Ada apa dengan hari ini? Atau bagaimana kabar hari ini? Satu jam yang lalu saya beranjak dari tempat tidur. Seperti biasa hanya mengenakan kaos putih polos dan celana jin santai. Nampak sekali pemalasnya. Saya menoleh ke arah jendela di sudut kamar, ternyata mendung. Ketika sedang sendiri, berapa pun suhunya, kamar akan terasa lebih dingin. Tapi tidak apa, mudah-mudahan dengan berpikir dapat menjaga kehangatan di sekujur tubuh.
Saya berjalan ke dapur, menyiapkan panci untuk merebus daun kelor. Bahan-bahannya pun sangat sederhana. Berbekal satu siung bawang putih, satu sendok teh garam dan gula secukupnya, tambahkan air ke dalam panci, dan didihkan. Kemudian masukkan kira-kira satu genggam daun kelor, tunggu selama satu atau dua menit, lalu hidangkan. Tanaman ini memang terbilang banyak tumbuh di halaman rumah. Bentuknya menyerupai daun katuk. Rasanya dan teksturnya pun begitu. Katanya daun ini baik untuk ibu yang menyusui. Selain daun katuk dan kelor, ada juga okra, bayam, dan berbagai jenis kacang-kacangan yang dapat menjadi penambah suplai ASI.
Ada yang berbeda sedikit dari alat masak yang saya gunakan hari ini. Biasanya menggunakan capit, kali ini saya mencoba menggunakan sumpit. Awalnya sedikit ragu, jangan-jangan hanya akan mengacaukan seisi panci. Ternyata tidak! Justru dengan sumpit, proses merebusnya makin gampang. Ah lain kali kalau masak spaghetti dan sejenisnya, saya coba pakai sumpit, siapa tahu lebih efisien pula dari segi waktu.
Bicara soal makanan sehat, pengetahuan saya tidaklah banyak. Kebutuhan gizi masing-masing orang tidaklah sama. Saya mencoba mengambil garis besarnya saja, misalkan perbanyak mengonsumsi buah dan sayur, minum air mineral minimal 3L dalam sehari, minum susu, kurangi garam dan gula berlebih, dan lain sebagainya. Ohya, saya mau berbagi cerita. Jadi, saya punya kebiasaan tidak mengonsumsi nasi. Hal ini sudah saya lakukan sejak kanak-kanak. Saya tidak menyukai bentuk nasi yang terkesan seperti gumpalan ulat dan rasanya yang hambar. Untuk mengganti kebutuhan karbo, saya mengonsumsi roti, mie, bihun, atau kwetiau.
Belakangan, karena kegiatan makin banyak dan jam istitahat berkurang drastis, stamina tubuh pun memburuk. Saya jadi gampang sakit. Sehari setelah lebaran kemarin, ketika hendak berdiri, saya pingsan. Kepala terasa berat dan semua benda di sekitar seolah berputar tanpa henti. Singkat cerita setelah sadar, ayah dan ibu cepat-cepat mengambil beberapa peralatan untuk cek darah. Di dalamnya sudah termasuk pemeriksaan gula darah, kolesterol, asam urat, dan tensi. Yang saya ingat adalah gula darah dan tensi di bawah batas minimal normal. Bukannya mendapat perhatian khusus, saya malah diomeli oleh kedua orang tua. Ya, saya cenderung akan mendengar nasehat orang-orang ketika saya sendiri mulai mengalami kejadian tidak enak.
Selama satu minggu ini, saya paksakan konsumsi nasi tiap hari meskipun tidak teratur kapan, apakah saat sarapan, makan siang, atau makan malam. Yang penting saya berusahan untuk makan nasi terlebih dahulu.
Semalam bersama Om Chef, kami keluar sejenak untuk mampir ke kedai pecel ayam di Pasar Minggu. Beberapa bulan yang lalu, kalau tidak salah sekitar bulan November kami ke sana, menyantap salah satu makanan kesukaan, ceker ayam. Rasanya gurih dan lemak di bagian kulit cekernya cukup tebal. Wajar saya ketagihan. Sayangnya karena semalam kami tiba lewat tengah malam, ceker pun habis. Akhirnya kami putuskan untuk pesan ayam, nasi, tempe, tahu, dan teh tawar hangat. Beberapa menit mengobrol, pesanan pun jadi. Namun ada satu yang mengganjal, tempe yang kami order tidak ikut dihidangkan. Yang ada malah tahu dan jumlahnya pun bertambah. Setelah makan dan sepanjang perjalanan pulang, kami bertanya-tanya sambil terkekeh, kemana larinya tempe yang tadi dipesan. Menyenangkan sekali. Mencari angin sambil menikmati jalanan yang sudah lebih sepi. Meskipun mengenakan jaket tebal, saya tetap peluk Om Chef erat. Seperti ingin melaju di atas kecepatan 100km/jam, saya rekatkan kedua tangan di pinggang Om Chef.
Makanan yang kami konsumsi semalam terbilang tidak sehat. Namun kami yakin betul, dengan istirahat yang cukup dan minum air mineral yang banyak, racun yang masuk dapat lebih dinetralisir. Mudah-mudahan ya.
