Aku selalu menikmati menulis dan bercerita di tempat yang cenderung gelap. Kedua mataku dapat lebih fokus mengerjakan sesuatu jika diterangi cahaya yang relatif sedikit. Orang-orang bilang itu tidak baik untuk kesehatan. Tapi percaya atau tidak, belasan tahun lalu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, aku selalu menginginkan mengenakan kacamata. Menurutku perempuan berkacamata akan terlihat lebih manis. Kira-kira di kelas delapan, tepat di hari ulang tahunku, aku berangan-angan dihadiahi kacamata dengan frame yang transparan. Hingga suatu hari agar keinginanku terpenuhi, aku memohon pada Tuhan untuk menganugerahi kedua nataku dengan penglihatan yang tidak normal.
Saat itu, ketika di bangku sekolah, Tuhan masih menjadi candu. Jika tidak melibatkanNya dalam setiap gerakan, usahaku akan sia-sia. Bila menilik diri ini jauh ke belakang, betapa aku masih sangat naif dengan mempercayai hal-hal yang tak dapat ditangkap oleh pengalaman inderawi. Asalkan percaya, semua hal dapat berjalan mulus.
Aku mengakui bahwa ada semacam pemberontakan dan penolakan yang terus-menerus tumbuh dalam diriku, terutama menyoal keyakinan. Sejatinya, aku tidak akan mempercayai suatu hal dengan jalan Pintas, katakanlah dengan sekadar menjadi pengikut yang menerima suatu pelajaran apalagi bersifat spiritual dengan cara disuap. Namun bukan berarti aku mengerdilkan orang-orang terdekat yang cenderung menerima hal semacam ini begitu legowo-nya.
Jadi jika ada yang bertanya percaya pada apakah aku saat ini? Jawabnya sederhana, aku mempercayai energi-energi positif yang datang darimana saja, tentu kesimpulan akan energi-energi seperti ini harus diperoleh melalui pengalaman yang kritis.
Liburan kali ini, aku pulang. Pilihan kata pulang digunakan karena tempat yang kutuju adalah rumah, dan rumah semestinya menjadi tempat nyaman untuk penghuninya.
Ah ternyata aku masih menjumpai kejadian yang sama. Di rumah aku masih dapat mendengarkan pertengkaran kecil ibu dan ayah. Menurutku hal itu hanya didasari oleh sifat kekanak-kanakan mereka. Bajwasanya menjadi lebih tua tidak menjamin dirimu akan bertambah dewasa. Ya tidak masalah, sebab siapa yang dapat benar-benar menjamin kita sudah berada di kondisi sebagai individual yang dewasa. Tidak ada. Itu hanya persepsi. Begitu pun dengan pendapat saya yang terkesan menghakimi.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Palembang ... (To be continued)
Tabik.
Saat itu, ketika di bangku sekolah, Tuhan masih menjadi candu. Jika tidak melibatkanNya dalam setiap gerakan, usahaku akan sia-sia. Bila menilik diri ini jauh ke belakang, betapa aku masih sangat naif dengan mempercayai hal-hal yang tak dapat ditangkap oleh pengalaman inderawi. Asalkan percaya, semua hal dapat berjalan mulus.
Aku mengakui bahwa ada semacam pemberontakan dan penolakan yang terus-menerus tumbuh dalam diriku, terutama menyoal keyakinan. Sejatinya, aku tidak akan mempercayai suatu hal dengan jalan Pintas, katakanlah dengan sekadar menjadi pengikut yang menerima suatu pelajaran apalagi bersifat spiritual dengan cara disuap. Namun bukan berarti aku mengerdilkan orang-orang terdekat yang cenderung menerima hal semacam ini begitu legowo-nya.
Jadi jika ada yang bertanya percaya pada apakah aku saat ini? Jawabnya sederhana, aku mempercayai energi-energi positif yang datang darimana saja, tentu kesimpulan akan energi-energi seperti ini harus diperoleh melalui pengalaman yang kritis.
Liburan kali ini, aku pulang. Pilihan kata pulang digunakan karena tempat yang kutuju adalah rumah, dan rumah semestinya menjadi tempat nyaman untuk penghuninya.
Ah ternyata aku masih menjumpai kejadian yang sama. Di rumah aku masih dapat mendengarkan pertengkaran kecil ibu dan ayah. Menurutku hal itu hanya didasari oleh sifat kekanak-kanakan mereka. Bajwasanya menjadi lebih tua tidak menjamin dirimu akan bertambah dewasa. Ya tidak masalah, sebab siapa yang dapat benar-benar menjamin kita sudah berada di kondisi sebagai individual yang dewasa. Tidak ada. Itu hanya persepsi. Begitu pun dengan pendapat saya yang terkesan menghakimi.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Palembang ... (To be continued)
Tabik.
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin