bulan kita terbit di pinggul pagi, pukul lima
”ma, sudah bangunkah kamu
dari ringkuk dada dan baju daster
yang bergulung?
aku menyingkap jendela,
menerima telpon, memakai
celana pendek. dingin sekali di sini,
tak ada hujan, tapi ada salju
yang turun perlahan mengguyur
tapak kering di tanganmu.
aku menangis, basahlah sekujur
tubuhmu.”
”aku berbisik di telinga kirimu
tapi kamu tersenyum. panggilan
sayang kali ini berbeda.
terasa lebih manis.
aku ingin mengecupnya
menjadi puting yang meraung
pada kekasihnya”
”di jalan yang membentur,
bukalah langkahmu, ma!
aku ingin berselimut
ingin sekali lagi mengulang
bagaimana meniduri harapan silam
yang kadang tumbuh
merambat seperti bulu kakiku.”
”mimpimu, segeralah bermukim
menjadi lagu-lagu
hidupku akan terus bernyanyi
berdegup kencang dengan kerlip lelampu
yang senantiasa memendar
dan menguning
di bawah hujan itu, ma.”
”tapi malam meringkuk begitu jauh
dari sumbernya”
”bukankah bagimu
bagiku itu juga akan menjadi
terang seiring asap-asap
di jalan yang kian terbang
menghinggapi wajah kita
untuk dibasuh. disapu dari lelah”
”ini ma,
hatiku hanya satu
kita hanya berdua
dan tak mungkin lagi
berbagi, selain dengan cinta”
”terkadang, mata ini buta
menyambutmu dari keluasan
laut yang tak bernama sesiapa”
kamu menoleh
aku hidup sekali lagi
kamu bicara
aku bernafas berkali-kali
kita tersenyum
mematikan tivi-tivi kisah remaja
:
sebab tak mungkin aku menguburnya
di perutmu. cukuplah anak kita
yang menempatinya dengan damai.
timbunan lemakku
bertambah. aku akan gemuk
tapi kamu tidak takut
”aku makin menggila, ma
menelan bulat genangan keringat
dingin di kepalamu. rasa asinnya
membuatku tak pernah suka”
”sebab itulah
kenapa asin di lautku
banyak yang tenggelam.
lautku menjadi lava
garam di dalam, garam di rambutmu
aku telan.”
satu
dua
tiga
aku mulai menghitung
kapan kamu akan terbangun
menggenggam pipiku dengan gemas
satu
dua
tiga
kamu gembira
aku tertawa
membuka mata,
matahari, bantal, dan kaca jendela
sudah basah
hujan di sini tiba-tiba turun
”aku ingin berteduh di rimbun alismu
aku ini bersih, bau sabun, lotion,
parfum, semuanya
aku pakai tiap menjelang pagi akan lahir
di pundak rebahmu yang berat”
satu
dua
tiga
”kamu bangun
aku mengenakan celana
:
mari, kita bercanda”
-Sekayu, Ogust 2010-
”ma, sudah bangunkah kamu
dari ringkuk dada dan baju daster
yang bergulung?
aku menyingkap jendela,
menerima telpon, memakai
celana pendek. dingin sekali di sini,
tak ada hujan, tapi ada salju
yang turun perlahan mengguyur
tapak kering di tanganmu.
aku menangis, basahlah sekujur
tubuhmu.”
”aku berbisik di telinga kirimu
tapi kamu tersenyum. panggilan
sayang kali ini berbeda.
terasa lebih manis.
aku ingin mengecupnya
menjadi puting yang meraung
pada kekasihnya”
”di jalan yang membentur,
bukalah langkahmu, ma!
aku ingin berselimut
ingin sekali lagi mengulang
bagaimana meniduri harapan silam
yang kadang tumbuh
merambat seperti bulu kakiku.”
”mimpimu, segeralah bermukim
menjadi lagu-lagu
hidupku akan terus bernyanyi
berdegup kencang dengan kerlip lelampu
yang senantiasa memendar
dan menguning
di bawah hujan itu, ma.”
”tapi malam meringkuk begitu jauh
dari sumbernya”
”bukankah bagimu
bagiku itu juga akan menjadi
terang seiring asap-asap
di jalan yang kian terbang
menghinggapi wajah kita
untuk dibasuh. disapu dari lelah”
”ini ma,
hatiku hanya satu
kita hanya berdua
dan tak mungkin lagi
berbagi, selain dengan cinta”
”terkadang, mata ini buta
menyambutmu dari keluasan
laut yang tak bernama sesiapa”
kamu menoleh
aku hidup sekali lagi
kamu bicara
aku bernafas berkali-kali
kita tersenyum
mematikan tivi-tivi kisah remaja
:
sebab tak mungkin aku menguburnya
di perutmu. cukuplah anak kita
yang menempatinya dengan damai.
timbunan lemakku
bertambah. aku akan gemuk
tapi kamu tidak takut
”aku makin menggila, ma
menelan bulat genangan keringat
dingin di kepalamu. rasa asinnya
membuatku tak pernah suka”
”sebab itulah
kenapa asin di lautku
banyak yang tenggelam.
lautku menjadi lava
garam di dalam, garam di rambutmu
aku telan.”
satu
dua
tiga
aku mulai menghitung
kapan kamu akan terbangun
menggenggam pipiku dengan gemas
satu
dua
tiga
kamu gembira
aku tertawa
membuka mata,
matahari, bantal, dan kaca jendela
sudah basah
hujan di sini tiba-tiba turun
”aku ingin berteduh di rimbun alismu
aku ini bersih, bau sabun, lotion,
parfum, semuanya
aku pakai tiap menjelang pagi akan lahir
di pundak rebahmu yang berat”
satu
dua
tiga
”kamu bangun
aku mengenakan celana
:
mari, kita bercanda”
-Sekayu, Ogust 2010-
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin