Langsung ke konten utama

Day 9 of Work From Home

We and all these things are here for a reason to become, wether by design or by default, by errata or afterthought. We trust our timing, when the time is right, it will come.

Hari ini, saya masih mengeluhkan tagar DiRumahAja. Seperti biasa, dalam hati ingin sekali teriak kapan situasi semacam ini berakhir. Selain keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar semakin membesar, saya juga menginginkan untuk kembali aktif di sekolah bersama anak-anak. Saya masih ingat detik-detik menuju Outside Time, ketika kami berjalan menaiki anak tanggal satu-persatu, nenuju outdoor playground. Kami dimandikan dengan hangatnya cahaya matahari. Setelah berkeringat, angin sesekali lewat, membelai kulit, dan mrndinginkan sisa keringat.

Situasi work from home tidak begitu menguntungkan bagi saya, terutama karena saya menyukai aktivitas yang menggerakkan seluruh anggota tubuh, bukan duduk-duduk di depan monitor dari pagi hingga petang.

Pertemuan dengan anak-anak melalui screen time hari ini berjalan cukup efektif. Awalnua kami sama-sama kagok, mesti diapakan ini kalau scaffold atau activity yang dilakukan tidak sesuai jadwal. Selain itu, work from home membuat saya terus bekerja tanpa mengenal waktu istirahat.

Hari ini, saya benar-benar baru bisa melepaskan diri dari layar monitor saat jam digital genap mencapai angka tubuh malam. Bayangkan berapa jam mata terpatri dan terpapar cahaya biru dari perangkat gadget. Yang saya takutkan jika terlalu lama menghadap monitor adalah minus mata bertambah.

Lalu sikap seperti apa yang mesti saya upayakan bahkan di saat negara saja tidak terlalu setia (dalam tanda kutip) pada rakyatnya. Lantas memangnya masih ada yang betul-betul setia, padahal penerjemahan puisi pun mengingkari penulisnya. Katanya penulis sudah mati, dan penerjemah dituntut untuk menggarap dan melihat teks tidak sebagai penulisnya. Yeks itu, telah berdiri sendiri, dan tugas pembacalah, dalam hal ini penerjemah, kembali mendefinisikan ulang apa itu kesetiaan. Seolah kata antar bahasa mempunyai hubungan gelas, dan kerahasiannya tidak dapat digugat.

Inilah saatnya berkontemplasi. Berdialog dengan diri sendiri, mendengar diri saat mengajaknya berkomunikasi.

Anak-anak, mari hidup untuk benar-benar hidup, untuk hidup sekali lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...