Bicara soal sepi, saya sepakat bila sepi adalah urusan personal dan juga universal. Sepi ini ibarat tubuh Yesus dalam bentuk roti perjamuan, diterima oleh umatnya namun dengan perasaan suka cita yang berbeda-beda.
Saya, dan pasti kita semua, pasti pernah sepi. Dan ini ketiga kalinya saya merasa bersukur bisa bisa memaknai kesepian dengan hal-hal yang baik. Justru saya bersukur punya kesempatan untuk sendiri, untuk menjadi sepi, untuk memperbaiki kualitas hidup yang sempat saya abaikan. Menatap ulang hal-hal yang berantakan, membuang sampah pada tempatnya, memilih mana yang mesti dipertahankan dan mana yang mesti ditinggalkan adalah perkara yang merepotkan. Tapi saya lebih memilih untuk repot sekarang dari pada repot nanti di saat semuanya bertambah buruk.
Bertambahnya usia kini, selain bicara soal angka, juga bicara soal sebapa tulus dan berlapang dada saya menerima kondisi saya, sebelum saya menerima orang lain masuk dalam hidup saya. Ini adalah saat-saat yang meditatif, sebab saya kembali disadarkan pada hal-hal esensial untuk tidak gegabah dalam menjustifikasi, bahkan kelewat justifikasi.
Awalnya saya mengira 'ignotance is bliss'. Tapi pada akhirnya, justru saya memilih untuk tahu agar saya lebih melek dalam menentukan reaksi apa yang akan saya ekspresikan, apakah saya harus bicara berkata ya atau tidak, atau bahkan tidak melakukan apa-apa dan menunggu.
Semangat, bagi saya bukan lagi soal seberapa cepat saya memilih solusi dan menyimpulkan apa yang saya hadapi, melainkan soal seberapa matang dan seberapa jauh saya memahami bahwa berseberangan pendapat adalah konsekuensi dari bersosialisasi, di antara manusia yang bersosialisasi ada kelompok yang sepakat dan yang tidak. Dan untuk memahami kedua hal ini, saya rasa kita tidak lagi membutuhkan validasi.
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin