Sudahkah kita bersyukur hari ini? Pertanyaan ini harusnya jadi salah satu elements penting pengingat bagi kita, terutama saya, yang disibukkan dengan berbagai kegiatan, mulai dari jam 6 pagi hingga jam 7.30 malam. Sudah menjadi kebiasaan untuk bekerja lebih dari dua belas jam selama weekdays. Bahkan tidak jarang weekend pun dipakai untuk kerja walaupun durasinya hanya 3 atau 4 jam. Bicara soal kebiasaan, tidak salah kalau bersyukur pun rutin dilakukan. Bersyukur dapat dimulai dari hal yang kecil, misalnya bangun tidur lebih awal tanpa jam waker, bangun tidur dalam keadaan sehat, bangun tidur dalam kondisi fully charged walaupun katakanlah tidur tidak dalam jumlah yang solid, yakni 8 jam.
Terkadang ada hal-hal di luar kendali yang mengalihkan perhatian saya untuk bersyukur sejenak. OK, mungkin ini dikategorikan mengeluh dan bersifaf toxic. Tapi saya usahakan semaksimal mungkin mengeluh dalam batas yang wajar, sesuai takarannya, dengan cara baik dan dengan harapan ke depan apa pun tantangannya mengeluhkan ini dan itu dapat dikurangi.
Ada yang mesti digarisbawahi bahwa untuk menjadi kebiasaan, suatu hal minimal harus disukai terlebih dahulu. Secara pribadi saya berpendapat seperti itu. Agar bersyukur menjadi kebiasaan artinya minimal bersyukur harus atau memang sudah sewajarnya dilakukan dengan senang hati, dengan menyadari bahwa bersyukur adalah suatu kebutuhan, sama halnya seperti makan dan minum, bernafas, istirahat yang cukup, dsb. Saya meyakini bersyukur akan mengantarkan kita dalam suatu fase kehidupan yang lebih jauh. Kalau saya menyebutnya dengan fase beradaptasi. Kemampuan ini mahal juga ternyata.
Saya coba berbagi semampu saya dengan penyampaian yang sederhana saja. Begini, bersyukur mengacu pada menyadari bahwa apa yang terjadi dan apa yang dilalui sudah baik adanya, atau inilah yang terbaik untuk kita. Kalau tidak A dan menjadi B, artinya B itulah yang lebih baik untuk kita. Menyikapi pengalaman ini tentu melalui proses. Saya yakin membutuhkan kematangan dan kedewasaan masing-masing dari kita. Lalu bagaimana caranya untuk menyesuaikan diri dengan B, padahal yang ada dalam ekspektasi kita sebelumnya adalah A? Di sini saya tidak akan berbagi tips and tricks how to or not to. Saya tidak akan menggurui. Selamanya saya akan memposisikan diri sebagai seorang siswa yang belajar hidup sampai akhir hayat.
Untuk menyikapi B, kita dapat mencobanya dengan cara beradaptasi. Mungkin beberapa di antara kita masih ingat dengan salah suatu ciri makhluk hidup beradaptasi. Kita dibekali dengan kemampuan yang dapat membantu kita bertahan hidup, bahkan di kondisi paling rumit. Jadi kalau suatu hari hal-hal di luar kendali terjadi, tetaplah bersyukur sebab bersyukur mengantarkan kita untuk senantiasa beradaptasi, agar dapat bertahan hidup. Tidak salah juga kalau saya bilang mari bersyukur agar kita mampu bertahan hidup.
Ada sebuah kutipan menarik, kurang lebih berbunyi seperti ini:
Her : we came to this world to grow, to transform, to contribute, to add value.
Me : what if we came to this world to deny death?
Bersyukur menjadikan kita pribadi yang kuat. Mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi, bukan yang lebih pintar dsb. Bersyukur juga dapat dilakukan dengan journaling. Catatlah hal-hal paling kecil yang patut disyukuri setiap hari. Hidup itu seperti bekerja. Dalam bekerja kita membutuhkan catatan yang dimuat misalnya di agenda. Catatan ini berisi apa yang harusnya dioptimalkan hari ini, apa yang harus dibenahi dan dikoreksi, apa yang mesti ditingkatkan, apa yang dapat saya lakukan kalau hari ini hari terakhir untuk hidup?
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Tabik
Terkadang ada hal-hal di luar kendali yang mengalihkan perhatian saya untuk bersyukur sejenak. OK, mungkin ini dikategorikan mengeluh dan bersifaf toxic. Tapi saya usahakan semaksimal mungkin mengeluh dalam batas yang wajar, sesuai takarannya, dengan cara baik dan dengan harapan ke depan apa pun tantangannya mengeluhkan ini dan itu dapat dikurangi.
Ada yang mesti digarisbawahi bahwa untuk menjadi kebiasaan, suatu hal minimal harus disukai terlebih dahulu. Secara pribadi saya berpendapat seperti itu. Agar bersyukur menjadi kebiasaan artinya minimal bersyukur harus atau memang sudah sewajarnya dilakukan dengan senang hati, dengan menyadari bahwa bersyukur adalah suatu kebutuhan, sama halnya seperti makan dan minum, bernafas, istirahat yang cukup, dsb. Saya meyakini bersyukur akan mengantarkan kita dalam suatu fase kehidupan yang lebih jauh. Kalau saya menyebutnya dengan fase beradaptasi. Kemampuan ini mahal juga ternyata.
Saya coba berbagi semampu saya dengan penyampaian yang sederhana saja. Begini, bersyukur mengacu pada menyadari bahwa apa yang terjadi dan apa yang dilalui sudah baik adanya, atau inilah yang terbaik untuk kita. Kalau tidak A dan menjadi B, artinya B itulah yang lebih baik untuk kita. Menyikapi pengalaman ini tentu melalui proses. Saya yakin membutuhkan kematangan dan kedewasaan masing-masing dari kita. Lalu bagaimana caranya untuk menyesuaikan diri dengan B, padahal yang ada dalam ekspektasi kita sebelumnya adalah A? Di sini saya tidak akan berbagi tips and tricks how to or not to. Saya tidak akan menggurui. Selamanya saya akan memposisikan diri sebagai seorang siswa yang belajar hidup sampai akhir hayat.
Untuk menyikapi B, kita dapat mencobanya dengan cara beradaptasi. Mungkin beberapa di antara kita masih ingat dengan salah suatu ciri makhluk hidup beradaptasi. Kita dibekali dengan kemampuan yang dapat membantu kita bertahan hidup, bahkan di kondisi paling rumit. Jadi kalau suatu hari hal-hal di luar kendali terjadi, tetaplah bersyukur sebab bersyukur mengantarkan kita untuk senantiasa beradaptasi, agar dapat bertahan hidup. Tidak salah juga kalau saya bilang mari bersyukur agar kita mampu bertahan hidup.
Ada sebuah kutipan menarik, kurang lebih berbunyi seperti ini:
Her : we came to this world to grow, to transform, to contribute, to add value.
Me : what if we came to this world to deny death?
Bersyukur menjadikan kita pribadi yang kuat. Mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi, bukan yang lebih pintar dsb. Bersyukur juga dapat dilakukan dengan journaling. Catatlah hal-hal paling kecil yang patut disyukuri setiap hari. Hidup itu seperti bekerja. Dalam bekerja kita membutuhkan catatan yang dimuat misalnya di agenda. Catatan ini berisi apa yang harusnya dioptimalkan hari ini, apa yang harus dibenahi dan dikoreksi, apa yang mesti ditingkatkan, apa yang dapat saya lakukan kalau hari ini hari terakhir untuk hidup?
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Tabik
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin