Langsung ke konten utama

Dear Me, Dear Us

Sumber : diambil dari kamera pribadi, Ambarawa 2015

Dear Me
Dear Us
Saya terketuk untuk berbagi sedikit tentang apa itu damai, tentunya melalui sudut pandang pribadi. Sumbernya adalah beberapa pengalaman hidup, beberapa sempat membuat saya jungkir balik, bernapas tersengal-sengal, bahkan tidak jarang mengutuk pihak sana-sini sebab seringkali menyalahkan merekalah yang membuat saya 'sakit', padahal seandainya saya mencoba lebih sedikit untuk mindful, saya yakin bahwa 'human error' yang saya alami berasal dari saya sendiri salah satunya.


Maka kalau sedang tidak enak, tidak ada salahnya jika saya coba nikmati dulu, merasakan pelan-pelan sakitnya, dan saya yakin secara jasmani memang ada semacam reaksi kimia yang berkenaan dengan hormon, membuat saya mengalami ketidaknyamanan ini. Tidak mengapa, perjalanan pada akhirnya akan mendidik saya untuk tumbuh, suka atau tidak suka. Bila dikaitkan dengan urusan kerja, hal semacam ini pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk menerobos zona nyaman demi meraih kinerja maksimal.

Setelah 'drama' mencapai klimaksnya, saya rasa akan ada penurunan dan penyelesaiannya secara otomatis. Seperti saat kita makan, setelah lapar secara otomatis perut akan kenyang, jika makan dilanjutkan maka yang terjadi adalah perut mulai begah dan mencapai titik jenuhnya. Tidak hanya itu, air yang terus menerus ditambahkan gula akan menjadi larutan jenuh hingga gula yang dituang tidak akan larut. Begitu pun dengan 'sakit' pasti ada titik jenuhnya.

'Habis gelap terbitlah terang', sekiranya bila kita masih ingat pesan singkat yang disampaikan oleh RA Kartini, salah satu pahlawan emansipasi perempuan Indonesia. Habis 'sakit' datanglah damai. Bentuknya bermacam-macam, bisa melalui penyembuhan atau kebal dengan luka, aetinya kita mulai mampu beradaptasi dengan situasi itu. Prosesnya juga bisa sebentar atau juga lama. Tergantung seberapa besar kita yakin untuk fase penurunan dan penyelesain ini.

Ya, seorang teman pernah mengatakan pada saya bahwa yakinlah terlebih dahulu, maka hal itu akan datang padamu. Percaya atau tidak, it's magic. Dalam konteks ini percaya yang saya maksud bukan percaya terhadap ajaran tertentu, sebab menurut saya pribadi percaya hingga menjalankan ritualnya tidak akan menghasilkan apa-apa.

Setelah percaya, barulah akan damai. Tapi damai pun tidak bisa datang sendiri walaupun akan ada fase ini yang terjadi secara otomatis. Damai harus dijemput, harus dicari, harus diupayakan agar damai yang benar-benar mendekap kita adalah damai yang sungguh-sungguh. Damai tidak datang begitu saja dari kanan kiri kita, damai tidak turun begitu saja melalui cahaya. Yang biasa kita lihat di layar kaca, itu hanya berupa simbolik agar mempermudah indera dalam menafsirkan adegan demi adegan.

Tabik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A One Year-Old Bonding

I was having a brief and light conversation with my boyfriend about how to create more memorable stories, create sparks in our relationship, and make better plans for our future. What I deeply appreciate about him is that he never ceases making plans for us as if he knows exactly where we're going, the potential issues we are going to face, how to cope with hard conversations, and many more. Reassurance, emotional support, and acts of service speak louder than just words. In lieu of the conversation, we had opposite points of view on how we would build healthy relationships and bondings in marriage while each of us is trying our best to achieve our goals. In addition, I am aware of his endeavors to listen more, to be more transparent in making decisions, to welcome discussions, to work collaboratively, and to articulate what we feel and what we think about assertively. We want to find the best route that could accommodate our needs in particular. There was a funny moment when I sud...

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

Writing As A Love Language

:Vin Elk, Ars Magna, & Lady Loved* Lately, I have enjoyed writing a lot. Writing worked on me the way Dumbledore did while he was in Penseive, so he could experience his memories through other perspectives. He uses it to siphon the excess thoughts from his mind, pour them into the basin, and examine them at leisure. Writing has helped me to untangle my mind, examine what to deliver, communicate the messages verbally and non-verbally, and reflect on how this writing will evoke certain emotions or moods. Writing becomes the mirror that provides insight into who I am, what I desire, what I experience, what I value, and what I am not into. Writing becomes the language that deliberates my inner peace. On another level, writing could answer the quest that dwells in my mind.  I am glad to share what is significant for me right now. Being loved by the right person and people is heaven, and so is being respected, prioritized, supported, desired, and understood. The right person and peop...