Langsung ke konten utama

THE UNTRANSLATABLE WORDS

THE UNTRANSLATABLE WORDS

source : https://mashable.com/2014/09/18/untranslatable-words-artwork/


Perjalanan ini akan menghabiskan waktu selama kurang lebih enam jam. Dimulai dari kemacetan dan jarak tempuh yang tidak dekat antara apartemen dan terminal keberangkatan, antrean check-in, hingga berada di ruang tunggu keberangkatan yang ramai, menjadi syarat awal melakukan perjalanan untuk pulang. “Rückkehrunruhe!” Baru kali ini dan satu minggu belakangan, saya benar-benar merindukan rumah.

Aroma kota yang dipadati berbagai pembangunan fisik fasilitas-fasilitas umum, seperti stasiun kereta api, pelebaran jalan raya, jalur LRT, penambahan gedung rumah sakit, dan lain sebagainya, masih begitu melekat di ingatan saya. Ini adalah mega proyek untuk menyambut pesta olahraga se-Asia yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali. Pembangunan sudah berjalan sejak dua tahun terakhir dan saya melihat perubahan yang signifikan. Kota yang dulu dipenuhi bangunan tua, sebagian besar dibangun pada masa kolonial, mulai dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru. Sayangnya bangunan baru ini tidak memiliki kualitas yang baik. Terlihat dari hasil pengerjaan yang biasa-biasa saja.

Dalam hati saya tidak henti-hentinya mencemaskan nasib bangunan bersejarah yang kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian perawatan oleh pemerintah setempat. Mungkin biaya pemugaran yang tidak murah menjadi penyebabnya. Lagi-lagi saya mesti iri melihat kota-kota tetangga, di sana berbagai bangunan tua masih berdiri kokoh, masih dapat difungsikan bahkan sebagai kantor, atau mungkin tempat wisata. Walaupun ada beberapa bagian yang sudah tidak asli, tetapi melalui fasad, bangunan yang tetap dicat putih, dan tembok yang tebal, seketika membuat saya secara spontan dapat mengidentifikasikannya sebagai bangunan peninggalan masa kolonial. Rumput tetangga memang nampak lebih subur dari rumput milik pribadi. Mungkin sudah waktunya mengucapkan selamat tinggal dan membiarkannya menjadi kenangan manis. “Volta!”


---

Dari balik kaca mobil taksi yang melaju cukup kencang, saya mengintip ke luar sambil menghitung berapa banyak pohon besar ditumbangkan. Saya tahu jumlahnya tidak sedikit dan ini mengakibatkan matahari terasa sangat menyengat. Hanya beberapa tahun yang lalu, bahkan ketika bepergian menggunakan sepeda motor, jalanan di sepanjang kota masih dapat dinikmati. Namun kini yang tersisa adalah gerutu dan kejengkelan, matahari terasa begitu dekat, teriknya sampai di ubun-ubun.

Perjalanan saya masih harus ditempuh selama satu jam lagi. Lokasi rumah yang terpisah dari ibu kota provinsi memaksa saya berlama-lama di jalan. Tidak masalah, selama saya menyimpan satu buku bacaan, sebungkus makanan ringan, dan sebotol air meneral, penambahan ekstra enam puluh menit masih dapat ditoleransi.

Cuaca kali ini sungguh panas. Saya melihat fatamorgana dimana-mana. Seandainya saya melemparkan satu butir telur di atas aspal, telur itu akan matang hanya dalam sekejap.


---

Setelah melewati batas kota, di kiri kanan saya lebih banyak ditanami tanaman karet dan ditumbuhi pohon-pohon serta rumput liar. Musim hujan sudah lama tidak mengguyur tanah di sini. Debu dan asap kendaraan menjadi menjadi perpaduan yang mencemaskan. Selain itu, nampak juga jalanan yang berwarna kekuningan akibat tanah yang buyar dan kering di sisi jalan. Tidak heran banyak sekali pengendara motor mengenakan masker tebal.

Jika ingin membayangkan seperti apa di sini, sejenak kosongkan dulu pikiranmu. Agar hal-hal baru, sekali pun tidak begitu penting mendapatkan ruangnya tersendiri di kepalamu. Terserah akan kamu apakan, dihapus segera atau mau disimpan terlebih dahulu, didiamkan selama beberapa hari, lalu baru disapu bersih.

Inilah salah satu pemandangan kota di Sumatera. Letaknya sangat dekat dengan sungai. Beberapa artikel menyebutkan bahwa sungai ini tercemar berat. Kebiasaan masyarakatnya yang menjadikan sungai sebagai tempat sampah, ditambah lagi pembuangan limbah oleh pabrik, menjadi penyebab utamanya. Walaupun kotor, sebagian besar masyarakat di sini masih menggantungkan hidup pada sungai ini, terutama untuk hasilnya. Sangat ironis.

Sungai ini terkenal dengan ikan-ikan yang dapat diolah menjadi makanan lezat. Namun sayang, selama dua puluh tahun terakhir, akibat penangkapan secara masif, salah satu jenis ikan di sungai ini menjadi langka. Selain itu, budidaya jenis ikan air tawar ini sangat sulit. Begitu pula dengan dana yang dibutuhkan tidak sedikit.

Saya sengaja tidak menyebutkan nama kota ini secara langsung. Biarlah menjadi rahasia dan cukup saya yang tahu. Yang paling penting adalah kepulangan saya kali ini membawa begitu banyak kenangan di masa kanak-kanak. 


---

Pukul satu siang saya tiba, rumah dalam keadaan kosong. Dua hari yang lalu ibu, ayah, dan kedua adik saya menginap di rumah almarhum nenek. Mereka bilang kangen pulang.
“Pulang? Bukankah ini rumah mereka?”

Bergegas saya mengambil kunci rumah yang diletakkan dalam kotak sepatu, ditumpuk sedemikian rupa sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa di dalamnya terdapat benda penting. Rasa penat dan lelah membuat saya lekas membereskan barang bawaan yang berjejer. Dari Jakarta saya membawa dua koper dan sebuah tas tangan berukuran sedang. “Tipikal orang-orang yang pulang kampung, kan?” Koper pertama digunakan untuk menampung pakaian, dua buah buku bacaan, peralatan mandi, hair straightener, dan sepasang running shoes. Koper satunya lagi saya isi dengan oleh-oleh berlogo penunggang kuda di sisi kiri bagian dada.

Di kota saya, belum ada yang menjual merk ini. Dapat dimaklumi, pendapatan bulanan masyarakatnya belum setinggi Kota Jakarta. Daya beli terhadap produk fashion di atas nominal satu juta rupiah masih rendah. Hanya kalangan tertentu yang terlihat mengenakan produk ini. Ketidaktersediaan produk pada pusat perbelanjaan besarnya pun memberi tantangan tersendiri pada pecintanya. Setidaknya mereka harus terbang ke kota besar lain untuk berburu produk yang saya maksud.


---

Sejenak merebahkan tubuh kemudian mata pun tertuju pada rak buku, masih sama seperti tahun-tahun yang lewat. Semua buku masih tertata berdasarkan urutan warna dan topik yang dibahas. Intensitas cahaya yang masuk menyinari buku-buku juga masih sama terangnya.

Selang beberapa detik, baru saya menyadari terdapat satu buku tambahan, nampak seperti sebuah album foto, ukurannya cukup tebal, warna permukaan kertasnya terlihat sudah kecokelatan. Kondisi kertasnya pun sudah mulai lapuk, ada beberapa halaman yang lepas karena benang yang digunakan tidak kuat lagi untuk menghimpun lembaran kertas pada album foto itu.  Sudah tua rupanya.

Dalam satu atau dua menit sejenak saya pejamkan mata sambil mengatur keluar masuk udara pada sistem pernapasan. Saya mencoba untuk lebih santai, bersandar di sebuah kursi baca, sambil menjulurkan kedua kaki, hampir mati rasa. Di bagian depan sampul album foto, terdapat tulisan Mim dan Nun.

Saya membuka halaman album foto satu-persatu, lembar demi lembar. Masing-masing foto berangka dari tahun 1956 hingga 1960. Kala itu almarhum Oma dan Opa nampak gagah. Dua sejoli yang dibakar asmara. Keduanya masih menjadi pasangan muda. Usai menikah mereka memutuskan hijrah ke Jogja. Di sanalah sekolah dan karier Opa dimulai.

Menurut cerita yang pernah disampaikan Oma, saat masih menjadi pasangan muda, tinggal jauh dari keluarga tidak menjadi perkara mudah. Semuanya dikerjakan tanpa bantuan orang terdekat. Sejak resmi menjadi seorang istri, ia paham betul tugasnya tidak hanya sebatas teman hidup untuk urusan domestik, melainkan juga urusan bisnis. Terkadang di hari tertentu waktu terasa singkat, terkadang juga berjalan lamban.

Perbedaan latar belakang suku juga menjadi sorotan. Di Sumatera, terutama di tanah kelahiran Oma dan Opa, orang-orang cenderung berbicara menggunakan intonasi yang tinggi, dengan tempo yang lebih cepat, dan tidak terlalu suka basa-basi. Namun di Jogja, semuanya diatur dengan pakem yang ketat, nilai dan norma yang masih sangat kental mengenai tuntutan dan ajaran bagaimana seharusnya manusia menjadi baik dalam relasi makro dan mikro. Perbedaan ini tidak semata melingkupi jati diri penuturnya. Inti penjelasan yang dijelaskan Oma sudah sampai pada tahap bersedia mengerti dan mau beradaptasi dengan perilaku manusia di lingkungan sekitar.

Oma menambahkan, di tanah kelahirannya, pendidikan kaum muda masih terpusat pada pendidikan agama di pesantren. Hanya sebagian kecil yang bersekolah di sekolah milik pemerintah dan swasta. Salah satu yang membedakan ketiganya, di pesantren para siswa diajarkan kemahiran berbahasa arab, sedangkan di sekolah pemerintah dan swasta mereka diajarkan kemahiran berbahasa jerman. Kemampuan berbahasa ini, kelak mempengaruhi pola pikir para siswa.

Di Jogja, pelajar dapat memilih bersekolah dimana saja. Bidang ilmu yang akan dipelajari juga lebih beragam. Untuk pertimbangan inilah, akhirnya Opa melanjutkan studinya di bidang teknik industri.   


---

Pada album foto, semua figur nampak berpakaian rapih dan terkesan formal. Baik yang laki-laki maupun yang perempuan, keduanya mengenakan pakaian ala pemuda dan pemudi terpelajar. Paras yang eksotis dan raut wajah yang serius nampak serasi. Hanya saja semua foto dicetak hitam putih. Tinggal saya yang berusaha keras membangun citra tertentu di kepala, mengira-ngira warna apa yang sedang mereka kenakan waktu itu.

Laki-laki mengenakan kemeja berlengan panjang dan pendek, celana dasar, dan pantofel. Mereka menjinjing tas koper, mengenakan kacamata berlensa bulat, dan rambut yag nampak klimis, berat, dan kaku. Barangkali di tahun 50an sudah dijual pomade dan sejenisnya. “Duh, menggemaskan!”
Berbeda halnya dengan perempuan, saya masih menjumpai figur yang mengenakan atasan kebaya dan sarung batik. Pada tahun-tahun ini, semua wanita terlihat sangat anggun. Selain mengenakan pakaian tradisional, ada juga yang mengenakan dress dan rok, dijahit sedemikian rupa agar terlihat mengembang. Walaupun sudah berpenampilan lebih modern, busana yang dikenakan tetap terlihat sopan.

Berbeda dengan kaum adam yang menata rambutnya menjadi terlihat klimis, berat, dan kaku, kaum hawa di tahun itu cenderung membiarkan rambutnya terlihat natural. Kebanyakan nampak bergelombang dan ikal. Selain dikuncir satu, rambut mereka ada yang dikepang dan diberi pita pada ujungnya untuk mempertegas look yang feminin.

Tiba-tiba saya teringat dengan pameran lukisan di Galeri Nasional Jakarta. Di sana terdapat satu lukisan yang cukup iconic. Kalau tidak salah lukisan tersebut berangka tahun 1958. Objeknya adalah seorang perempuan dewasa yang mengenakan cardigan berwarna merah. Konon katanya perempuan itu adalah orang pertama yang mengenakan cardigan di Indonesia. Ah, apakah mungkin ia salah satu perempuan Jogja yang ada di album foto ini?”

Selain hal-hal yang telah saya ungkapkan di atas, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya. Semua foto yang memuat figur Opa memperlihatkan bahwa ia tidak pernah mengenakan kemeja berlengan pendek. Saya bertanya dalam hati, apa ini berkaitan dengan luka bakar di tubuh Opa?


---

Di tanah kelahiranku, sebutan yang dapat digunakan untuk memanggil kedua orang tua dari kakek dan nenek adalah Puyang. Opa lahir dari seorang ibu bernama Sabeah. Ia menjadi istri keempat ayahnya, Pangeran Oesman. Gelar ini sangat umum digunakan pada masa kolonial, dimiliki secara turun-temurun, terutama untuk tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh penting di wilayahnya. Barangkali dengan kedudukan inilah, Pangeran Oesman dapat memiliki kesempatan untuk memperistri beberapa perempuan. Sudah sangat lumrah di zaman itu.

Puyang Sabeah hanyalah selir. Usianya masih sangat belia ketika dinikahkan dengan Pangeran Oesman. Keduanya terpaut perbedaan puluhan tahun. Nampaknya usia tidak menjadi penghalang. Kendati sudah tidak muda, Pangeran Oesman masih mampu menghasilkan keturunan. Ya, berapa pun usianya, laki-laki tetaplah laki-laki. Dalam hidupya tidak dikenal istilah menopaus. Dari pernikahan ini, lahirlah lima anak, salah satunya Opa.

Saat masih berusia tiga tahun, Opa mempunyai adik laki-laki. Suatu hari ketika Puyang sedang memasak air, Opa dan adik laki-lakinya tidak sengaja bermain dekat api. Saat hendak memindahkan panci berisi air panas, Puyang jatuh terpeleset. Malapetaka ini membuat Puyang, Opa, serta adik laki-lakinya tersiram air panas. Sayangnya adik laki-laki Opa tidak dapat diselamatkan dari luka bakar yang serius, sedangkan Opa masih dapat bertahan hidup dengan beberapa luka bakar permanen. Lapisan kulit kedua lengannya terlihat rusak.

Insiden ini mengakibatkan Puyang makin tidak disukai. Ia sempat dikucilkan. Ya, terdengar seperti adegan sinetron ketimbang kisah nyata. Untuk menghindari masalah yang lebih buruk, Puyang akhirnya tinggal di rumah yang berbeda. Di sini ia mulai menata hidup yang baru, melanjutkan hidup yang lebih damai bersama keempat anaknya.


---

Saat musim liburan tiba, saya sekeluarga rutin berkunjung ke rumah Opa. Dalam beberapa kesempatan, saya mencoba menyentuh bekas luka bakar itu. Saya bertanya pada Opa apa yang sebenarnya terjadi. “Exulansis!” Tidak satu pun pertanyaan saya dijawab. Opa malah mengalihkan pembicaraan. Mungkin dengan bertanya seperti ini, saya hanya membuka luka lama Opa, mengoyak memori masa kecilnya. “Sonder!” Dari sinilah saya yakin, kami semua dibesarkan oleh tragedi. Namun kehidupan, memang begitu adanya. Terkadang berupa tragedi, terkadang berupa komedi. Inilah kutipan yang disampaikan oleh tokoh Joker yang diperankan Joaquin Phoenix.

Ia lahir dari orang baik yang tersakiti. Berlatar tahun 1981, karier Joker sebagai seorang stand-up comedian tidak begitu berhasil. Hal ini membawanya berproses menjadi pribadi yang berbeda. Kegagalan kemanusiaan dalam lingkungan sosial telah mengubahnya menjadi sosok yang menakutkan. Isu yang dibawakan oleh Joker mungkin cukup untuk mewakili fenomena sosial saat ini, ketika kesehatan mental bukan lagi hal tabu, ketika terapi mulai menjadi candu.


---

Saya melangkah ke arah dapur. Sambil menenggak air mineral, saya melirik ke halaman belakang. Tiba-tiba rumah terasa begitu sepi. Kemudian saya kembali ke kamar, mengambil matras yoga yang mulai berdebu. Tidak terasa sudah pukul empat sore. Cahaya matahari perlahan mulai jinak. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dengan tidak melakukan apa-apa. Saya memutuskan bermeditasi selama dua puluh menit. Ditemani ricik air kolam, perlahan saya mulai relax.

Jujur, bagi saya untuk merasakan ketenangan yang utuh masih terasa sulit. Semakin kuat saya mencoba menekan pikiran, maka semakin kuat pikiran itu bergejolak, menguasai saya secara penuh. Tidak jarang jantung saya berdegup kencang, suaranya mengeras di keheningan. Satu-satu cara yang bisa saya lakukan adalah dengan duduk bersila, memposisikan diri duduk senyaman mungkin, menarik dan menghembuskan nafas secara teratur, melepaskan segala bentuk keterikatan, membiarkannya meleleh dan menguap perlahan. Hanya itu. Pengalaman ini sempat beberapa kali membawa saya pada silence moment, ketika saya dapat mendengarkan suara terkecil dan terjauh, sampai akhirnya mencapai ketenangan. Hanya ada tubuh, sebagai wadah, yang sendirian di tengah alam semesta tanpa batas.

“Jouska!” Bila suatu waktu mencapai pengalaman lain, saya tidak perlu cemas. Saya cukup membiarkan dan merelakannya mengalir perlahan di tubuh saya. Saya biarkan panca indera bekerja sebagaimana mestinya. Apabila hidung saya menangkap aroma tertentu, tidak lain datangnya dari sekitar halaman belakang. Aroma yang kerap menggelitik hidung merupakan aroma daunan yang hampir gosong di bawah terik matahari, aroma batang tumbuhan yang mulai kering, aroma tanah yang tidak disirami air. Aroma-aroma ini tercium secara bergantian. Mereka menentukan alurnya sendiri, sama seperti parfum.

Dedaunan dan rumput halaman belakang membawa saya seolah menciumi aroma hijau, identik dengan beras, lidah buaya, semangkuk teh hijau yang dihidangkan pada acara perjamuan teh tradisional, zucchini yang masih segar, alpukat mentega, sup tomat kemasan kaleng kesukaan Andy Warhol, atau bahkan daun mint yang dicampur dengan minuman dingin. Kemudian batang-batang tanaman yang mengering membawa saya seolah begitu dekat dengan keranjang penyimpanan vanila, biji tonka, kayu manis, cengkeh, buah cokelat, kayu cendana, potongan tipis coriander, dan lain-lain. Lantas bagaimana dengan tanah yang sudah lama tidak tersentuh air? Agak sulit menangkap impresinya.

Bagi saya, persepsi yang muncul adalah aroma tanah itu sendiri. Aroma khas yang tidak dimiliki oleh objek lain, aroma semesta, aroma kerinduan terhadap hujan. Aroma ini menimbulkan asosiasi tertentu. Saya teringat akan lukisan Van Gogh berjudul De Aardappeleters, berangka tahun 1885. Orang-orang Belanda terkenal memiliki kebiasaan mengonsumsi banyak kentang.

Di kepala, saya seolah sedang memasuki sebuah ruang makan. Di dalamnya ada beberapa orang, termasuk saya dan si pelukis, Van Gogh. Cahaya pada ruangan ini cukup temaram. Katanya sengaja, agar yang datang bergabung hanya fokus pada makanan yang disajikan. Kami berbagi sehelai roti yang terbuat dari kentang dan tepung dengan kualitas rendah, potongan keju, dan beberapa teguk vin rouge. Saya pun dibuat lupa tengah berada di antara yang asing.

Inikah ilusi optik? Kami yang bergabung, di bawah cahaya temaram, seolah mengabur dan menyatu begitu saja. Tidak ada sekat. Hanya tulang pipi dan ruas jari yang terlihat tegas. Warna kulit dan pakaian kami seolah kehilangan karakter. Kami semua nampak seperti kentang yang baru saja dipanen, tentu saja kulitnya masih utuh dan kotor.  


---

Perlahan matahari bergeser ke barat. Sinarnya terasa begitu berat, memantulkan warna kuning tembaga. Langit perlahan menjadi sendu. Ada semacam perasaan sedih. Perlahan hari mulai gelap.
Saya menutup rapat pintu belakang dan kembali mengurun diri di rumah. Di sebuah lemari jati yang antik, saya mengambil lampu teplok. Berkat sumbu dan minyak tanahlah cahaya dihasilkan. Cahaya akan menjadi terang apabila lampu teplok terus dirawat dengan baik. Semprong, kaca pelindung api, juga harus dibersihkan dari jelaga.

Duduk di hadapan lampu teplok mengirim saya pada sebuah petualangan baru. Pada dimensi ruang dan waktu tertentu seolah saya tidak sendiri. Ibu, ayah, dan kedua adik saya seolah ikut menemani. Kehangatan pelukan dan ciuman yang mendarat di kening sesaat sebelum tidur, mengiringi malam. Di luar, gelap abadi. Saya tidak bisa pastikan kapan akan terang kembali.


Jekardah, April 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya, Aku Pulang

Kepada K. Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan. Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat

The Essence of Learning New Things Every Day

Everyone basically has opportunities to learn something new every day. They learn to get a new skill or to let go of what doesn't belong to them. The cycle comes and goes. Learning something new is not only a shortcut to improve one's life, but also to make one's meaningful, and their presence could make the simplest form of change.  I was once asked about the skills I have other than teaching. I confidently responded to them that I have enough skills in writing, photography, and cooking. While doing my responsibilities in the class, I value the three areas will be beneficial for me in professionalism. I have unlimited resources to access them if one day, I could only choose one area to support me for a living.  As an individual who has to make a move every day, I see learning as a potential way that brings us to become more selfless. We can learn new things every day as long as we have the courage and willingness to be a beginner. A beginner carries honesty since they have

The Fall and The Rise, The Sorrow and The Courage

 Dear my love, Kelvin, please accept my deep condolence on the loss of your beloved sister and beloved grandma this year.  We never been taught how to understand the loss of our loved ones: father, sister, and granny. The grief can be particularly intense. It is accepted as natural part of life with shock, confusion, and also sadness. Grieving becomes significant to welcome those feelings and to continue to embrace the time we had with our loved ones.  I genuinely appreciate your personal willingness to share what you feel. Let's go hand in hand with this wide range of emotions. This sad news can be the most uneasy challenge we face. It also can be the remembrance to honor them. I am thinking about you who are experiencing restlessness, tightness in the chest, and breathlessness.  We don't miss our father, our sister, and our granny. It's not a goodbye for they always stay here, with us in our hearts with love and peace. We will continue the bond we had with our loved ones