Langsung ke konten utama

Selamat Hari Ayah

Hai Ayah! Tidak terasa sudah sepuluh hari anakmu pergi kembali dari rumah. Perjumpaan kita yang singkat kemarin, kurang lebih delapan hari, mudah-mudahan cukup membayar kerinduan seorang anak untuk senantiasa merasa aman di bawah lindungan ayahnya.

Saya menuliskan ini dengan menepis jauh-jauh apa itu relasi kuasa antara orang tua terhadap anaknya. Bahwasanya sampai kapan pun, dimana pun, dan berapa pun usia seorang anak, bagi seorang ayah, ia tetaplah seorang anak kecil. Ia perlu dituntun, perlu diarahkan, perlu dibimbing, perlu diajari, atau kalau perlu dilindungi selama-lamanya karena pandangan bahwa anak, sejak ia masih dalam buaian hingga dewasa pun, adalah makhluk tidak berdaya.

Ayah, terima kasih sudah mengantarkan saya jauh ke pintu ini. Saya berada di titik ini tidak lepas dari 'support' dan doa yang terus-menerus dilafalkan. Meski saya terbilang sebagai anak yang keras kepala, egois, membangkang, dan tidak jarang membuat banyak masalah, melihat kasih sayangmu yang luas, apalagi yang saya pinta.

Hubungan kita, hubungan orang tua dan anak, perjalanannya melelahkan. Saya paham terkadang ayah sangat kecewa dan marah dengan sikap yang saya ambil. Tapi percayalah satu hal, ayah tetap menjadi cinta pertama. Bila ada satu orang yang akan memperjuangkan seorang manusia lain hingga tetes darah penghabisan, ia adalah ayah.

Belakangan saya merasa lega akhirnya hubungan kita membaik. Tak heran ketika hendak pergi kemarin, saya merasa sangat sedih. Terutama karena tidak menemani ayah. Saya mohon maaf.

Jika suatu hari ayah membutuhkan orang yang enak diajak bicara, datanglah pada saya, jangan sekali-kali merasa sungkan. Jika ayah membutuhkan teman, sayalah orangnya. Ayah tahu kapan dan dimana saya berada. Meski awalnya akan menjadi canggung, biarkan saja. Itulah proses. Kita sama-sama berproses. Kita sama-sama mendewasakan diri masing-masing.

Ayah, boleh anakmu minta satu hal? Barangkali ini agak sulit. Ayah, tolong percayalah pada anakmu, percayalah pada tiap pilihan yang ditempuh anakmu. Percayalah bahwa pilihan yang dipilih itu, akan menjadi yang terbaik untuk anakmu.

Kita terpaut ribuan kilometer. Meskipun demikian, mudah-mudahan komunikasi yang terjalin tetap terjaga dan semakin membaik ke depan. Anakmu sudah semakin kuat sekarang. Dulunya saya pernah bodoh, tapi saya terus belajar, bukan untuk sekadar menjadi lebih cerdas. Namun untuk tujuan memenuhi hasrat sebagai seorang manusia yang berkewajiban terus belajar hingga akhir hayatnya. Terima kasih Ayah!

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...