Langsung ke konten utama

Day 8 of Work From Home

Hari Senin, seperti biasa saya bangun lebih pagi ketimbang hari-hari bekerja normal sebelumnya. Usai minum segelas air putih dan naik turun tangga sebanyak delapan kali, saya duduk-duduk di teras paling atas. Di bawah nampak lebih ramai dari pada kemarin. Finally, Monday feels much better than Sunday. Sayangnya langit kelihatan mendung. Mungkin saja satu atau dua jam lagi akan turun hujan.

Kira-kira lima belas menit berjemur, saya kembali ke kamar. Agenda pertama hari ini merapikan tumpukan buku yang mulai berserakan. Barangkali saya membutuhkan satu atau dua rak yang baru. Tugas pertama mesti dikerjakan kurang lebih satu jam, mengingat sebentar lagi saya akan bekerja (dari kamar).

Debunya tidak terlalu tebal, sebab tiga minggu yang lalu saya sempat melakukan deep cleaning. Ah, bukan saya. Untungnya ada jasa deep cleaning. Tinggal tunggu tiga puluh menit, kamar bersih dan rapih lagi.

Beberapa menit sebelum pukul sembilan, saya buru-buru membuka laptop dan lain sebagainya. Saat diburu waktu seperti ini, kamar belum beres seratus persen. Beberapa barang, terutama aksesoris masih berceceran di atas tempat tidur. Alhasil, saya mesti bekerja dengan tidak leluasa.

Hingga pukul tiga sore, delapan puluh persen kerjaan dapat saya selesaikan. Karena hujan di luar awet, saya tidak bisa kemana-mana untuk membeli makan siang. Sedih ya. Makanya asam lambung naik. "Segini aja udah muntah satu kali, untung ga minum kopi."

Lalu saya lanjut beresin kamar sampai pukul enam sore. Voilà! Lega sekali! Meskipun pinggang dan punggung mau patah, asalkan kamar bersih dan rapih, hati pun senang. Sekarang waktunya menyelesaikan dua puluh persen pekerjaan yang belum rampung.

Oh ya, untuk ke depan, selain menjual sebagian koleksi lemari, saya akan menjual sebagian buku juga. Sebenarnya berat melepas apa yang saya miliki, meskipun dalam kategori dijual kembali. Masing-masing punya cerita tersendiri. Terutama saat saya masih belajar memadupadankan yang bermotif dengan yang bermotif juga, yang netral dengan yang netral, atau sebaliknya. Tapi ya sudahlah. Patah satu tumbuh seribu. "Loh maksudnya apa ini? Dilepas satu, terus nambah seribu gitu?! Whattt?!"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya, Aku Pulang

Kepada K. Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan. Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat ...

Writing As A Love Language

:Vin Elk, Ars Magna, & Lady Loved* Lately, I have enjoyed writing a lot. Writing worked on me the way Dumbledore did while he was in Penseive, so he could experience his memories through other perspectives. He uses it to siphon the excess thoughts from his mind, pour them into the basin, and examine them at leisure. Writing has helped me to untangle my mind, examine what to deliver, communicate the messages verbally and non-verbally, and reflect on how this writing will evoke certain emotions or moods. Writing becomes the mirror that provides insight into who I am, what I desire, what I experience, what I value, and what I am not into. Writing becomes the language that deliberates my inner peace. On another level, writing could answer the quest that dwells in my mind.  I am glad to share what is significant for me right now. Being loved by the right person and people is heaven, and so is being respected, prioritized, supported, desired, and understood. The right person and peop...

The Fall and The Rise, The Sorrow and The Courage

 Dear my love, Kelvin, please accept my deep condolence on the loss of your beloved sister and beloved grandma this year.  We never been taught how to understand the loss of our loved ones: father, sister, and granny. The grief can be particularly intense. It is accepted as natural part of life with shock, confusion, and also sadness. Grieving becomes significant to welcome those feelings and to continue to embrace the time we had with our loved ones.  I genuinely appreciate your personal willingness to share what you feel. Let's go hand in hand with this wide range of emotions. This sad news can be the most uneasy challenge we face. It also can be the remembrance to honor them. I am thinking about you who are experiencing restlessness, tightness in the chest, and breathlessness.  We don't miss our father, our sister, and our granny. It's not a goodbye for they always stay here, with us in our hearts with love and peace. We will continue the bond we had with our love...