Langsung ke konten utama

Lebih Dekat dengan Diri

Coba perhatikan saja terlebih dahulu, begitu kata saya dalam hati. Saya mencoba untuk tidak bereaksi apa-apa. Terkadang ketika sedang marah, ingin sekali melampiaskannya pada apapun yang ada di depan saya. Tapi objek yang paling sepadan memang tembok. Sakit tidaknya itu resiko personal. Setidaknya dengan cara seperti itu, energi habis karena ada tindakan, bukan semata dipendam. Walaupun sama saja, dada dan otot perut nyeri.

Untuk sekadar bereaksi, tidak jarang kepala saya eror. Padahal ini hal sepele. Ingin sekali seperti orang lain yang mampu melihat dan memerhatikan emosi seperti melihat dan memerhatikan makanan tanpa ikut memakannya. Hanya melihat dan memerhatikan bahwa emosi itu ada, meskipun ada tak mesti digubris.

Ada saatnya hal ini berguna bagi saya barangkali ketika sedang berada di tempat umum. Namun ketika kembali ke kamar, nampaknya akan meluap juga. Lantas apa bedanya? Menyedihkan memiliki jiwa dan tubuh seperti ini. Ada yang mengatakan saya takut menemui diri sendiri. Itu relatif, tidak dapat dikatakan benar seratus persen, sebaliknya tidak dapat dihakimi sepenuhnya salah.

Dalam sebuah film pendek, saya teringat percakapan ringan antarorang asing yang bertemu tidak sengaja ketika hendak memesan taksi. Singkat cerita setelah beberapa hari menjalin komunikasi yang lebih intens, A bertanya pada B, kurang lebih seperti ini, 'tidak kah kau ingin berkeliling dunia selagi masih muda?'

B tersenyum dan menjawab, 'saya lebih baik tinggal dan menjadi lebih dekat dengan orang-orang yang saya cintai.' Tidak mau kalah A pun menimpali, 'berkunjung ke tempat-tempat baru tidak akan melukaimu.'

Dalam konteks ini saya mencoba memahami bahwa ada kejenuhan A terhadap hubungannya dengan sesama manusia. Saya mempersepsikan berhubungan dengan manusia menghabiskan energi. Termasuk bergantung dengannya, maka tidak jarang salah satu merasa dilukai.

Sederhananya seperti ini, mungkin hal itu terjadi karena masing-masing kita mempunyai ekspektasi, kita cenderung akan menghakimi, dan sebagainya. Padahal apabila kita mencoba sedikit merenung, tidak semua orang mempunyai hati dan kepala yang sama seperti kita.

Ketika tidak ada yang mendengarkan, mungkin saya akan berteriak agar suara saya sampai di telinga mereka. Tapi sekali lagi bukan itu esensi dari mendengarkan. Mendengarkan melibatkan pemahaman pesan yang disampaikan oleh pihak pertama, yakni pemgirim pesan. Pesan yang disampaikan beragam isinya, beragam pula kode yang digunakan. Kemudian setelah diterima dan dipahami dengan baik, pihak kedua, yakni penerima pesan akan berganti posisi menjadi pengirim pesan, begitu pun sebaliknya. Proses timbal balik inilah yang menandakan keberlangsungan komunikasi yang baik, karena menjadi story teller dan listener terjadi secara apik.

Lantas bagaimana jika komunikasi yang baik tidak terjadi? Mungkin cara yang paling bijak adalah mengamati penyebabnya dan temukan solusinya tanpa menghakimi satu sama lain. Dalam hal ini, menurut saya pendengar yang baik tetaplah diri kita sendiri. Caranya pun beragam. Untuk bercerita saya biasanya akan menulis. Selepas menulis, saya jugalah yang akan membaca (mendengar)nya. Bayangkan bertapa berharganya diri kita, minimal bagi diri kita sendiri.

Tabik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...