Langsung ke konten utama

What's Mine is Mine

Beberapa hari setelah merayakan hari besar Idul Fitri, kondisi tubuh saya drop lagi. Bolak-balik flu dan khawatir asma kambuh, saya memutuskan menyimpan stock obat dan menambah satu lagi inhaler di tas. Ya betul, saya akan berangkat ke Jakarta kembali besok lusa. Tidak hanya fisik yang sedang tidak membaik, pelan-pelan isi kepala pun ikut kacau. Salah satu pemicunya karena saya merasa sangat sedih dapat pulang hanya delapan hari. Padahal sebelumnya saya berniat menghabiskan kira-kira dua minggu untuk berkumpul dengan orang-orang terkasih. Alhasil seperti biasa, drama pun dimulai. Saya mengunci diri dalam kamar beberapa jam sambil menenangkan diri, mengajak diri sendiri untuk berdamai sambil meremas dada kiri sekuat-kuatnya. Terkadang, kalau sedang begini saya suka bertanya dalam hati, siapa atau apa saya sebenarnya. Kok masih suka bertingkah layaknya anak kecil, merengek jika ada hal yang tidak berjalan di luar rencana. Percayalah teman-teman, berkompromi dengan saya tidak akan berjalan mulus terlebih jika sebelumnya rencana itu sudah saya bukukan dalam agenda, bahkan di saat emergensi sekali pun.

Satu-persatu pikiran saya berloncatan, minta dikeluarkan. Kalau pun nantinya kepala terasa lebih plong, tidak sampai lima menit kepala akan penuh kembali. Seterusnya akan begitu sampai mereda sendiri.

Saya teringat dengan beberapa perbincangan dengan beberapa orang yang membahas 'manusia'. Setelah menggambar beberapa began, hal ini bertujuan untuk mempermudah saya dalam menarik benang merahnya, kemudian mata saya tertuju pada definisi bebas 'manusia'. Tentu saja ini berdasarkan perspektif pribadi.

Melihat kebiasaan saya yang gemar mencatat ini itu dan mengagendakan rutinitas secara urut bahkan untuk satu bulan ke depan, kok rasanya saya seolah dikontrol oleh rutinitas, padahal sayalah yang merancangnya. Lucu bukan? 'Manusia' jangan-jangan tidak lebih dari high-functioning zombies. Namun di satu sisi, tenggelam dalam kerumunan dan rutinitas merupakan cara untuk terlibat dengan hidup sebaik-baiknya. Well, akan senantiasa ada dualisme. Tidak ada hal yang bersifat mutlak seratus persen.

Setelah disibukkan dengan bagan manusia, saya mengerucutkannya pada definisi 'saya'. Untuk menghindari definisi biner 'manusia-saya' dan 'saya-manusia', saya putuskan untuk mencoba menuliskan 'saya' sebagai individu yang secara sadar bebas dan memahami konsekuensi dari tiap tindakan yang dikerjakan. Terdengar eksistensialis sekali. Sedikit lebih baik dibandingkan hanya membatasi sebagai perempuan yang terdengar sangat feminis yang pro-life dan atau pro-choice.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...