WITH HER BIG EYES
Satu-persatu temanku pulang lebih dulu. Tanpa basa-basi mereka akan langsung meninggalkan ruangan. Hanya bunyi langkah yang berasal dari sepatu mereka pelan-pelan terdengar menjauh dari meja kerjaku.
Aku duduk bersandar sambil memejamkan kedua mataku. Agak perih. Tidak terasa titik-titik air menetes, mengalir di kedua pipi. Aku tidak sedang menangis, ini pertanda bahwa mataku butuh ditetesi cairan untuk mencegahnya menjadi kering.
sumber : dribbble.com |
Pada sebuah cermin yang terpasang di sudut tembok kamar
mandi, beberapa inch dari selang shower yang sudah tidak berfungsi, aku
berdiri. Memandangi diri dengan tatapan setengah kosong. Hari ini tidak ada yang berjalan secara istimewa. Semuanya seperti
sudah ditetapkan mesti begini dan mesti begitu. Kalau tidak ini dan itu,
silakan angkat kaki, bawa serta barang-barangmu, kemasi yang masih bisa
dipakai, termasuk seekor ikan yang dibiarkan berenang setiap hari dalam sebuah
akuarium. Ukurannya kecil, tetapi cukup untuk menampung tubuh mungil
seekor ikan. Hanya ia saja, tidak ada yang lain. Hanya dirinya saja yang
hilir-mudik, berenang ke sana kemari. Barangkali ia juga mulai lupa seperti apa
mestinya ekosistem terkecil dalam air ini terlihat. Ikan itu terbiasa dengan
ketidakseimbangan. Meski disinari matahari, elemen pelengkap lainnya sudah
disingkirkan sejak lama, yakni sejak pertama kali aku memutuskan menjadikan
akuarium ini sebagai alat pemenuh kebutuhan visual semata.
Aku butuh air, tapi tidak melulu untuk diminum, untuk
membersihkan tubuh, atau menyiram beberapa pot tanaman yang sengaja diletakkan
di pinggir halaman depan rumah. Air ini aku jadikan sebagai media untuk
menenangkan kedua mataku yang kadang juga terasa seperti ingin mengerut, kisut,
dan terlihat lelah akibat terlalu lama terpapar Air Conditioner dan matahari. Tidak jarang kalau sudah seperti ini,
kedua mataku akan memerah, terasa perih, dan kadang juga mengeluarkan air mata.
Memiliki sepasang mata yang sensitif bukan hal baru dalam hidupku. Sejak kecil
orang-orang menganggapku cengeng. Tanpa pemicu, kedua mataku gampang sekali
berair. Mereka kira aku sedang menangisi hal yang bukan-bukan. Aku memang tidak
sedang menangis, tetapi yang terjadi adalah adanya respon tubuh terhadap
iritasi pada mata kering.
Di meja kerja, beberapa tumpukan laporan sudah aku bereskan.
Sebagian yang sedang dikerjakan adalah adalah laporan hasil belajar anak-anak
selama satu minggu terakhir. Laporan ini akan ditempel di communication book setiap hari Jumat, baru setelah itu dibawa
pulang oleh anak-anak untuk diperlihatkan pada orang tua mereka. Beberapa orang
tua yang cukup perhatian dengan anak-anaknya akan merespon dengan menuliskan
beberapa point perkembangan anaknya
untuk didiskusikan lebih lanjut. Ada banyak pilihan yang dapat dilakukan, misalnya
didiskusikan melalui aplikasi Whatsapp. Aplikasi
yang mungkin semula pembuatannya untuk mempermudah komunikasi kini berhasil
menyulap para penggunanya untuk kecanduan. Diskusi yang sebelumnya harus
dilakukan secara tatap muka, kini mulai tergantikan. Dulunya jika kedua pihak
hendak bertemu, keduanya akan sama-sama melakukan ritual persiapan mulai dari costume yang jauh lebih rapih,
penggunaan bahasa yang lebih tertata, pemilihan ruangan dengan situasi yang
lebih kondusif karena keduanya harus saling fokus mendengarkan, dll. Maka tidak
jarang adrenalin terasa berpacu bahkan beberapa hari sebelum pertemuan
dilakukan.
Anak-anak sudah pulang satu jam yang lalu. Setelah mengajar
di kelas, semua pengajar diberikan waktu kira-kira sepuluh menit untuk bernapas.
Namun tidak denganku, kembali melanjutkan pekerjaan seperti hari-hari
sebelumnya sambil menyantap makan siang yang disediakan oleh pihak sekolah.
Rasanya tidak terlalu enak, lauk yang disajikan juga standar asalkan memenuhi
salah satu nutrisi dari empat sehat lima sempurna. Namun lidahku tidak akan
mengeluh. Aku tidak dibayar untuk mengeluhkan hal-hal kecil yang tidak
menghasilkan apa-apa. Tugasku hanya satu, memastikan anak-anak yang membayar
puluhan juta setiap term menjadi
lebih pintar secara akademis. Lalu bagaimana dengan kemampuan emosional dan
spiritual? Entahlah, sekolah tidak banyak menuntut hal itu. Lagi pula sekolah
adalah rumah kedua dan pengajar hanya diposisikan sebagai orang tua ke
dua, bukan orang tua sungguhan.
Bagiku, mengajarkan anak-anak untuk terbiasa menjadi
baik pada teman-temannya hanya akan membuang waktu. Anak-anak bukan robot yang
dipaksakan untuk berbelas kasih tanpa memahami mengapa mereka harus berbaik
hati pada sesamanya. Apalah artinya mengajarkan sesuatu yang abstrak tanpa
dilandasi fondasi yang kuat. Suatu waktu apa yang nampak dari luar terlihat
kokoh akhirnya akan roboh, hancur dengan kerusakan parah. Mungkin anak-anak
memang mesti dibiarkan menjadi individu apa adanya. Sejak lahir mereka
mempunyai kepribadian masing-masing. Biarkan mereka memilih harus bertindak apa dan seperti apa.
Jika mereka tidak mampu mengapresiasi apa yang orang lain lakukan untuk mereka,
itu bukan salah mereka. Mereka mempunyai kebebasan memilih yang sudah dijamin
dalam hak asasi manusia. Dunia internasional mengamininya. Atau kalaupun tidak
mampu mengapresiasi, bukankah itu juga sebentuk apresiasi?
Aku akan coba terangkan sedikit. Dalam sebuah pameran foto
yang memuat berbagai hasil jepretan dengan kualitas yang tidak main-main, hal
yang ingin dicapai adalah pengunjung yang menjadi subyek menilai karya itu
dengan kekaguman. Mereka tidak dituntut memahami secara utuh isi kepala
fotografer yang bekerja di balik foto. Pengarang sudah mati. Kalau sudah dipemarkan, foto-foto
tersebut memenuhi syarat untuk menjadi karya yang bagus. Padahal tidak juga. Di
antara pengunjung yang mondar-mandir di pameran itu, setidaknya ada satu atau
dua pengunjung dengan background yang sama, yakni sama-sama sebagai fotografer dan mereka merasa memiliki karya yang jauh lebih baik. Jika dapat bersikap
jujur, aku yakin mereka akan merobeknya menjadi tumpukan kertas yang terlihat
tidak berdaya di tong sampah. Lantas apakah itu salah? Menurutku tidak, sekali
pun yang mereka lakukan bersifat destruktif. Mereka mencoba bereaksi senatural
mungkin dan itulah bentuk apresiasi yang mereka berikan.
Anak-anak memiliki jiwa yang polos. Aku tidak akan
menodainya dengan pengekangan. Seolah bersikap baik adalah tolak ukur untuk
kelak menjadi individu yang beradab. Aku teringat dengan salah satu materi yang
disampaikan di kelas Sejarah Masyarakat Amerika. Bangsa Inggris datang
menggempur bangsa Indian dan bangsa berkulit hitam salah satunya dengan
memaksakan paham-paham bagaimana menjadi bangsa yang beradab. Di mata Bangsa
Inggris, hal-hal yang tidak memiliki nilai yang sama dengan bangsa mereka akan dinilai
tidak beradab. Salah satunya terjadilah penjajahan. Bangsa selain Inggris ini
dicap sebagai the outsiders.
---
Sepasang mataku kembali tertuju pada akuarium kecil itu dan
seekor ikan yang mungkin tidak pernah tahu seperti apa rasanya kesepian. Hari
ini aku akan bekerja sampai larut malam. Tinggal dua jam lagi sebelum genap
pukul sembilan.
Satu-persatu temanku pulang lebih dulu. Tanpa basa-basi mereka akan langsung meninggalkan ruangan. Hanya bunyi langkah yang berasal dari sepatu mereka pelan-pelan terdengar menjauh dari meja kerjaku.
---
Tepat di depan meja kerjaku, terdapat sebuah pintu keluar
menuju front office. Pintu yang
transparan dan terbuat dari material kaca. Dari pintu ini akan ketahuan siapa
yang sedang lalu-lalang di sekitaran ruang kerja para pengajar dan area front office. Mungkin sudah tujuh puluh
lima menit berlalu tiba-tiba aku memutuskan untuk pulang. Semula laporan yang
ditaksir akan selesai pada pukul sembilan malam ternyata diselesaikan empat
puluh lima menit lebih awal.
Aku duduk bersandar sambil memejamkan kedua mataku. Agak perih. Tidak terasa titik-titik air menetes, mengalir di kedua pipi. Aku tidak sedang menangis, ini pertanda bahwa mataku butuh ditetesi cairan untuk mencegahnya menjadi kering.
Aku berencana untuk segera pulang. Biasanya lewat pukul
delapan malam security sekolah akan
menginatkanku untuk bergegas menyelesaikan pekerjaan. Aku berjalan menuju dispenser, meminum segelas air hangat
sambil sesekali melirik ke luar jendela. Jalanan masih macet. Berbagai kendaraan
terlihat memadati jalanan.
Tiba-tiba aku merasa kecil dan kesepian. Kilatan cahaya
gedung-gedung perkantoran yang memasang iklanlah yang menyapaku. Namun aku
tidak perlu meresponnya. Ini bukan komunikasi yang bersifat dua arah, antara
penyampai dan pendengar. Iklan itu disiarkan barangkali untuk menjadi pengingat
betapa kesibukan menguasai sebagian besar hidupku.
Sudah beberapa hari aku tidak bicara banyak pada orang-orang
di sekitarku. Interaksi yang kulakukan hanya pada driver ojek online yang
akan mengantar dan menjemputku, pada security
mall yang rutin memeriksa tas dan barang bawaanku tiap pagi, pada security dan ibu-ibu yang menjaga
kebersihan sekolah, pada anak-anak saat jam belajar di kelas dimulai, pada
beberapa orang tua yang sesekali mendatangi meja front office untuk keperluan extra
class atau yang lain, dan pada media sosial.
Melalui media sosial, dunia maya terasa begitu menyenangkan. Menjaring banyak orang asing untuk dijadikan teman tanpa mesti mengenal satu sama lain. Asalkan mempunyai kesukaan yang sama, kami dapat saling terhubung, saling menyukai postingan yang diunggah hampir setiap hari, memberikan komentar tanpa mesti melakukan eye contact, berbagi informasi dengan hanya mengirimkan tautan ke kotak pesan, bahkan untuk berkencan tanpa perlu bertemu dan kontak fisik, sehingga berteman dalam tanda kutip menjadi begitu instan.
Aku rasa terlalu banyak terlibat dalam pembicaraan hanya akan membuang waktuku untuk berpikir. Sebisa mungkin setiap menit diupayakan untuk mempertimbangkan banyak hal, mengambil keputusan, untuk menyusun rencana masa depan, dan menjawab kebingungan-kebingungan mengapa ini atau itu terjadi. Di sekolah, aku lebih sering bekerja sendiri walau pun sudah ditetapkan menjadi bagian team yang mana.
Melalui media sosial, dunia maya terasa begitu menyenangkan. Menjaring banyak orang asing untuk dijadikan teman tanpa mesti mengenal satu sama lain. Asalkan mempunyai kesukaan yang sama, kami dapat saling terhubung, saling menyukai postingan yang diunggah hampir setiap hari, memberikan komentar tanpa mesti melakukan eye contact, berbagi informasi dengan hanya mengirimkan tautan ke kotak pesan, bahkan untuk berkencan tanpa perlu bertemu dan kontak fisik, sehingga berteman dalam tanda kutip menjadi begitu instan.
Aku rasa terlalu banyak terlibat dalam pembicaraan hanya akan membuang waktuku untuk berpikir. Sebisa mungkin setiap menit diupayakan untuk mempertimbangkan banyak hal, mengambil keputusan, untuk menyusun rencana masa depan, dan menjawab kebingungan-kebingungan mengapa ini atau itu terjadi. Di sekolah, aku lebih sering bekerja sendiri walau pun sudah ditetapkan menjadi bagian team yang mana.
Saat mulai mendekorasi untuk kegiatan besar sekolah, aku
akan fokus mengerjakan bagianku saja. Walau pun demikian bukan berarti aku akan
mengerjakannya jauh dari kerumunan. Tidak masalah bagiku mengerjakannya di
tengah yang lain. Aku bisa memahami mereka suka sekali melontarkan lelucon
untuk menghibur diri yang penat. Sayangnya apa yang mereka utarakan tidak akan
bertahan lama di telingaku. Aku cenderung mengabaikan mereka. Aku akan merespon
dan menoleh ke arah mereka jika memang itu perlu dilakukan.
---
Pernah suatu kali di pertengahan bulan Desember, beberapa
hari menjelang Natal, semua sepakat untuk bertukar hadiah. Semua nama pengajar
ditulis di sobekan kertas yang kemudian digulung dan dimasukkan ke sebuah
mangkuk berukuran sedang. Satu persatu mengambil gulungan kertas secara acak. Lalu
kini giliran salah satu pengajar yang berdiri di depanku untuk mengambilnya. Saat
membuka gulungan kertas, matanya langsung tertuju ke arahku. Aku bisa langsung
menangkap maksudnya. Ekspresinya datar dan terlihat tidak begitu antusias.
Mereka ini, aku tidak sanggup menyebutnya sebagai teman atau
rekan kerja. Walau pun sudah bergabung di sekolah ini selama hampir dua tahun,
bagiku mereka tetap saja orang asing. Aku tidak begitu peduli dengan pendapat
mereka mengenai diriku. Selama itu tidak mengganggu jam kerjaku, mereka bebas
beranggapan yang macam-macam.
Ada yang bilang aku tidak pandai bersosialisasi, ada yang
bilang karena tekanan dan tuntutat pekerjaan sehingga mengaharuskanku banyak
diam dan lebih fokus pada tugas dan kewajiban semata. Apa pun itu, selama tidak
merugikan, aku akan baik-baik saja.
Untuk bertukar hadiah, syaratnya adalah memberikan barang
yang tidak berupa makanan atau yang tidak langsung habis saat dikonsumsi. Selain
itu, budget-nya tidak boleh melebihi
nominal seratus ribu rupiah. Ketentuan ini membuatku berpikir sedikit lebih
keras. Walau pun jarang sekali berinteraksi, aku tidak akan memberikan hadiah
ala kadarnya.
---
Setelah pulang kerja aku langsung melipir ke sport station yang letaknya tidak jauh
dari sekolah. Hanya berjarak satu kilometer, tetapi karena bertepatan dengan
jam pulang kerja jalanan macet. Hal ini mengaharuskanku berjibaku keramaian. Energiku
hampir habis. Manusia-manusia ini menyedot sisa tenagaku. Sejenak untuk
menenangkan diri, aku duduk selama beberapa menit di bangku pengunjung. Kalau sudah
begini secara otomatis aku menyalakan satu atau dua lagu dan mendengarkannya
melalui earphone. Semacam perasaan
lega memenuhi dadaku.
Aku kembali meraih isi tas untuk mengambil sebotol air minum. Kerongkongan
terasa sangat kering. Kalau tidak cepat-cepat minum akan terasa sakit seperti
radang tenggorokan.
---
Aku melirik-lirik ke arah barang yang sedang discount. Kebanyakan bermerk Airwalk. Kualitas bahannya tidak buruk. Lalu
kupilih satu crop T berukuran kecil,
berwarna putih dengan panjang lengan ¾. Terlihat manis. Aku berharap hadiah ini
tetap disukai.
---
Kini giliranku membuka hadiah pemberian salah satu pengajar
di sekolah. Voilà! Sepasang coklat Delfi dengan isian kacang almond. Sejenak
aku berpikir dan mengernyitkan alis untuk memastikan bahwa hadiah yang akan
diberikan tidak berupa makanan atau benda lain yang tidak langsung habis saat dikonsumsi.
Ingin sekali rasanya angkat bicara. Namun aku merasa tidak
ada yang akan memperdulikanku. Aku yakin ini siasat yang disengaja, atau semacam
ajakan untuk terlibat komunikasi, mempertanyakan mengapa hadiahnya tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan, atau mungkin terlibat perdebatan kecil yang akhirnya hanya akan menjurus pada kebiasaanku yang cenderung mengabaikan mereka. Tapi sudahlah. Tidak ada gunanya mengingat
berbicara pada mereka hanya akan menguras energiku. Lagi pula aku akan bekerja
sampai malam, sambil menyadari betapa kesepian begitu erat memelukku. Rasanya hangat
di tengah kesunyian.
---
Di meja kerja, beberapa jam setelah mengajar anak-anak, aku
pandangi akuarium kecil yang menampung seekor ikan hias, berenang ke sana
kemari, mengepakkan sirip dan buntutnya dengan manis. Mungkin ia sedang ingin
menggodaku, mengalihkan perhatianku dari layar laptop, untuk memerhatikannya lebih lama lagi. Mungkin dengan cara
ini kami dapat berbagi, bersitubuh dengan bahasa yang tidak dimengerti, agar kami
tidak kesepian.
O ikanku, berkawan denganmu lebih menyenangkan
Ajak aku bersamamu
Mengarungi keluasan yang terbentur sekotak kaca
Tanpa mengkhawatirkan energi akan habis
Jekardah, April 2019
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin