Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2019

Tahukah Kamu?

Carnival, by Vesselin Vassilev Pernahkah kalian mengalami kondisi 'guilty pleasure'? Yup, kondisi ini terjadi ketika kita menikmati melakukan suatu hal dan begitu sungkan untuk mengakuinya, terutama pada teman dan keluarga. Masing-masing orang akan mempunyai 'guilty pleasure' yang berbeda. Itu wajar. Lalu bagaimana dengan saya? What becomes my most guilty pleasure? Saya bisikin ya, tapi jangan bilang siapa-siapa. Kalau ketahuan, malah nantinya tidak menjadi 'guilty pleasure' lagi. Dengarkan dengan baik ya. Saya paling menikmati bepergian seorang diri. Itulah 'guilty pleasure saya. Mengapa? Ketika sedang bepergian sendirian, saya mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengeksplorasi sebanyak-banyaknya. Ketika mengeksplorasi, saya tidak perlu khawatir ditunggu dan menunggu, tidak diburu waktu, kesempatan untuk bertemu orang-orang baru lebih besar meskipun secara pribadi saya paling menghindari kontak mata dengan orang asing (ya paradoks ini menja

Women's corner dan Men's Zone

Kemarin siang di perjalanan menuju Office 8, saya melewati sebuah 'cafe' dan tidak sengaja mendapati papan bertuliskan women's corner and men's zone. Benar saja ini menarik perhatian saya. Mengapa harus ada pembeda antara area untuk perempuan dan laki-laki? Sebelum berpendapat lebih jauh, sejenak saya mengulik apa saja yang berkenaan dengan women's corner dan men's zone.  Pada mesin pencari, women's corner meliputi semua aspek yang berkenaan dengan perempuan, dimulai dari dapur, make-up, online shop, hal-hal seputar kesuburan - kehamilan - 'breastfeeding' seluk-beluk mengenai si kecil, dan lain sebagainya. Begitu pun dengan men's zone, membahas mengenai hobi dan gaya hidup terkini, yang mencakup otomotif yang disertai dengan figur perempuan mengenakan pakaian minim, 'hair cut' yang lebih menitikberatkan pada maskulinitas, olahraga, serba-serbi dunia malam, dan sebagainya. Dari hasil pencarian ini saya menyimpulkan bahwa dalam masyara

Bekerja atau Menjadi Ibu Rumah Tangga, Pro dan Kontra

Sebelumnya saya akan jelaskan terlebih dahulu alasan dimuatnya tulisan ini. Untuk menanggapi salah satu tulisan yang diterbitkan oleh Magdalena mengenai pro dan kontra seorang istri yang memilih bekerja di luar dan menjadi seorang ibu rumah tangga.  Dalam artikelnya dijelaskan bahwa tulisan itu pun dimaksudkan sebagai tanggapan dari artikel lain yang menjelaskan keuntungan ketika seorang istri menjadi seorang ibu rumah tangga. Dari kacamata seorang suami, istri yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga tidak akan berpengaruh banyak terhadap pendapatan bulanan keluarga. Dalam artian seperti ini, kalau tidak bekerja, toh tidak ada pengeluaran untuk ongkos dari rumah menuju kantor, tidak ada pengeluaran untuk asisten rumah tangga, anak-anak tidak perlu les di luar karena tugas mengajar di rumah sudah dikerjakan oleh ibu, bahkan hingga asuransi. Untuk penjabaran itu, saya sependapat dengan penulis Magdalena, bahwa hitung-hitungan seperti ini hanya terjadi pada suami yang pelit.  Pe

MOURIR ET VIVRE

Rendra pernah menulis sajak berjudul Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Sajak ini kurang lebih berisi pesan dari seorang kekasih yang berprofesi sebagai seorang maling kepada pacarnya agar kelak ketika menikah dengan lelaki yang jauh lebih mapan, mengutamakan keselamatan. Selain itu pesan penting selanjutnya adalah menomorduakan asmara. Sajak ini ketika dibaca, membuat saya bergejolak. Apabila dikaitkan dengan kehidupan riil saat ini, cinta bukan harga telak untuk melanggengkan perihal rumah tangga. Sekadar untuk menjadi lebih realistis, tak jarang banyak yang merelakan cintanya dan ditukar dengan hal-hal bersifat materi. Namun, tidak salah juga bila saya, sebagai manusia yang sadar dan memiliki kebebasan dalam memilih, tetap memutuskan untuk mengutamakan cinta. Terdengar naif memang. Saya berpendapat demikian tentu tidak lepas dari keyakinan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cinta. Dunia seperti kotak Pandora, hanya satu kebaikan yang tersisa, yakni harapan. Cintalah

Selamat Hari Ayah

Hai Ayah! Tidak terasa sudah sepuluh hari anakmu pergi kembali dari rumah. Perjumpaan kita yang singkat kemarin, kurang lebih delapan hari, mudah-mudahan cukup membayar kerinduan seorang anak untuk senantiasa merasa aman di bawah lindungan ayahnya. Saya menuliskan ini dengan menepis jauh-jauh apa itu relasi kuasa antara orang tua terhadap anaknya. Bahwasanya sampai kapan pun, dimana pun, dan berapa pun usia seorang anak, bagi seorang ayah, ia tetaplah seorang anak kecil. Ia perlu dituntun, perlu diarahkan, perlu dibimbing, perlu diajari, atau kalau perlu dilindungi selama-lamanya karena pandangan bahwa anak, sejak ia masih dalam buaian hingga dewasa pun, adalah makhluk tidak berdaya. Ayah, terima kasih sudah mengantarkan saya jauh ke pintu ini. Saya berada di titik ini tidak lepas dari 'support' dan doa yang terus-menerus dilafalkan. Meski saya terbilang sebagai anak yang keras kepala, egois, membangkang, dan tidak jarang membuat banyak masalah, melihat kasih sayangmu yang

Percakapan Pagi Ini

Om Chef : ga beli martabak? Saya         : ohya! (Sambil bergegas nyamperin si abang martabak). . . . Saya        : bang martabaknya 10 (menyerahkan uang 12k500 rupiah - anyway martabak di sini beli 5k dapat 4. Walaupun murah tapi Om Chef pun mengakui rasanya enak). Si abang : OK! Campur? (Maksudnya si abang tanya saya mau beli keempat varian apa tidak. Ada cokelat, cokelat kacang, keju, dan ketan hitam). Saya        : ya campur aja (sampai di sini I was pickled pink ketika liat antrean tidak panjang). Lima menit kemudian si abang bungkusin martabaknya. Tapi kok rasa-rasanya yang dibungkusin jumlahnya ga sampai 10. Dalam hati cuma bilang, ah mungkin saya salah hitung. Setelah pulang dan menghitung jumlah martabak, benar ternyata cuma ada delapan martabak. Aduh, sedih juga ya. Mau balik lagi dan minta kurangnya tapi kok rasanya ga enak). . . . Saya       : Mas, kamu off lagi minggu depan. Kamu ga kasian liat aku? Masih lama banget! Om Chef : (balik menatap dan mengangguk).

S E M A R A N G

Pulang saja katamu Tapi aku lebih suka mendengarkan suara bising yang berseliweran di sini Kota Lama yang menyala-nyala Lampu jalanan dan gedung-gedung perkantoran sengaja menabrakkan diri Bersekongkol menarik perhatian kita yang selalu tertuju pada jembatan layang Dan anak tangganya Kerap memergoki kita Pejalan kaki yang ringkih, memimpikan jalur paling cepat untuk sampai ke tempat yang asing Sebab aku memandangi bulan Senyumnya yang magis menempel di wajahmu Warna-warna yang dominan kuning, seperti candu, sesekali dapat kita pesan di tengah malam Di pintu masuk sebuah bar katamu Aku mengigau bulan sabit, joki cakram, dentum musik, dan sedikit pekikan dibalut minuman keras Tapi berhati-hatilah sayang Kita tak pernah benar-benar aman bercerita di sini Sebab cinta dan rindu terlampau gaduh Jekardah, June 2019

Perbincangan Hari Ini, Esok, dan Seterusnya

Perbincangan hari ini esok, dan seterusnya adalah rumah Sisa luka yang terbakar ditimpa panas pagi  Matahari berjalan, mengitari yang lembab semalaman di pekarangan rumahku Dahan dan ranting  Menggeliat tatkala laut kau jatuhkan dari langit Tapi bukan hujan atau bongkahan es yang mencair di atas titik nol derajat Lantas ikan-ikan yang keemasan di kolam Mengajakku sesekali bicara dengan bahasa tubuh Dalam kalbu masing-masing Ada cerita yang belum sempat dituntaskan Tentang kupu-kupu Yang membikin rumah-rumahan di ceruk dadamu Dilubanginya sayap yang patah untuk dibangun tiang-tiang kokoh Menopang segala tangis Di antara sujud sepertiga malam Kesunyian pecah dan berhamburan Kita memungutinya satu-persatu Dalam hitungan ke seratus, angka-angka ganjil berloncatan Membentur yang mengeras di keningku Tentang yang tak sanggup mendengar kebencian Akhirnya mereda sendiri Pohon-pohon di hadapanku Siapakah di antara kita yang bertahan Duduk bers

PERSEMBUNYIAN

Quiet Meditation An acrylic painting by Chris Hobel : ykko Seperti memimpikan mendung yang terlahir sungsang dari wajahmu Matahari yang pongah meninggi perlahan Menggantung di atas harapan dan penantian panjang Tentang malam-malam dan luka yang gerimis Aku tertahan di muara matamu Mengecup yang tidak pasti Sambil sesekali berbenah dan menceburkan diri sedalam-dalamnya Di laut yang luas Adalah doa menjadi ladang bagiku untuk menabur benih Kerinduan yang tak habis, percakapan yang putus menyambung Tapi percayakah kau satu hal Di dadaku masih meluap debar yang begitu deras Berkali-kali ingin menancapkan yang runcing Semisal lading*, kau ikatkan di pinggulmu Lalu kau tebas ilalang yang panjang, menyisakan tangis dan bunga-bunga yang mekar seratus tahun sekali Bunga-bunga yang kuncup dan memutih Lalu ketika menyerah, aku bentangkan selebar-lebarnya tubuhku Menghadap perahu cadik yang melaju, meninggalkan tanah yang kering Sambil menunggu hujan Aku masih kerap men

ARS MAGNA

A. M. A. Sudah empat hari ya, terhitung rabu kemarin, Bii terbang ke Jakarta. Alex apa kabar? Gimana sekolahnya? Kemarin main apa saja di sekolah? Teruslah fokus dengan kegiatan di sekolah ya, dengarkan nasehat guru, kerjakan tugas sebaik mungkin, usahakan datang ke sekolah tepat waktu, dan berbaikhatilah pada teman-teman di sekolah dan sepermainanmu. Je souris au fond de moi. Bagaimana tidak, melihatmu tumbuh sehat meskipun Bii pulang hanya enam bulan sekali. Itu pun tidak lama. Kamu tahu, tiap kali Bii bergumul dan merasa sesak oleh kegilaan sehari-hari, kamulah pain killer -nya. Tiap kali duduk di sampingmu sambil memerhatikan perubahan yang signifikan selama hampir tiga tahun, Bii bertanya-tanya, dapatkah mendekapmu tanpa merasa takut, cemas, atau bahkan menoleh pada kejadian yang telah lewat? Bii punya segudang hal yang tidak rasional, dan itu menguras energi. Sesekali Bii tersungkur, tapi akhirnya kembali tegak walau terlihat tidak sempurna. Semesta sayang, satu-satunya y

Suatu Hari

Dear Ms Mut Ketika di depan sudah ada - laptop dan kamera - radio dan oldies mancanegara - buku-buku bagus dan kursi baca - spidol dan kertas berukuran A3 - sepasang running shoes dan legging hitam - bluder, serundeng ikan gabus, dan ikan gabus bumbu kemiri - air mineral dan setoples sugary biscuits - aroma terapi dan gemericik air kolam - body butter dan kimono berbahan satin - lipstick merah dan kacamata - pipi yang lembut dan angin di sekitar yang bergerak, sejuk dan menentramkan - perabot bergaya mid century dan segelas susu vanilla yang hangat Selain yang disebutkan di atas, itu bukan dunia saya. Akan lebih komplit jika rumah dalam keadaan sepi dan tenang. Biarkan ibu, ayah, dan adik-adik menghabiskan akhir pekan di luar, tapi saya cukup di rumah saja, menyibukkan diri dengan hal-hal menyenangkan sambil menikmati menit-menit yang berlalu secara perlahan. Sewaktu mengantuk, saya tidak perlu beranjak kemana-mana. Cukup menarik selimut sulaman, sedikit merebahkan tubu

MENYELAM DI LAUT DANGKAL ATAU PALUNG

Ada apa dengan hari ini? Atau bagaimana kabar hari ini? Satu jam yang lalu saya beranjak dari tempat tidur. Seperti biasa hanya mengenakan kaos putih polos dan celana jin santai. Nampak sekali pemalasnya. Saya menoleh ke arah jendela di sudut kamar, ternyata mendung. Ketika sedang sendiri, berapa pun suhunya, kamar akan terasa lebih dingin. Tapi tidak apa, mudah-mudahan dengan berpikir dapat menjaga kehangatan di sekujur tubuh. Saya berjalan ke dapur, menyiapkan panci untuk merebus daun kelor. Bahan-bahannya pun sangat sederhana. Berbekal satu siung bawang putih, satu sendok teh garam dan gula secukupnya, tambahkan air ke dalam panci, dan didihkan. Kemudian masukkan kira-kira satu genggam daun kelor, tunggu selama satu atau dua menit, lalu hidangkan. Tanaman ini memang terbilang banyak tumbuh di halaman rumah. Bentuknya menyerupai daun katuk. Rasanya dan teksturnya pun begitu. Katanya daun ini baik untuk ibu yang menyusui. Selain daun katuk dan kelor, ada juga okra, bayam, dan berbag

Tanyakan dalam Hati

Bagaimana mungkin seseorang bisa berlaku tulus pada yang lain, sedang yang lain dapat berarti orang terdekat dari lingkaran keluarga dan teman, serta 'the outsiders' yang dapat berarti kekasih, 'the passersby', penjual sayur dan buah di pasar, rekan bekerja, anak didik, dan sebagainya? Bagaimana mungkin kita dapat menerapkan ketulusan? Mungkin sederhananya seperti ini. Kita berlaku tulus karena sesungguhnya kita memahami ada nilai-nilai keluhuran yang terkandung dalam ketulusan. Ada semacam muatan positif, apabila mengisi tindak-tanduk kita, maka kedamaian dan kesejukan yang akan didapatkan. Atau juga satu hal lagi, pada dasarnya kita menyimpan keinginan untuk diperlakukan dengan cara yang sama, yakni secara tulus. Namun daripada menunggu diperlakukan demikian, kitalah yang memulainya terlebih dahulu. Lalu bagaimana jika yang terjadi di luar ekspektasi? Bagaimana jika setelah berlaku tulus, tindakan kita tidak dibalas dengan kebaikan yang sama? Lantas marahkah atau

What's Mine is Mine

Beberapa hari setelah merayakan hari besar Idul Fitri, kondisi tubuh saya drop lagi. Bolak-balik flu dan khawatir asma kambuh, saya memutuskan menyimpan stock obat dan menambah satu lagi inhaler di tas. Ya betul, saya akan berangkat ke Jakarta kembali besok lusa. Tidak hanya fisik yang sedang tidak membaik, pelan-pelan isi kepala pun ikut kacau. Salah satu pemicunya karena saya merasa sangat sedih dapat pulang hanya delapan hari. Padahal sebelumnya saya berniat menghabiskan kira-kira dua minggu untuk berkumpul dengan orang-orang terkasih. Alhasil seperti biasa, drama pun dimulai. Saya mengunci diri dalam kamar beberapa jam sambil menenangkan diri, mengajak diri sendiri untuk berdamai sambil meremas dada kiri sekuat-kuatnya. Terkadang, kalau sedang begini saya suka bertanya dalam hati, siapa atau apa saya sebenarnya. Kok masih suka bertingkah layaknya anak kecil, merengek jika ada hal yang tidak berjalan di luar rencana. Percayalah teman-teman, berkompromi dengan saya tidak akan berjala

KEPADA OMA

Sudah kutunggu purnama Namun cuma wajahmu Menjelma  kain putih Terurai dari ujung lorong di rumah itu Ketika kukenangkan malam-malam Dari ruang tamu yang temaram Kau duduk menyilang kaki Menggumam seribu pujian Lalu hatiku melayang Menyerbu yang masih sepi Kepada Oma Namamukah debur ombak yang basah itu Mengguyur kedua mataku Nisan yang dibasuh kerinduan Dan bunga-bunga yang gugur Palembang, June 2019

Berbagi Perjalanan

Aku selalu menikmati menulis dan bercerita di tempat yang cenderung gelap. Kedua mataku dapat lebih fokus mengerjakan sesuatu jika diterangi cahaya yang relatif sedikit. Orang-orang bilang itu tidak baik untuk kesehatan. Tapi percaya atau tidak, belasan tahun lalu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, aku selalu menginginkan mengenakan kacamata. Menurutku perempuan berkacamata akan terlihat lebih manis. Kira-kira di kelas delapan, tepat di hari ulang tahunku, aku berangan-angan dihadiahi kacamata dengan frame yang transparan. Hingga suatu hari agar keinginanku terpenuhi, aku memohon pada Tuhan untuk menganugerahi kedua nataku dengan penglihatan yang tidak normal. Saat itu, ketika di bangku sekolah, Tuhan masih menjadi candu. Jika tidak melibatkanNya dalam setiap gerakan, usahaku akan sia-sia. Bila menilik diri ini jauh ke belakang, betapa aku masih sangat naif dengan mempercayai hal-hal yang tak dapat ditangkap oleh pengalaman inderawi. Asalkan percaya, semua hal dap

Merindukan Semarang

Sebelum melanjutkan packing, saya ingin berbagi sedikit mengenai kerinduan terhadap kota Semarang. Mungkin sekilas terdengar aneh, mengapa harus Semarang? Ada apa di sana? Apa yang membuat saya begitu jatuh cinta pada Semarang? Pertama kali saya menginjakkan kaki di Semarang pada tahun 2013 awal. Waktu itu jauh-jauh berangkat dari Jakarta bermodal nekad. Tujuannya untuk mengunjungi teman kuliah yang sedang menempuh pendidikan gizi di Universitas Diponegoro. Saya berangkat menggunakan jasa bus. Entah apa yang membuat saya lebih memilih bus ketimbang kereta dan pesawat. Dari segi ongkos sudah pasti lebih murah naik bus. Namun soal keselamatan, mungkin akan lebih aman jika bepergian menggunakan kereta dan pesawat, ditambah dengan waktu tempuh yang relatif lebih singkat. Saat itu, hanya terdapat 3 penumpang perempuan dan sisanya adalah laki-laki. Yang perempuan, saya rasa sayalah yang paling muda. Berhubung masih malu-malu, untuk memulai percakapan dengan penumpang di sebelah, kenek,

Dialog pada Diri

Saya percaya bahwa berdialog dengan diri dapat meningkatkan keintiman dengan diri sendiri. Biasanya, saya memulai dengan mempersiapkan satu atau dua pertanyaan, lalu dalam keheningan membiarkan diri sendiri secara luwes menjawabnya satu-persatu. Atau bisa saja bukan jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih rumit dari sebelumnya. Tapi tidak mengapa, yang demikian itu membuat saya belajar untuk paham bahwasanya diri ini, terkadang bertingkah layaknya anak kecil yang ingin tahu banyak hal. Ia akan mengutarakan banyak pertanyaan pada siapa pun. Bukan semata untuk memuaskan keingintahuan, tapi juga untuk menyadari betapa saya tidak mengetahui apa-apa kecuali mulai melatih diri untuk lebih banyak bersukur, mengurangi intensitas mengeluh, tetap fokus dan melakukan yang terbaik pada hari ini, bila terjadi guncangan gunakan momen itu untuk berbenah dan tetap tenang, serta membiasakan diri untuk percaya pada diri sendiri untuk menyembuhkan luka-luka. Prosesnya tent

Duc in Altum

Dear Om Chef Dua minggu bukan waktu yang sebentar jika terus-menerus diukur menitnya. Mungkin jeda selama empat belas hari dapat me- refresh kembali energi kita yang sempat putus sambung, terutama karena sesungguhnya masing-masing dari kita punya tugas yang mesti dirampungkan setiap hari. Soal bekerja, bukankah istirahat yang cukup pun jadi bagian dari tugas dan rutinitas kita? Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita mulai pelan-pelan menyeimbangkan keduanya. Sayang, aku pulang untuk memenuhi tugas yang lain -you know exactly what does it mean. Kamu tahu, tidak ada yang benar-benar gampang dikerjakan, namun keputusan harus diambil. Makanya setiap ada kesempatan cuti bersama, aku pulang dulu menjenguk orang-orang terkasih. Tapi jangan bersedih, walaupun terpaut ribuan kilometer, aku siap untuk 'ada' kapanpun kamu butuhkan. Fasenya hampir sama Sayang, aku pergi sebentar untuk suatu pertemuan. Kemudian akan pulang lagi untuk suatu kepergian. Namun bukan pada pilihan kata

Yang Dikasihi Oleh Semesta

Aku hujan Mendung di gelasmu Poppy Flowers Orange Sky A painting by Wieslaw Sadurski Di puncak gunung yang hijau dan berkabut, matahari menyembul. Cahaya perlahan meninggi, mencapai keluasan langit, dan menembus awan gelap yang tebal. Mungkin suhu di sini masih 15’C atau bahkan lebih rendah dari suhu di puncak gunung lain. entahlah, aku hanya mencoba menerka. Bukan keahlianku untuk memperkirakan angka pasti dalam matematika. Ini hari Kamis. Di akhir bulan Mei, siapa yang menyangka aku dapat bertahan hidup sampai sejauh ini. Kira-kira dua bulan silam, di tanah kelahiranku, kerusuhan terjadi. Api berkobar di mana-mana, di jalanan, di rumah penduduk, di pertokoan, hingga di gedung-gedung kantor. Beberapa angota keluargaku ikut menjadi korban. Ayah, ibu, serta kedua saudaraku ikut terbakar bersama bangunan itu. Semuanya hangus. Hanya beberapa kerangka bangunan yang tersisa. Ketika api mulai padam, barulah satu persatu korban dapat dijumpai. Nasibnya sama. ketika dievaku