Sebenarnya sudah sangat lama, sejak memilih Om Chef, saya ingin sekali mengatakan "teruslah sehat dan kuat, sebab aku ingin menua bersamamu." Terdengar sangat terburu-buru, tapi untuk urusan seperti ini, saya tidak akan main-main. Kenapa sampai saya berkata demikian, alasannya hanya satu, sebab saya yakin dengan yang saya pilih meskipun untuk perjalanan hidup bersama selama puluh tahun tidak melulu mengandalkan cinta. Sederhananya, cinta itu bisa berubah, cinta belum tentu setia. Yang bertahan sangat lama adalah komitmen untuk saling menjaga dan percaya satu sama lain. Lantas, bagaimana dengan ketulusan, seberapa besar porsinya untuk menjadi fondasi? Tentu sangat besar. Tulus yang saya maksud adalah melihat pasangan sama seperti saya, punya kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Jika suatu hari terjadi gesekan, itu tidak akan memberatkan. Hal yang sangat wajar jika ada perselisihan. Namun secara pribadi, saya cenderung akan bereaksi lebih tenang.
Seorang teman bertanya, "bungkam atau tenang?"
Saya jawab "tenang."
Tenang berarti saya berusaha memahami dan membaca tanda-tanda sebab dan akibatnha. Energi yang saya punya, alangkah baiknha jika digunakan untuk hal-hal yang bersifat kritis. Setelah dengan matang memikirkan keputusan apa yang mesti diambil, barulah saya bertindak. Berbeda dengan bungkam yang berarti paham sebab dan akibat, tapi memilih untuk tidak melakukan apa-apa, berharap pasangan akan mengerti secara instan. Menurut saya cara kerjanya tidak demikian. Komunikasi tetap menjadi elemen penting. Segenting apa pun situasinya, saya akan berusaha mengoptimalkan komunikasi sebagai upaya untuk berdamai. Untuk apa memperkarakan hal-hal yang sebenarnya masih dapat diperbaiki. Bertengkar tidak akan menyelesaikan masalah, justru membuat hubungan semakin kusut.
Begitu pun dengan 'manut'. Hal ini bukan berarti saya akan selalu menganggukkan kepala pada setiap hal. Tentu saja tidak. Manut yang saya maksudkan adalah sebagak jalan tengah untuk kebaikan bersama. Ketika berjalan berdua, yang mesti diperhatikan adalah keselamatan dua pihak. Saya tidak akan bicara mengenai kenyamanan. Kenapa? Menurut hemat saya, nyaman biasanya akan membuag kewaspadaan berkurang. Tapi lagi-lagi, saya bukanlah penakut dan pengecut. Ketika sudah basah, saya akan terus menyelam hingga ke dasar, tidak peduli apakah itu laut yang dangkal atau palung.
Tabik.
Saya berjalan ke dapur, menyiapkan panci untuk merebus daun kelor. Bahan-bahannya pun sangat sederhana. Berbekal satu siung bawang putih, satu sendok teh garam dan gula secukupnya, tambahkan air ke dalam panci, dan didihkan. Kemudian masukkan kira-kira satu genggam daun kelor, tunggu selama satu atau dua menit, lalu hidangkan. Tanaman ini memang terbilang banyak tumbuh di halaman rumah. Bentuknya menyerupai daun katuk. Rasanya dan teksturnya pun begitu. Katanya daun ini baik untuk ibu yang menyusui. Selain daun katuk dan kelor, ada juga okra, bayam, dan berbagai jenis kacang-kacangan yang dapat menjadi penambah suplai ASI.
Ada yang berbeda sedikit dari alat masak yang saya gunakan hari ini. Biasanya menggunakan capit, kali ini saya mencoba menggunakan sumpit. Awalnya sedikit ragu, jangan-jangan hanya akan mengacaukan seisi panci. Ternyata tidak! Justru dengan sumpit, proses merebusnya makin gampang. Ah lain kali kalau masak spaghetti dan sejenisnya, saya coba pakai sumpit, siapa tahu lebih efisien pula dari segi waktu.
Bicara soal makanan sehat, pengetahuan saya tidaklah banyak. Kebutuhan gizi masing-masing orang tidaklah sama. Saya mencoba mengambil garis besarnya saja, misalkan perbanyak mengonsumsi buah dan sayur, minum air mineral minimal 3L dalam sehari, minum susu, kurangi garam dan gula berlebih, dan lain sebagainya. Ohya, saya mau berbagi cerita. Jadi, saya punya kebiasaan tidak mengonsumsi nasi. Hal ini sudah saya lakukan sejak kanak-kanak. Saya tidak menyukai bentuk nasi yang terkesan seperti gumpalan ulat dan rasanya yang hambar. Untuk mengganti kebutuhan karbo, saya mengonsumsi roti, mie, bihun, atau kwetiau.
Belakangan, karena kegiatan makin banyak dan jam istitahat berkurang drastis, stamina tubuh pun memburuk. Saya jadi gampang sakit. Sehari setelah lebaran kemarin, ketika hendak berdiri, saya pingsan. Kepala terasa berat dan semua benda di sekitar seolah berputar tanpa henti. Singkat cerita setelah sadar, ayah dan ibu cepat-cepat mengambil beberapa peralatan untuk cek darah. Di dalamnya sudah termasuk pemeriksaan gula darah, kolesterol, asam urat, dan tensi. Yang saya ingat adalah gula darah dan tensi di bawah batas minimal normal. Bukannya mendapat perhatian khusus, saya malah diomeli oleh kedua orang tua. Ya, saya cenderung akan mendengar nasehat orang-orang ketika saya sendiri mulai mengalami kejadian tidak enak.
Selama satu minggu ini, saya paksakan konsumsi nasi tiap hari meskipun tidak teratur kapan, apakah saat sarapan, makan siang, atau makan malam. Yang penting saya berusahan untuk makan nasi terlebih dahulu.
Semalam bersama Om Chef, kami keluar sejenak untuk mampir ke kedai pecel ayam di Pasar Minggu. Beberapa bulan yang lalu, kalau tidak salah sekitar bulan November kami ke sana, menyantap salah satu makanan kesukaan, ceker ayam. Rasanya gurih dan lemak di bagian kulit cekernya cukup tebal. Wajar saya ketagihan. Sayangnya karena semalam kami tiba lewat tengah malam, ceker pun habis. Akhirnya kami putuskan untuk pesan ayam, nasi, tempe, tahu, dan teh tawar hangat. Beberapa menit mengobrol, pesanan pun jadi. Namun ada satu yang mengganjal, tempe yang kami order tidak ikut dihidangkan. Yang ada malah tahu dan jumlahnya pun bertambah. Setelah makan dan sepanjang perjalanan pulang, kami bertanya-tanya sambil terkekeh, kemana larinya tempe yang tadi dipesan. Menyenangkan sekali. Mencari angin sambil menikmati jalanan yang sudah lebih sepi. Meskipun mengenakan jaket tebal, saya tetap peluk Om Chef erat. Seperti ingin melaju di atas kecepatan 100km/jam, saya rekatkan kedua tangan di pinggang Om Chef.
Makanan yang kami konsumsi semalam terbilang tidak sehat. Namun kami yakin betul, dengan istirahat yang cukup dan minum air mineral yang banyak, racun yang masuk dapat lebih dinetralisir. Mudah-mudahan ya.
Sebenarnya sudah sangat lama, sejak memilih Om Chef, saya ingin sekali mengatakan "teruslah sehat dan kuat, sebab aku ingin menua bersamamu." Terdengar sangat terburu-buru, tapi untuk urusan seperti ini, saya tidak akan main-main. Kenapa sampai saya berkata demikian, alasannya hanya satu, sebab saya yakin dengan yang saya pilih meskipun untuk perjalanan hidup bersama selama puluh tahun tidak melulu mengandalkan cinta. Sederhananya, cinta itu bisa berubah, cinta belum tentu setia. Yang bertahan sangat lama adalah komitmen untuk saling menjaga dan percaya satu sama lain. Lantas, bagaimana dengan ketulusan, seberapa besar porsinya untuk menjadi fondasi? Tentu sangat besar. Tulus yang saya maksud adalah melihat pasangan sama seperti saya, punya kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Jika suatu hari terjadi gesekan, itu tidak akan memberatkan. Hal yang sangat wajar jika ada perselisihan. Namun secara pribadi, saya cenderung akan bereaksi lebih tenang.
Seorang teman bertanya, "bungkam atau tenang?"
Saya jawab "tenang."
Tenang berarti saya berusaha memahami dan membaca tanda-tanda sebab dan akibatnha. Energi yang saya punya, alangkah baiknha jika digunakan untuk hal-hal yang bersifat kritis. Setelah dengan matang memikirkan keputusan apa yang mesti diambil, barulah saya bertindak. Berbeda dengan bungkam yang berarti paham sebab dan akibat, tapi memilih untuk tidak melakukan apa-apa, berharap pasangan akan mengerti secara instan. Menurut saya cara kerjanya tidak demikian. Komunikasi tetap menjadi elemen penting. Segenting apa pun situasinya, saya akan berusaha mengoptimalkan komunikasi sebagai upaya untuk berdamai. Untuk apa memperkarakan hal-hal yang sebenarnya masih dapat diperbaiki. Bertengkar tidak akan menyelesaikan masalah, justru membuat hubungan semakin kusut.
Begitu pun dengan 'manut'. Hal ini bukan berarti saya akan selalu menganggukkan kepala pada setiap hal. Tentu saja tidak. Manut yang saya maksudkan adalah sebagak jalan tengah untuk kebaikan bersama. Ketika berjalan berdua, yang mesti diperhatikan adalah keselamatan dua pihak. Saya tidak akan bicara mengenai kenyamanan. Kenapa? Menurut hemat saya, nyaman biasanya akan membuag kewaspadaan berkurang. Tapi lagi-lagi, saya bukanlah penakut dan pengecut. Ketika sudah basah, saya akan terus menyelam hingga ke dasar, tidak peduli apakah itu laut yang dangkal atau palung.
Tabik.
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin