dari api dan matamu yang menyala, apakah langit di atas seribu kepala yang terbenam itu akan runtuh di pelukanmu. begitu kamu mengetatkan isi rongga dan jalur napas di kerongkongan, cahaya mustahil masuk berkaca di simpulan darah. dan kata yang bersembunyi masuk di pembuluhmu akan tetap menjadi kuli bangunan roboh dan arsitek jalanan yang ingin bersama-sama membikin jalan tanpa ada sisa-sisa kelengangan.
demi kamu, apalagi yang akan dipersembahkan sebagai upeti bayaran hidup dan mati bagi penulis deritanya sendiri? apakah pasir yang dimainkan seorang bapak di jempol kaki untuk anaknya di sore tadi? apakah kerajaan pasir yang lembab dan berbau lumut itu tak akan tergerus bersama ombak yang kabur dari peluhmu?
bertanya dan menanyakan kehidupan rumpun sembilan puluh sembilan bunga mawar di pot kembang, serupa membicarakan kegilaan yang tak pasti. kamu duduk, memainkan gitar berdawai sembilan. lubang hidung yang ada di wajahmu kamu sumbat menjadi terowongan buntu, kedap cahaya, kedap lampu, kedap suara kata-kata.
lalu apa bedanya api di tangan mulusmu? airmatakah yang mengalir menderu di selangkangan yang mekar pada telunjukmu? karatbesikah yang ditempa dan disepu oleh pertanda nasib yang digarisluruskan di telapak kering lenganmu?
kamu tenang tetapi ngilu perih sedih gemetar di urat lehermu yang mengkilat itu telah mengekalkan seribu kepala yang ingin bersandar membenam dan membekam di pelukanmu. kamu temukan apa itu tulang-tulang punggung yang terasa anyir dan terasa asin. kamu berlari di sekitaran bundaran cekung matamu, yang bernyala yang berapi yang tidak kalah dari kesibukan dan kelengangan di perumpamaan jalan. dan tikungan, menipumu dengan janji segala arah. yang memulangkan delapan mataangin dan mata bulat sembilanmu, hingga serupa rumpun bunga mawar adalah tandatanda yang tak habis berkeliaran membentuk pusara kata-pusara suara tanpa kata.
--sekayu '10
demi kamu, apalagi yang akan dipersembahkan sebagai upeti bayaran hidup dan mati bagi penulis deritanya sendiri? apakah pasir yang dimainkan seorang bapak di jempol kaki untuk anaknya di sore tadi? apakah kerajaan pasir yang lembab dan berbau lumut itu tak akan tergerus bersama ombak yang kabur dari peluhmu?
bertanya dan menanyakan kehidupan rumpun sembilan puluh sembilan bunga mawar di pot kembang, serupa membicarakan kegilaan yang tak pasti. kamu duduk, memainkan gitar berdawai sembilan. lubang hidung yang ada di wajahmu kamu sumbat menjadi terowongan buntu, kedap cahaya, kedap lampu, kedap suara kata-kata.
lalu apa bedanya api di tangan mulusmu? airmatakah yang mengalir menderu di selangkangan yang mekar pada telunjukmu? karatbesikah yang ditempa dan disepu oleh pertanda nasib yang digarisluruskan di telapak kering lenganmu?
kamu tenang tetapi ngilu perih sedih gemetar di urat lehermu yang mengkilat itu telah mengekalkan seribu kepala yang ingin bersandar membenam dan membekam di pelukanmu. kamu temukan apa itu tulang-tulang punggung yang terasa anyir dan terasa asin. kamu berlari di sekitaran bundaran cekung matamu, yang bernyala yang berapi yang tidak kalah dari kesibukan dan kelengangan di perumpamaan jalan. dan tikungan, menipumu dengan janji segala arah. yang memulangkan delapan mataangin dan mata bulat sembilanmu, hingga serupa rumpun bunga mawar adalah tandatanda yang tak habis berkeliaran membentuk pusara kata-pusara suara tanpa kata.
--sekayu '10
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin