Bagaimana mungkin seseorang bisa berlaku tulus pada yang lain, sedang yang lain dapat berarti orang terdekat dari lingkaran keluarga dan teman, serta 'the outsiders' yang dapat berarti kekasih, 'the passersby', penjual sayur dan buah di pasar, rekan bekerja, anak didik, dan sebagainya? Bagaimana mungkin kita dapat menerapkan ketulusan?
Mungkin sederhananya seperti ini. Kita berlaku tulus karena sesungguhnya kita memahami ada nilai-nilai keluhuran yang terkandung dalam ketulusan. Ada semacam muatan positif, apabila mengisi tindak-tanduk kita, maka kedamaian dan kesejukan yang akan didapatkan. Atau juga satu hal lagi, pada dasarnya kita menyimpan keinginan untuk diperlakukan dengan cara yang sama, yakni secara tulus. Namun daripada menunggu diperlakukan demikian, kitalah yang memulainya terlebih dahulu.
Lalu bagaimana jika yang terjadi di luar ekspektasi? Bagaimana jika setelah berlaku tulus, tindakan kita tidak dibalas dengan kebaikan yang sama? Lantas marahkah atau kecewakah kita dengannya?
Bergumul seperti ini mungkin bukan barang baru. Hanya saja sejauh mana kita akan bereaksi, memilih untuk dikendalikan emosikah atau sebaliknya, cukup menjadi pengamat yang memahami diri kita sedang marah atau kecewa, sambil mengobservasi sebab dan akibatnya.
Terlalu prematur untuk mengatakan kita seolah dalam genggaman relasi kuasa. Bertindak tulus pun karena kita sebenarnya dikuasai oleh orang-orang di sekitar, oleh harapan-harapan semu, dan ketakutan akan diperlakukan di luar ekpektasi. Terlepas dari dikotomi salah atau benar, masih bersediakah kita untuk tulus? Atau jangan-jangan ini hanya 'trick' atau strategi pemasaran mengenai hubungan baik dan buruk yang berkedok relasi kuasa.
Ketika sedang dibungkam dan dipaksa tunduk, sadar atau tidak kita membayangkan diri berontak sekuat tenaga meskipun yang dikeluarkan suaranya kecil, sulit didengar dan dimengerti oleh lawan bicara. Namun tak salahnya mencoba.
Tabik
Mungkin sederhananya seperti ini. Kita berlaku tulus karena sesungguhnya kita memahami ada nilai-nilai keluhuran yang terkandung dalam ketulusan. Ada semacam muatan positif, apabila mengisi tindak-tanduk kita, maka kedamaian dan kesejukan yang akan didapatkan. Atau juga satu hal lagi, pada dasarnya kita menyimpan keinginan untuk diperlakukan dengan cara yang sama, yakni secara tulus. Namun daripada menunggu diperlakukan demikian, kitalah yang memulainya terlebih dahulu.
Lalu bagaimana jika yang terjadi di luar ekspektasi? Bagaimana jika setelah berlaku tulus, tindakan kita tidak dibalas dengan kebaikan yang sama? Lantas marahkah atau kecewakah kita dengannya?
Bergumul seperti ini mungkin bukan barang baru. Hanya saja sejauh mana kita akan bereaksi, memilih untuk dikendalikan emosikah atau sebaliknya, cukup menjadi pengamat yang memahami diri kita sedang marah atau kecewa, sambil mengobservasi sebab dan akibatnya.
Terlalu prematur untuk mengatakan kita seolah dalam genggaman relasi kuasa. Bertindak tulus pun karena kita sebenarnya dikuasai oleh orang-orang di sekitar, oleh harapan-harapan semu, dan ketakutan akan diperlakukan di luar ekpektasi. Terlepas dari dikotomi salah atau benar, masih bersediakah kita untuk tulus? Atau jangan-jangan ini hanya 'trick' atau strategi pemasaran mengenai hubungan baik dan buruk yang berkedok relasi kuasa.
Ketika sedang dibungkam dan dipaksa tunduk, sadar atau tidak kita membayangkan diri berontak sekuat tenaga meskipun yang dikeluarkan suaranya kecil, sulit didengar dan dimengerti oleh lawan bicara. Namun tak salahnya mencoba.
Tabik
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin