Langsung ke konten utama

Day 7 of Work From Home

Saya memang tidak mempunyai privilese untuk tinggal di rumah (orang tua) saat situasi pandemi seperti sekarang. Meskipun belum bisa pulang, setidaknya kamar yang saya tempati cukup aman untuk membuat saya merasa tenang dari hingar-bingar pemberitaan ganasnya Covid19. Hal ini tidak saja menyadarkan saya bahwa badai pasti berlalu, tetapi juga memperingatkan saya untuk lebih siap menghadapi saat-saat tersulit nanti sampai pada akhirnya matahari pagi menerobos melewati lubang jendela.

Di hari ke tujuh menjalani isolasi diri, jujur saya menemui banyak ketakutan. Saya menemui berbagai bentuk kesepian, karena merasa terkurung oleh tembok dari dunia luar yang nyata.

Hari ini saya bangun lebih pagi. Tapi tidak banyak yang saya kerjakan setelahnya. Beberapa jam terpaku di atas tempat tidur, sambil sesekali mengintip keluar. Jalanan lebih sepi dari biasanya.  Tidak banyak lalu lalang. Hanya segelintir orang yang berjalan mondar-mandir sambil mengenakan masker menutupi sebagian wajah mereka. Biasanya sebelum jam tujuh pagi, tukang parkir mulai sibuk meneriaki pengendara mobil yang tidak mau mengalah satu sama lain, menertibkan pengendara yang hendak memarkirkan roda empatnya di pinggir jalan. Tapi tidak hari ini.

Menjelang siang, saya menerima tiga e-mail sekaligus. Dua di antaranya dari institusi dan salah satunya dari Principal. "Akhirnya paperwork datang lagi." Sebelum mengerjakan serangkaian pekerjaan rumah, saya bergegas mandi.

"Barangkali harus dengan bekerja meskipun merasa sangat malas, saya akhirnya sedikit lebih bergairah." Ditemani sebuah channel piringan hitam, saya kemudian merapikan botol skincare yang berantakan, membuang sebagian yang sudah kosong. Ah dan ternyata ini minggu ke tiga sejak terakhir kali saya menyempatkan diri untuk di-hairspa.

Duh...

Sebelum memulai paperwork halaman pertama, sejenak saya mengganti saluran musik yang akan menemani sepanjang proses pengerjaan. Saya memilih mendengarkan 80's love song. Koleksi pertama dimulai dari Nothing's Gonna Stop Us Now. Oops, ternyata pilihan saya tepat. Ini salah satu koleksi kesukaan saya.

Ah saat masih kelas tujuh, jujur saya tidak banyak bergaul dengan televisi. Selain monoton, saya tidak terlalu tertarik dengan siaran yang tayang di saat itu. Kecuali di hari Minggu, saya akan menonton beberapa kartun hingga pukul 12 siang biasanya. Selebihnya, seperti hari-hari sebelumnya, saya menenggelamkan diri mengerjakan tugas sekolah sambil mendengarkan siaran radio. Jadul ya...

Kalau sudah begini, saya bisa lupa waktu. Kadang untuk istirahat pun harus diingatkan Ayah. Kebiasaan mendengarkan radio menurun dari Ibu. Selain itu, kami berdua juga gemar mendengarkan koleksi di tahun 80an. Tidak jarang juga kami karaoke berdua. Lionel Richie adalah penyanyi kesukaan Ibu. Hampir tiap hari Ibu me-request Lionel Richie. Saat koleksinya diputar, Ibu akan duduk sebentar di samping saya sambil sesekali bernyanyi dengan suara khasnya.

Saya akhirnya juga ikutan Ibu untuk me-request lagu kesukaan saya.  Pada saat itu, layanan yang digunakan untuk me-request lagu adalah dengan mengirim SMS. Dalam sehari saya bisa me-request sebanyak tiga atau empat kali. Tidak heran jika penyiarnya akrab dengan saya.

Kebiasaan ini saya lakukan hingga kelas sembilan. Bahkan di saat lebaran, bukannya membantu Ibu menyambut tamu, saya malah menyepi ke pojok ruangan sambil leye-leye mendengarkan radio.

Barulah di kelas sepuluh, saya terpaksa meninggalkan kebiasaan ini karena bersekolah di 'boarding school'. Pada saat itu, radio jadi salah satu elektronik yang dilarang untuk dibawa ke kamar. Cukup stres menghadapi perubahan semacam ini, ditambah saya terbilang lamban dalam menyesuaikan diri.

Sebagai penggantinya, saat sedang luang, saya mengunduh beberapa oldies untuk didengarkan terutama saat sedang mengerjakan tugas sekolah, membaca buku, atau tidur siang.

(Stay safe dear Missmut, stay home, and stay alive)

Tabik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya, Aku Pulang

Kepada K. Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan. Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat ...

Writing As A Love Language

:Vin Elk, Ars Magna, & Lady Loved* Lately, I have enjoyed writing a lot. Writing worked on me the way Dumbledore did while he was in Penseive, so he could experience his memories through other perspectives. He uses it to siphon the excess thoughts from his mind, pour them into the basin, and examine them at leisure. Writing has helped me to untangle my mind, examine what to deliver, communicate the messages verbally and non-verbally, and reflect on how this writing will evoke certain emotions or moods. Writing becomes the mirror that provides insight into who I am, what I desire, what I experience, what I value, and what I am not into. Writing becomes the language that deliberates my inner peace. On another level, writing could answer the quest that dwells in my mind.  I am glad to share what is significant for me right now. Being loved by the right person and people is heaven, and so is being respected, prioritized, supported, desired, and understood. The right person and peop...

The Fall and The Rise, The Sorrow and The Courage

 Dear my love, Kelvin, please accept my deep condolence on the loss of your beloved sister and beloved grandma this year.  We never been taught how to understand the loss of our loved ones: father, sister, and granny. The grief can be particularly intense. It is accepted as natural part of life with shock, confusion, and also sadness. Grieving becomes significant to welcome those feelings and to continue to embrace the time we had with our loved ones.  I genuinely appreciate your personal willingness to share what you feel. Let's go hand in hand with this wide range of emotions. This sad news can be the most uneasy challenge we face. It also can be the remembrance to honor them. I am thinking about you who are experiencing restlessness, tightness in the chest, and breathlessness.  We don't miss our father, our sister, and our granny. It's not a goodbye for they always stay here, with us in our hearts with love and peace. We will continue the bond we had with our love...