromi pembagian tugas yang menurut saya cukup adil. Kemudian suatu hari kami memutuskan untuk mempekerjakan seorang ART, karena pada waktu itu ibu sedang menyelesaikan studio profesinya. Namun tidak bertahan lama, karena apa yang dikerjakan oleh ART tidak lebih baik dari yang dikerjakan oleh ibu dan kami anggota keluarga lainnya.
Bayangkan jika ibu tidak bekerja, sedangkan saya yakin ada banyak potensi yang dapat digali selama masa kerja. Lalu seperti apakah gambaran menjadi ibu yang cerdas jika ia sendiri tidak mengembangkan dirinya?
Memang akan selalu ada permasalahan yang ditimbulkan mengenai keputusan menjadi seorang istri yang bekerja atau ibu rumah tangga. Ini sangat wajar mengingat kehidupan adalah hal yang dinamis.
Di Prancis, ibu rumah tangga menjadi salah satu profesi yang dimuat dalam kartu identitas warga negaranya. Mengapa demikian? Di sana, menjadi ibu rumah tangga merupakan keputusan yang diambil secara sadar, dan bahkan ketika tidak bekerja di luar pun, istri dituntut untuk mengembangkan potensinya misal dalam sebuah komunitas.
Pertanyaan selanjutnya, apakah tugas dalam rumah tangga hanya dilimpahkan pada istri? Tentu tidak. Dalam konteks mengurusi anak, seorang suami juga wajib turut andil. Lagi-lagi mari kita lirik negara Prancis dan Jerman (ya pada dasarnya rumput tetangga nampak lebih subur bukan?). Di sana, seorang suami terlibat langsung terutama dalam mengurusi anak. Hal ini dapat dilihat melalui hak cuti seorang suami ketika ada bayi yang baru lahir. Semakin banyak jumlah anak di rumah, maka semakin banyak pula durasi cutinya.
Bagaimana dengan saya? Apakah nanti ketika memutuskan menjadi seorang istri saya akan terus bekerja? Jelas ya. Tujuannya satu, untuk mengembangkan diri tanpa meninggalkan tugas di rumah yang juga mengikutsertakan suami. Alaskan selanjutnya adalah sebagai bentuk apresiasi pengorbanan ibu dan ayah saya yang telah mengantarkan saya hingga di titik saat ini. Sekali pun saya keras kepala dan terkesan egois, apa pun keputusan yang saya pilih, merupakan hasil pemikiran yang matang dengan kesediaan untuk menyelami konsekuensinya. Atau seandainya saya memutuskan menjadi ibu rumah tangga, saya akan tetap mengupayakan pengembangan diri dengan cara lain. Saya jamin, itu tidak akan menghentikan saya 'mobile' ke sana kemari.
Akhir kata, saya akan mengkritik ulasan penulis artikel Magdalena. Ada beberapa bagian yang tidak sejalan. Dalam kehidupan rumah tangga, penulis masih mencampuradukkan pihak ketiga dalam pengambilan keputusan istri untuk bekerja atau memilih menjadi ibu rumah tangga, yakni orang tua. Padahal jika dihadapkan dengan pilihan, pihak yang terlibat adalah keluarga inti yang terdiri dari istri, suami, dan anak-anak, bukan orang tua. Ketika bekerja, hal ini tidak menutup kemungkinan seorang istri terlepas dari isu kesehatan mental, terutama bila dikaitkan dengan beban kerja yang suatu waktu dapat berlipat ganda. Seandainya bila ingin dilihat lebih mendalam lagi, istri yang bekerja belum tentu dikelilingi oleh teman-teman yang bersedia mendengarkan. Bukankah 'support system' terkuat dapat dibangun oleh keluarga inti? Berbicara soal mengerjakan kegiatan yang itu-itu saja, tenggelam dalam rutinitas, menurut hemat saya, istri kantoran pun akan mengalami rutinitas, sama seperti ibu rumah tangga meskipun ranahnya berbeda. Satu lagi, saya sangat menyayangkan pernyataan penulis artikel yang menjelaskan bahwa saran untuk tantenya agar berkegiatan di luar rumah dengan dalih memperoleh penghasilan tambahan. Padahal dari awal tulisan sudah dijelaskan bahwa penulis menentang pembahasan itu ketika dihadapkan kasus menjadi istri yang bekerja atau menjadi ibu rumah tangga.
Akhir kata, saya akan mengkritik ulasan penulis artikel Magdalena. Ada beberapa bagian yang tidak sejalan. Dalam kehidupan rumah tangga, penulis masih mencampuradukkan pihak ketiga dalam pengambilan keputusan istri untuk bekerja atau memilih menjadi ibu rumah tangga, yakni orang tua. Padahal jika dihadapkan dengan pilihan, pihak yang terlibat adalah keluarga inti yang terdiri dari istri, suami, dan anak-anak, bukan orang tua. Ketika bekerja, hal ini tidak menutup kemungkinan seorang istri terlepas dari isu kesehatan mental, terutama bila dikaitkan dengan beban kerja yang suatu waktu dapat berlipat ganda. Seandainya bila ingin dilihat lebih mendalam lagi, istri yang bekerja belum tentu dikelilingi oleh teman-teman yang bersedia mendengarkan. Bukankah 'support system' terkuat dapat dibangun oleh keluarga inti? Berbicara soal mengerjakan kegiatan yang itu-itu saja, tenggelam dalam rutinitas, menurut hemat saya, istri kantoran pun akan mengalami rutinitas, sama seperti ibu rumah tangga meskipun ranahnya berbeda. Satu lagi, saya sangat menyayangkan pernyataan penulis artikel yang menjelaskan bahwa saran untuk tantenya agar berkegiatan di luar rumah dengan dalih memperoleh penghasilan tambahan. Padahal dari awal tulisan sudah dijelaskan bahwa penulis menentang pembahasan itu ketika dihadapkan kasus menjadi istri yang bekerja atau menjadi ibu rumah tangga.
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin