Langsung ke konten utama

Puisi Ialah Bahasa Batin yang Berbicara



Puisi ialah bahasa batin yang berbicara melalui siapa-siapa saja dan apa-apa saja yang ia pilih. Misalkan pohon kurma dan seorang wanita yang tengah memeram buah hati di dalam rahimnya. Mereka berdua yang sepakat ini diam-diam menyimpan buah hati yang sangat dikasihi. Bersama-sama melewati sembilan purnama lamanya, mereka berdua saling akur, mengadu nasib di dalam doa, mempertanyakan kembali bahasa-bahasa batin yang telah memilih mereka. Dengan sura yang sulit dimengerti oleh tumbuhan yang hampir habis masa panennya, mereka terkadang menggerutu sendiri. Menyatakan kekesalan dalam berbagai tindakan yang sebenarnya mencelakakan buah hati. Buah hati yang tak pernah memilih dan tak ingin dipilih.
Dari yang jauh dan terpantul di hadapan mereka, sebuah berkah hadir tanpa  terduga. Terbanglah selembar kain bertuliskan poster berhadiah, lengkap dengan lomba berikut prasyaratnya. Bagi siapa saja dan apa saja yang dapat menulis puisi dengan bahasa paling batin, akan mendapatkan pasangan hidup yang selamanya akan menjadi milik pribadi. Termasuk semua keinginan akan dipenuhi.
Salah satu yang memeram buah hati di rahimnya begitu lelah dan tertidur dengan mata meregang. Digenggamnya sebuah pistol plastik dan peluru karet. Ia berharap-harap cemas terhadap sosok siapa saja dan apa saja yang dianggapnya momok itu. Ia kedinginan. Namun pohon kurma yang baik hati memeluknya dengat begitu mesra. Tiba-tiba ia merindukan sebuah pesta di waktu yang dulu. Pernah ia bercinta pada siapa saja dan apa saja yang membuatnya serasa di surga. Surga yang manis dan luar biasa.
Melihat wajah wanita itu, ia pun ikut tertidur. Di dalam tidurnya ia menjelma yang lain. Seperti siapa saja dan apa saja yang tak asing baginya, ia pun menemukan wanita yang ia peluk dengan harap-harap cemas. Wanita yang menjelma siapa saja dan apa saja.
Mereka berdua yang bercengkrama di dalam tidur masing-masing akhirnya mengamuk setelah tahu bahwa merekalah yang selama ini menjadi siapa saja dan apa saja yang lama dinanti. Entah kaget seperti apakah yang mengubah mereka demikian malu dan akhirnya memutuskan bunuh diri. Mereka saling memukul, saling menggigit, saling menggeram, saling merobek. Sebelum sampai pada potongan yang paling akhir dari tubuh mereka, kesepakatan yang sempat mereka kumpulkan bersaa perlahan memudar. Diam-diam hampir mati.
Dari tangannya yang masih berdarah, datanglah puisi sebagai ksatria. Ia menghakimi mereka yang terbongkar menjadi siapa saja dan apa saja. Puisi menjelma menjadi neraka dengan sumbu paling membara. Puisi dapat menghendaki apa pun yang terjadi pada siapa saja dan apa saja.

2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya, Aku Pulang

Kepada K. Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan. Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat ...

Writing As A Love Language

:Vin Elk, Ars Magna, & Lady Loved* Lately, I have enjoyed writing a lot. Writing worked on me the way Dumbledore did while he was in Penseive, so he could experience his memories through other perspectives. He uses it to siphon the excess thoughts from his mind, pour them into the basin, and examine them at leisure. Writing has helped me to untangle my mind, examine what to deliver, communicate the messages verbally and non-verbally, and reflect on how this writing will evoke certain emotions or moods. Writing becomes the mirror that provides insight into who I am, what I desire, what I experience, what I value, and what I am not into. Writing becomes the language that deliberates my inner peace. On another level, writing could answer the quest that dwells in my mind.  I am glad to share what is significant for me right now. Being loved by the right person and people is heaven, and so is being respected, prioritized, supported, desired, and understood. The right person and peop...

The Fall and The Rise, The Sorrow and The Courage

 Dear my love, Kelvin, please accept my deep condolence on the loss of your beloved sister and beloved grandma this year.  We never been taught how to understand the loss of our loved ones: father, sister, and granny. The grief can be particularly intense. It is accepted as natural part of life with shock, confusion, and also sadness. Grieving becomes significant to welcome those feelings and to continue to embrace the time we had with our loved ones.  I genuinely appreciate your personal willingness to share what you feel. Let's go hand in hand with this wide range of emotions. This sad news can be the most uneasy challenge we face. It also can be the remembrance to honor them. I am thinking about you who are experiencing restlessness, tightness in the chest, and breathlessness.  We don't miss our father, our sister, and our granny. It's not a goodbye for they always stay here, with us in our hearts with love and peace. We will continue the bond we had with our love...