Kucing mempunyai kesan tersendiri untuk saya, walaupun bukan seorang pecinta kucing. Namun tiap kali tidak sengaja melihat dan atau berpapasan dengan makhluk satu ini, kedua mata saya akan langsung tertuju padanya. Biasanya yang lebih dulu saya perhatikan adalah tampakan fisiknya, mulai dari warna bulu, ketebalan bulu, bentuk muka, warna mata, sambil menerka perilakunya seperti apa. Apakah akan jinak dan malu-malu atau garang dan bertingkah semaunya.
Ada yang bilang kucing teman terbaik, pendengar terbaik, selalu antusias saat diajak bermain. Bagi saya hal itu dapat terjadi tidak lebih karena kucing memiliki sifat penurut dan tentu saja hewan peliharaan bukan? Berbicara mengenai penggolongan jinak dan buas, secara pribadi ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki keinginan untuk mengontrol hal-hal di luar dirinya. Katakanlah kucing, bila dapat dikontrol maka ia digolongkan sesuatu yang jinak. Ya barangkali juga penanda relasi kuasa, seorang manusia berkuasa atas hal-hal yang jinak di hadapannya. Mengenai yang liar, mengapa digolongkan demikian? Mungkin karena tidak bisa dikontrol, manusia menilainya sebagai ancaman dan bahaya. Hal ini menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan manusia harus berhati-hati terhadapnya. Sedikit saja lengah dapat berakibat fatal. Manusia dapat mati dibuatnya. Jika diurutkan, manusia ada di tengah di antara yang jinak dan liar. Jinak berada di sebelah kanan sedangkan yang liar di sebelah kiri. Posisi ini saya maksudkan sebagai tanda yang kanan adalah hal-hal yang baik (saja) dan yang kiri adalah hal-hal yang tidak baik. Padahal seharusnya sebagai manusia paham bahwa yang baik dan yang tidak baik tidak dapat berdiri sendiri. Mereka ada secara berpasangan. Mereka adalah contoh keseimbanban, yin dan yang. Jadi bukan hal yang baik jika ia tidak mempunyai pasangan yang tidak baik, atau sebaliknya. Mengenak kematian lebih lanjut Camus pernah mengatakan ini, bahwasanya kematian adalah satu-satunya hal pasti dalam hidup. Rupa-rupanya manusia menjadi kerdil di hadapan hal yang pasti.
Ah kembali membicarakan kucing, saya menyukai kucing hanya untuk memuaskan kebutuhan visual. Saya menyukainya apabila ia lucu dan tentu saja jinak akan menjadi nilaj tambahan. Jujur saya bukan pribadi yang menyukai kucing karena keinginan untuk merawatnya. Tidak. Merawat kucing, katakanlah makhluk hidup, bukan perkara gampang. Saya harus rutin menjaga kesebersihan kucing, memandikannya dengan produk anti kutu, harus sering-sering dibawa ke dokter, divaksin, diberi makan. Belum lagi kalau mau kawin, sedang hamil, kemudian melahirkan. Repot pasti. Untuk merawat diri sendiri saja sudah menjadi hal yang extra. Tapi khusus untuk memberi makan, mungkin tidak akan memberatkan karena saya tinggal pergi ke pet shop dan memilih makanan mana yang kira-kira pas dan akan dihabiskan. Saat proses memberi makan terjadi saya tinggal duduk manis di samping kucing sambil sesekali mengelus bulunya dan mengeong pelan walaupun tidak memahami maknanya. Itu saja.
Saya belum benar-benar menyukai kucing mungkin karena sewaktu kecil, saya sering ditakut-takuti dengan kucing. Kebetulan tetangga saya punya banyak kucing, jumlahnya lebih dari sepuluh. Suatu hari saya datang ke rumahnha dengan maksud mengajak bermain si kucing. Tapi yang terjadi adalah siku tangan dicakar sampak berdarah dan meninggalkan bekas luka sampai sekarang. Kemungkinan yang kedua, dulu sekali saya punya dua kelinci. Keduanya berwarna putih. Sesekali mereka dibawa keluar untuk merasakan matahari pagi. Mereka mempunyai mata berwarna merah. Suatu hari ketika sedang berjemur, seekor kucing liar menerkamnya. Memangsanya dengan ganas. Kelinci saya tidak berdaya. Lehernya tercekik oleh taring si kucing. Darah yang pekat berceceran dimana-mana. Saya cuma bisa menangis sejadi-jadinya. Sedih sekali mengingat kejadian waktu itu. Sejak kelinci saya dimakan oleh seekor kucinb liar, sejak itu pula saya memusuhi kucing. Dalam kepala saya, kucing bukan lagi hewan yang lucu melainkan hewan yang mengerikan.
Lalu apa bedanya dengan manusia, kita sering sekali disakiti dan menyakiti sesama. Manusia juga sangat sering meninggalkan luka yang mendalam, luka secara fisik, luka mental, dsb, sehingga bekasnya sulit dihilangkan. Manusia itu mengecewakan, seoramg teman pernah berpesan ini pada saya beberapa minggu yang lalu Walaupun demikian, kita masih dapat menyayangi dan mangasihinya. Mengapa bisa seperti itu. Apa bedanya manusia dengan beberapa ekor kucing yang pernah meninggalkan kesan tidak baik pada diri kita. Manusia ini punya ekspektasi, jika ia berniat baik maka ia berekspektasi hal-hal yang baik juga. Di sekitar kita, adakah manusia yang trauma pada sesamanya? Atau jika ya, mengapa manusia masih mau mengasihi dan menyayangi manusia lain? Apakah ini cukup adil bagi seekor kucing? Mungkin saja kucing yang meneyarang saya waktu kecil merasa terancam dengan kehadiran saya. Katakanlah saya ini makhluk asing. Karena hal itu, si kucing jadi khawatir saya akan menyakitinya. Lalu kucing yang kedua, mungkin saja ia sedang sangat-sangat lapar. Mungkin beberapa saat sebelum kejadian itu, si kucing dibiarkan lapar dan tidak diberi makan oleh manusia-manusia di sekitarnya. Ia membunuh kelinci saya hanya untuk bertahan hidup. Bukankah itu hal yang wajar? Lantas mengapa saya harus marah? Apa yang salah dengan saya? Jika manusia dan kucing sama-sama dapat membuat luka, lantas apa pembedanya? Menanggapi hal ini, saya mau share satu link dari youtube yang menayangkan animasi pendek berjudul Amy. Pembaca dapat langsung klik tautan 'Amy' di bawah ini. Selamat menyaksikan :)
Jekardah, April 2019
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin