So far, ini hari pertama saya benar-benar menerapkan 'social distancing'. Meskipun pemerintah khususnya Jakarta mengimbau hal ini satu minggu yang lalu, saya masih harus tetap hadir bekerja tidak dari rumah, karena memang pekerjaan ini menuntut kehadiran seratus persen.
Awalnya di hari Senin malam, saya diantar pulang Ombucyin. Sedikit memaksa memang, karena kondisinya waktu itu sedang hujan. Sejujurnya saya terlebih dahulu menghabiskan waktu liburan yang singkat di rumah Ombucyin, dan ternyata menyenangkan. Terutama saat bisa bantu Mommy Ombucyin menyiapkan sarapan dan makan siang. Saya juga diajarkan eberapa hal, misalnya mencincang bumbu dasar sebelum ditumis. Meskipun saya dan Mama Ombucyin masih terlihat canggung saat berbincang, tapi saya menikmati satu persatu kegiatan yang dilakukan bersama-sama.
Sebetulnya satu minggu sebelum ke rumah Ombucyin, tenggorokan saya agak kurang baik karena sedang panas dalam. Setibanya di rumah Ombucyin, ajaib tenggorokan saya sembuh. Mungkin selama di rumah Ombucyin saya hanya mengonsumsi makanan bebas penyedap. Selain itu tonsil saya juga sedikit lebih sensitif dari tonsil pada umumnya.
Kemudian di hari Selasa, saat saya hendak mengajar, udara di luar cukup panas. Jalanan nampak seperti fatamorgana. Alhasil di perjalanan menuju Senopati, hiding saya mulai tersumbat. Beberapa kali 'mucus' meleleh dari hidung saya. He he
Ya memang saya agak menyayangkan kenekatakan saya untuk mengiyakan bekerja tidak dari rumah. Saya jadi pilek, untungnya suhu tubuh masih 36.2°C. Di satu sisi mungkin saya juga dehidrasi. Setelah pulang, saya buru-buru minum suplemen, makan malam, minum air putih lebih banyak dari bisanya, serta istirahat lebih awal.
Di hari Rabu dan Kamis, kerjaan makin banyak ditambah training untuk pembelajaran interaktif di rumah untuk anak-anak. Kami semua bergelut dengan diktat dan perencanaan pembelajaran yang dapat direvisi kapan saja. Bahkan untuk sekadar minum air putih saat haus pun, harus diingatkan partner mengajar saya.
Puncaknya hari Kamis suhu tubuh saya agak naik, yakni mencapai 37.3°C. Cukup membuat saya panik karena bertepatan dengan mewabahnya Covid19. Menurut WHO, statusnya pandemi. Indonesia menjadi negara terjangkit Covid19 dengan angka kematian tertinggi, yakni mencapai 8% dari total yang terdeteksi positif Covid19.
Kondisi saya makin drop. Di kamar saya menangis sejadi-jadinya. Di tengah kekhawatiran yang berlebih, saya masih dapat mengontrol diri untuk tidak mengirimkan banyak pesan pada Ombucyin yang sedang fokus di 'kitchen'. Yup, kami adalah dua di antara ribuan (mungkin) orang yang harusnya bekerja dari rumah tapi malah tetap bekerja di kantor masing-masing.
Menjelang magrib, setelah makan sore dan minum obat plus suplemen, saya akhirnya tertidur kurang lebih selama dua jam. Yang saya rasakan saat bangun adalah kedua telapak tangan dingin. Akhirnya saya menarik dan mengembuskan napas perlahan sambil memikirkan apa yang mesti dilakukan.
Hal pertama yang harus saya lakukan adalah kembali meminum obat, memperbanyak minum air putih, dan makan berat. Saya membutuhkan asupan lebih agar fisik saya lebih kuat. Dua jam setelah makan, saya kembali mencoba istirahat. Meskipun terkadang di tengah malam terbangun dari tidur untuk ke toilet, saya mulai merasa lebih baik.
Pagi harinya sebelum berangkat kerja, saya sempatkan kembali untuk sarapan dan minum obat ditambah suplemen. Kali ini saya membawa bekal sekaligus ramuan traditional yang diseduh di air hangat. Ah satu lagi, minyak kutus-kutus. Minyak ajaib ini penolong saya selain 'essential oil' dari Young Living. Yes, sangat membantu. Perlahan kondisi saya mulai membaik, dan suhu tubuh pun kembali di angka 36.4°C.
---
Menilik keramaian pengguna media sosial yang menggunakan tagar DiRumahAja pada postingan mereka, sebetulnya saya ingin sedikit berkomentar bahwasanya tagar ini digunakan bukan untuk sekadar pamer. Mungkin sebagian dari kita, termasuk saya, masih suka 'bandel' mencuri waktu untuk keluar sejenak melakukan kegiatan yang sebetulnya tidak terlalu penting. Memang ini di luar kontrol saya secara pribadi. Tapi jangan sampai kita berlaku curang dengan imbauan untuk beraktivitas di rumah secara penuh. Sebab yang saya rasakan secara pribadi, saya agak menyesal memaksakan diri untuk bekerja dan merampungkan tugas di kantor seperti biasa. Kita tidak pernah tahu kondisi kesehatan dan sistem imun kita. Meskipun tubuh merasa 'fit', ada kemungkinan lain kita akan menjadi 'carrier' dari Covid19 dan menularkannya ke orang-orang sekitar dengan daya tahan tubuh lemah. Oleh karena itu teman-teman, social distancing dan DiRumahAja itu penting, tidak hanya untuk diri kita tapi juga untuk banyak orang.
Saya juga berharap kita semua mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memeriksakan diri apakah terjangkit Covid19, atau tidak. Apa pun hasilnya nanti, mari bersama-sama menyiapkan diri untuk peperangan yang sama berbahaya dengan 'terrorists attack'. Selain itu saya juga berharap Avigan dan Remdesivir hadir lebih cepat untuk membantu teman-teman yang positif Covid19.
We will be doing well (mari hening sejenak...)
Awalnya di hari Senin malam, saya diantar pulang Ombucyin. Sedikit memaksa memang, karena kondisinya waktu itu sedang hujan. Sejujurnya saya terlebih dahulu menghabiskan waktu liburan yang singkat di rumah Ombucyin, dan ternyata menyenangkan. Terutama saat bisa bantu Mommy Ombucyin menyiapkan sarapan dan makan siang. Saya juga diajarkan eberapa hal, misalnya mencincang bumbu dasar sebelum ditumis. Meskipun saya dan Mama Ombucyin masih terlihat canggung saat berbincang, tapi saya menikmati satu persatu kegiatan yang dilakukan bersama-sama.
Sebetulnya satu minggu sebelum ke rumah Ombucyin, tenggorokan saya agak kurang baik karena sedang panas dalam. Setibanya di rumah Ombucyin, ajaib tenggorokan saya sembuh. Mungkin selama di rumah Ombucyin saya hanya mengonsumsi makanan bebas penyedap. Selain itu tonsil saya juga sedikit lebih sensitif dari tonsil pada umumnya.
Kemudian di hari Selasa, saat saya hendak mengajar, udara di luar cukup panas. Jalanan nampak seperti fatamorgana. Alhasil di perjalanan menuju Senopati, hiding saya mulai tersumbat. Beberapa kali 'mucus' meleleh dari hidung saya. He he
Ya memang saya agak menyayangkan kenekatakan saya untuk mengiyakan bekerja tidak dari rumah. Saya jadi pilek, untungnya suhu tubuh masih 36.2°C. Di satu sisi mungkin saya juga dehidrasi. Setelah pulang, saya buru-buru minum suplemen, makan malam, minum air putih lebih banyak dari bisanya, serta istirahat lebih awal.
Di hari Rabu dan Kamis, kerjaan makin banyak ditambah training untuk pembelajaran interaktif di rumah untuk anak-anak. Kami semua bergelut dengan diktat dan perencanaan pembelajaran yang dapat direvisi kapan saja. Bahkan untuk sekadar minum air putih saat haus pun, harus diingatkan partner mengajar saya.
Puncaknya hari Kamis suhu tubuh saya agak naik, yakni mencapai 37.3°C. Cukup membuat saya panik karena bertepatan dengan mewabahnya Covid19. Menurut WHO, statusnya pandemi. Indonesia menjadi negara terjangkit Covid19 dengan angka kematian tertinggi, yakni mencapai 8% dari total yang terdeteksi positif Covid19.
Kondisi saya makin drop. Di kamar saya menangis sejadi-jadinya. Di tengah kekhawatiran yang berlebih, saya masih dapat mengontrol diri untuk tidak mengirimkan banyak pesan pada Ombucyin yang sedang fokus di 'kitchen'. Yup, kami adalah dua di antara ribuan (mungkin) orang yang harusnya bekerja dari rumah tapi malah tetap bekerja di kantor masing-masing.
Menjelang magrib, setelah makan sore dan minum obat plus suplemen, saya akhirnya tertidur kurang lebih selama dua jam. Yang saya rasakan saat bangun adalah kedua telapak tangan dingin. Akhirnya saya menarik dan mengembuskan napas perlahan sambil memikirkan apa yang mesti dilakukan.
Hal pertama yang harus saya lakukan adalah kembali meminum obat, memperbanyak minum air putih, dan makan berat. Saya membutuhkan asupan lebih agar fisik saya lebih kuat. Dua jam setelah makan, saya kembali mencoba istirahat. Meskipun terkadang di tengah malam terbangun dari tidur untuk ke toilet, saya mulai merasa lebih baik.
Pagi harinya sebelum berangkat kerja, saya sempatkan kembali untuk sarapan dan minum obat ditambah suplemen. Kali ini saya membawa bekal sekaligus ramuan traditional yang diseduh di air hangat. Ah satu lagi, minyak kutus-kutus. Minyak ajaib ini penolong saya selain 'essential oil' dari Young Living. Yes, sangat membantu. Perlahan kondisi saya mulai membaik, dan suhu tubuh pun kembali di angka 36.4°C.
---
Menilik keramaian pengguna media sosial yang menggunakan tagar DiRumahAja pada postingan mereka, sebetulnya saya ingin sedikit berkomentar bahwasanya tagar ini digunakan bukan untuk sekadar pamer. Mungkin sebagian dari kita, termasuk saya, masih suka 'bandel' mencuri waktu untuk keluar sejenak melakukan kegiatan yang sebetulnya tidak terlalu penting. Memang ini di luar kontrol saya secara pribadi. Tapi jangan sampai kita berlaku curang dengan imbauan untuk beraktivitas di rumah secara penuh. Sebab yang saya rasakan secara pribadi, saya agak menyesal memaksakan diri untuk bekerja dan merampungkan tugas di kantor seperti biasa. Kita tidak pernah tahu kondisi kesehatan dan sistem imun kita. Meskipun tubuh merasa 'fit', ada kemungkinan lain kita akan menjadi 'carrier' dari Covid19 dan menularkannya ke orang-orang sekitar dengan daya tahan tubuh lemah. Oleh karena itu teman-teman, social distancing dan DiRumahAja itu penting, tidak hanya untuk diri kita tapi juga untuk banyak orang.
Saya juga berharap kita semua mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memeriksakan diri apakah terjangkit Covid19, atau tidak. Apa pun hasilnya nanti, mari bersama-sama menyiapkan diri untuk peperangan yang sama berbahaya dengan 'terrorists attack'. Selain itu saya juga berharap Avigan dan Remdesivir hadir lebih cepat untuk membantu teman-teman yang positif Covid19.
We will be doing well (mari hening sejenak...)
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin