Di batas kecipak air dan meja makan yang kosong
Mukamu yang dikenang masalalu
Sepuluh tahun dijerat leher dan urat usus yang buntu dengan ide-ide
Menulis harapan, dan siang tanpa mengenal api
Yang menyuluk dari riak air tenang
Mukamu, di batas perih dan luka bakar tanpa api
Yang lebih dulu habis. Sebab matahari itu dendam
Kepada waktu yang lebih terang.
Tahun menjadi semakin kacau dan tak berangka
Anak-anak sekolah kehilangan makna
Sepatu-sepatu dan dasi merah kehilangan akal dan debu kuning
Yang mengotori ban sepeda, juga gerobak, juga mukamu.
Dan tentang tulisan di wajahmu yang menyisir bulu-bulu kenangan
Di depan cermin, sebelum berangkat sekolah
Harapan menjadi ketiadaan semata.
Harapan menjadi kulit kacang.
Harapan pergi, kemudian hilang begitu belum tutup jendela petang
Dari riak dan teriak air tenang yang jatuh di mukamu
Bersamanya datang itu luka
Datang itu perih
Datang itu segala lara yang kosong yang lalu yang buntu yang tanpa mengenal api
--Sekayu, '10
Mukamu yang dikenang masalalu
Sepuluh tahun dijerat leher dan urat usus yang buntu dengan ide-ide
Menulis harapan, dan siang tanpa mengenal api
Yang menyuluk dari riak air tenang
Mukamu, di batas perih dan luka bakar tanpa api
Yang lebih dulu habis. Sebab matahari itu dendam
Kepada waktu yang lebih terang.
Tahun menjadi semakin kacau dan tak berangka
Anak-anak sekolah kehilangan makna
Sepatu-sepatu dan dasi merah kehilangan akal dan debu kuning
Yang mengotori ban sepeda, juga gerobak, juga mukamu.
Dan tentang tulisan di wajahmu yang menyisir bulu-bulu kenangan
Di depan cermin, sebelum berangkat sekolah
Harapan menjadi ketiadaan semata.
Harapan menjadi kulit kacang.
Harapan pergi, kemudian hilang begitu belum tutup jendela petang
Dari riak dan teriak air tenang yang jatuh di mukamu
Bersamanya datang itu luka
Datang itu perih
Datang itu segala lara yang kosong yang lalu yang buntu yang tanpa mengenal api
Yang tenang yang jatuh di mukamu
--Sekayu, '10
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin