JEKARDAH
Manakah rumahmu, Vito? Aku lupa menanyakanmu siang tadi,
lupa mengirim pesan siang tadi, lupa menghubungimu siang tadi. Jekardah, sebuah
kota yang lama kita tinggalkan, tapi namanya terus muncul di selembar kertas
kosong. Lalu di meja kerja, absen-absen memenuhi tiap ruang yang sempit,
mengubah simbol menjadi faal yang fatal. Mana mungkin aku mengingatnya satu
persatu.
Di Jekardah, kita tidak mengenal tidur. Jalanan dan gedung
adalah cara lain untuk menikmati malam. Kita sembunyi di etalase-etalase
makanan, menerobos lampu diskotik, dan nyatanya di Jekardah, suara yang senyap
dan raib di saku bajuku telah membikin dije-dije sekarat dengan minuman. Waktu itu
candu katamu.
Aku tuangkan desah ciuman yang mabuk malam ini ke loki-loki
berukuran sedang. Kau tahu Vito, anggur dalam kepalaku tidak akan tumpah di
muaranya yang luber oleh kecupan. Satu persatu degup kencang membuatku semakin
lapang menampung segala ingatan tentang kancing baju yang kau lepaskan.
Apakah kita akan menemui satu buket mawar ketika melintas di
depan jendela yang menelanjangi tubuh penghuninya tanyamu. Aku tak paham Vito. Perasaanku
terlalu antagonis untuk dihubungkan dengan persoalan semacam itu. Hanya getaran
gaib, yang mampu sampai dan memberi sinyal kosong di tangan.
Akan aku bawa kau ke sebuah tempat. Dimana pinggul dan paha
menjadi peraduan. Sebab aku dan kau sudah begitu dekat dengan kematian. Vito
sayangku, bulu matamu adalah sayap yang hidup di remah wajahku.
2014
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin