Langsung ke konten utama

Holocaust yang Akut

Cerpen


Holocaust yang Akut


”berita hari ini, sekelompok remaja sekolah menengah atas melancarkan aksi lempar botol di depan kantor bupati sebagai wujud protes akan nilai standar kelulusan yang akan mereka hadapi.” ucap salah seorang reporter di salah satu stasiun televisi swasta.

”huuuaaahhh, tiap hari hanya berita keributan. Di sana perang, di sini perang, di situ ikut-ikutan perang. Aku jadi ngantuk. Yang ada hanya semacam pergulatan yang meneteskan banyak darah. Lama-lama aku makin muak” seorang lelaki menyambar ucapan tiba-tiba.

Kalau dihitung-hitung memang ada benarnya juga, tanpa perang mungkin aku tak akan merdeka. Bahkan merasa was-was. Ya, walaupun sedikit dibuat-buat. Setidaknya aku akan menjadi manusia normal seperti yang lainnya. Untunglah tak banyak yang tahu siapa dalang kerusuhannya. Andai saja aku yang menjadi dalangnya, aku tak perlu repot-repot mesti ikut terjun ke lapangan. Itulah mengapa banyak provokator tertangkap dengan sia-sia. Membusuk di buih penjara.

”Dunia memang kejam, sekejam pembantaian yang terjadi seratus tahun lalu. Ah, Holocaust. Sang Fuhrer memang idolaku. Kharismanya pun mampu memikat hatiku dalam-dalam. Pun terhadap pengaruh dan teori-teorinya yang sedikit membual.”

Apalagi tak sedikit yang menjadi korban keganasannya. Lebih dari dua juta rakyat disiksa di kamp-kamp. Dikuliti, dibakar, bahkan diracuni hingga benar-benar mati. Mungkin kalau aku diberi kesempatan untuk menjadi asisten Sang Fuhrer, aku akan menyarankannya agar tidak langsung membunuh mereka yang membantah. Dengan cara yang sedikit keji tapi mengerikan bagi mereka yang tak terbiasa.

”Holocaust? Mungkin aku bisa menciptakannya sendiri. Dengan fitnah, atau bahkan lontaran kata-kata secara langsung. Toh juga pasti ada kakitangan yang ikut memanaskan. Asal saja dompetku cukup tebal, Holocaust kedua pasti akan dimunculkan.”


*********************************************


”selamat siang pak! Maaf mengganggu, saya mau tanya. Di sini apakah ada siswa yang bernama Mardah? Dia saudara saya. Kebetulan saya ke sini untuk berlibur sekaligus ingin bertemu dengannya. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan padanya.”

Ah, salah! Kok rasanya canggung sih? Kenapa aku jadi sopan begini? Hey, ayolah! Kau itu dirimu, bukan orang lain. Jangan bertele-tele. To the point ya!

“selamat siang pak! Saya mau tanya, Mardahnya ada? Saya mau bicara padanya. Ada yang ingin saya sampaikan.”

Nah ini baru pas. Ya, besok tujuan berikutnya, Mardah. Wahai gadis, tunggulah. Ada banyak kejutan untukmu nantinya. Dan kau pasti tak menduga bahwa akulah yang menaruh darah-darah beku di lemari pendinginmu. Kau akan suka, percayalah!

Bungkusan satu sudah selesai. Bungkusan dua terkemas dengan rapi. Hahaha, kado yang unik untukmu manis. Begitu manis. Aku tak dapat membayangkan bagaimana nantinya ketakutan memenuhi wajahmu yang pucat. Atau bahkan melihat otot-ototmu gemetar tak karuan. Jatuhlah kamu ke dalam kehidupanku. Holocaust akan segera dimulai untuk yang kedua kalinya.

Berkali-kali, berhari-hari bungkusan-bungkusan dikirimkan ke Mardah. Tapi tak satu pun teriakan pecah. Wajahnya yang tenang dan dingin tetap saja selalu ada. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Ataukah ini hanya lelucon yang mesti dibasmi dengan racun tikus. Entahlah, gadis yang aneh. Sekali pun aku menaruh darah di lemari pendinginnya, Mardah tetap tak begidik.

”Mardah, aku semakin penasaran denganmu. Siapa sebenarnya yang telah membekukan hatimu. Jangan katakan kalau darah-darah kirimanku kemarin yang melakukannya. Ini hanya permainan. Dan anak kecil pun pasti menyukainya. Santai Mardah, sebab masih banyak permainan yang akan kutunjukkan padamu untuk dimainkan ke banyak orang.”


*********************************************


Tik tok, tik tok. Bunyi jam dimana-mana tetap sama. Walau pun ada yang sedikit lebih cepat gerakannya. Tapi tujuannya tetap satu menunjukkan waktu.

”ternyata sudah siang. Mau makan tempatnya jauh. Uangku, seribu, dua ribu, sepuluh ribu, lima belas ribu, lima puluh ribu. Lumayanlah, ayam bakar dan es jeruk. Setidaknya setimpal dengan penantian kepadamu, Mardah. Makanya Tuan, kalau mau kerjaku bagus dan rapi, kau harus memberiku imbalan yang banyak. Biar aku tambah semangat. Untung yang satu ini Mardah, kalau tidak aku sudah menolaknya mentah-mentah.”

Mardah dalam ingatanku belum begitu jelas. Cepatlah Mardah, sampailah di sini. Agar aku tidak berlama-lama menunggu. Dari tadi aku hanya menggaruk-garuk kepala. Membunyikan sendok di atas piring makan yang telanjur bersih kujilat.

Mardah, samapi kapan aku menyimpan rasa penasaran yang tak kunjung pecah. Darahku mengalir kencang, gigiku gemeretak satu per satu. Aku hanya menyimpan bingkisan-bingkisan busuk di telapak tanganku. Seseorang telah memberikan isyarat padaku. Tapi tugas tetaplah tugas. Dan kau nanti akan menjadi debu. Mardah!

Lima jam lagi tuan pasti menelponku. Bertanya hini-hitu tentangmu. Perkaranya mudah, asal menjawab ya, semua pasti beres. Tapi bagaimana dengan pembuktian mayatmu Mardah? Haruskan aku ganti dengan tubuh kumal kambing-kambing di desa? Tidak mungkin. Tuaku tidak buta, dan kau tahu hal itu Mardah. Aku dalam kebimbangan. Memilih antara rasa penasaranku padamu dan uang-uang dari tuanku.

Baiklah, pilihan pertama :
Menemuimu dengan bungkusan-bungkusan bodoh ini. Lalu mengajakmu berbicara dengan bahasa asing. Sebab kata tuanku, kau mahir berbahasa asing. Makanya itu hal yang mudah bagiku.
Pilihan kedua :
Aku akan sedikit berbohong tentangmu, lalu membawakan sekantung darah segar. Dan aku akan mengatakan bahwa itu darahmu yang sesungguhnya. Tapi ini terlalu beresiko. Kalau saja penciuman Tuanku setajam anjing-anjing geladak, aku pasti dibunuh. Lalu biaya penanggung hidupku akan ditarik dengan percuma.dan aku tinggal sendiri. Mengurusi penerbangan ruhku ke langit ke tujuh. Ya, mungkin hanya orang-orang berhati manusia yang akan mengantarkan jasadku ke pusara tanpa nama.
Pilihan ketiga :
Hahaha, sungguh menggelikan. Aku harus lari dari kasus ini. Meninggalkanmu Mardah, serta tuanku yang dungu. Lalu mengambil uang-uang jaminan atas hidupku. Tapi, kemana aku mesti berlari? Menyusul orang tuaku yang telah lebih dulu mati? Itu sama saja dengan bunuh diri. Bodoh!

Sudahlah, yang penting aku akan mencobanya dulu. Lagipula, Tuanku tidak setiap waktu mengawasi. Lalu tentangmu Mardah, kau memang misteri. Pun sampai aku mati. Itulah sebabnya aku bertahan pada tugas dari tuanku ini. Dan kau, harus membayar semuanya, Mardah!

*******************************************

”Mardah! Perkenalkan namaku Si Anu. Aku tahu banyak tentangmu. Tentang jejak kaki yang kau tinggalkan di pagar sekolah. Lalu kau mengambilnya lagi untuk dibawa pulang. Katakan padaku, apa yang sebenarnya membuatmu tak pernah takut pada hidup? Atau bahkan padaku yang banyak bicara ini? Bukankah aku ini orang yang baru kau kenal? Tiba-tiba langsung memanggil namamu yang tak lagi asing bagiku, Mardah.”

Bahasa tubuh, bahasa mulut, bahasa asing telah diucapan bergilir. Tapi aku tetap hanyut. Karena diammu melelehkan waktu di sekujur tubuhku. Panas siang ini ikut membakarku dalam tanda tanya besar, siapa dirimu dan kenapa denganmu.

Matahari telah bergeser ke arah yang lebih barat. Tetap saja kau menjadi misteri. Mardah, bicaralah. Mungkin ketika kau mengucapkan kata ”a” aku bisa memahami tugas dari tuanku. Sebenarnya ini sangat meynusahkanku. Hari-hariku bisa saja sia-sia. Kebedohan meliputi seluruh hatiku. Ruang lingkup nafasku buyar seiring dengan tubuhmu yang dengan sempurna menghilang.

Katakan Mardah! Aku makin gila di sudut kota ini. Tinggal menghitung detik tuanku akan menelpon dan lagi-lagi menanyakan kesudahan tentangmu. Darahku bergejolak. Makin lama aku makin limbung. Bahkan mengering sebelum sempat matahari menutup matanya di sisi bulan yang purnama.

Oh tuan, maafkan aku. Sebab di sini ada sedikit maslah. Mardah yang kucari ternyata telah pergi. Ia tidak pamit padaku. Padahal sebelumnya kami telah membuat janji. Maafkan aku tuan. Aku tak kuasa mencegahnya. Ia begitu cepat. Gerakanku disihirnya menjadi lebih lambat. Mataku hitam, mengabur ke dalam bayang-bayang yang menyayat.

Andai saja kau tahu tuan, dari ujung gagang telpon ini aku mendesis. Menelan setiap gelombang yang datang. Kalau-kalau gelombang Mardah ikut terkirim. Dan aku bisa kembali melacaknya. Lalu meneruskan tugasmu tuan.

Satu, dua, tiga. Aku menarik langkah. Dari depan aku memulai dengan angka sepuluh. Dari samping aku memulainya dari angka dua puluh. Dan ini, dimulai dengan angka seratus jika aku memulainya dari arah belakang. Tak pernah aku merasakan guncangan sehebat ini sebelumnya.

Luar biasa, Mardah. Aku takjub, aku terkesima. Misteri yang ada padamu membuatku hampir menggagalkan tugas ini. Padahal ini menyangkut hajat hidup matiku. Mungkin juga masa depan dan masa laluku. Tapi aku tak perduli. Tuanku pasti mengerti.

”ya Tuan. Ini saya. Untuk yang kedua kalinya maafkan aku tuan. Aku memang bodoh kali ini. Tapi untuk alasan yang tepat. Bukan karena main-main. Suatu saat aku akan menceritakan semuanya pada tuan. Untuk saat ini, aku hanya ingin sendiri. Selamat tinggal tuan. Aku akan berjalan lurus ke depan. Sekadar menemui Mardah. Mengajaknya bercengkrama. Minum segelas teh panas di warung sederhana. Sekali lagi maafkan saya tuan.”

********************************************

Menyusuri tanah-tanah lembab oleh ingatan tentangmu Mardah, tak menyurutkan langkahku. Hari-hariku terasa begitu bersemangat. Waktu memacu dengan cepat. Nafasku berkejar-kejaran saling memburu.

Aku gemetar. Ya inilah Mardah baumu yang khas. Bau gadis yang merekah. Bermekaran di rongga hidungku.

”Mardah! Itukah kau? Dimana? Katakan padaku. Jangan lama-lama. Di sini gelap. Gelap hampir membunuhku. Tapi baumu, telah menuntunku untuk tetap hidup. Menarik nafas dalam-dalam. Mardah, bicaralah! Aku sendiri. Tidak membawa apa-apa. Tak ada lagi bungkusan darah di tanganku. Ini hanya membuatku bodoh berkepanjangan. Mardah, perlihatkan dirimu padaku. Kau sungguh misterius. Tapi saat ini, jangan permainkan aku yang sedang kalut. Tolonglah!”

Tik tok, tik tok. Tak ada yang menjawab. Udara semakin sepi. Waktu semakin larut. Bayangan telah menyempit. Kata-kata semakin menyudut. Di dinding berlumut aku memukul-mukul diri. Membanting ingatan yang semakin menjadi-jadi. Semakin putus asa.

”Mardah jangan salahkan dirku jika tanpa sengaja menarik lecutan senjata yang ada di saku celanaku. Mardah! Akan kuulangi sekali lagi, jawablah pertanyaaku. Dimana dan tunjukkan sebenarnya dirimu. Buang saja semua hal tentangmu yang masih misteri!”

Masih tak ada jawaban. Udara kembali hening. Dingin yang melembabkan keringat ternyata membuat pencarianku sia-sia.

”bila ini memang maumu, baiklah jangan sekali-kali kau menyalahkanku. Tembakan pertama kupastikan mengenai kakimu. Tembakan kedua akan sampai di perutmu. Tembakan ketiga ada di atas kepalamu. Satu, dua, tiga. Argh, Mardah! Kau membuatku membabi buta. Empat, lima...”

Tembakan kelima mengenai salah satu lampu di sudut ruangan yang menjadikannya terang tiba-tiba.

”Mardah? Mardah? Mardah? Kau? Tidak, ini tidak mungkin. Kau, kau tidak mungkin Mardah yang kumaksud. Sebab penembak jitu sepertiku tidak akan pernah salah dengan semua yang ditujunya. Termasuk kepadamu. Mardah! Bicaralah. Katakan padaku bahwa semuanya tidak benar. Tidak mungkin selama ini aku mencari bayangan. Tidak mungkin. Sebab mataku merasakan kehadiranmu dan hidungku masih tajam mengenali baumu. Kenapa dengan bayangan ini? Kenapa ada darah? Kenapa ada suara tembakan. Semua tidak mengarah padamu. Tetapi mengarah padaku. Kaki, perut, dan kepala. Tembakan pertama, kedua, ketiga, lalu keempat, dan kelima mengarah padaku.”

Teriakan tiba-tiba pecah. Menggetarkan seluruh isi ruangan. Debu-debu berhamburan. Semua lumut satu-per satu meengelupas. Dinding-dinding roboh.

”mataku nanar. Darah mengucur deras. Dari keringatku yang asin dan merah. Kaki, perut, dan kepalaku terluka. Mardah katakan, sebenarnya apa ini? Ini pasti hanya sebuah kekonyolan. Kau pasti benar-benar ada Mardah. Tapi kenapa diriku yang dijadikan sarang peluru yang membabi buta.”

Diam sejenak menahan air mata. ”Tuan? Ya! Tuan?” Lalu tersenyum sendiri, ”tuan tidak mungkin menipuku. Kalau pun ini terjadi, dari awal aku sudah bisa membacanya. Tapi ada apa denganku kali ini? Tuan, bukankah sudah jelas siapa-siapa yang kaumaksudkan dri tugasmu kali ini? Dan aku tidak mungkin, tidak mungkin. Tidak mungkin aku yang kau maksudkan dengan Mardah. Kau pasti bercanda tuan. Ini pasti sebuah kesalahan. Ssst, diam. Aku tak perlu lagi bicara. Mulut dan gerakanku terasa kaku.”

Perlahan, perlahan semakin banyak nampak bayangan bermunculan. Tuan, Mardah telah menipu. ”Tapi kenapa mesti diriku yang melakukan? Inikah yang dinamakan kejahatan . kejahatan memang kejam. Aku korbannya yang sangat menderita! Holocaust, hentikan! Ini hanya permainan bukan?”

Setelah itu tubuhku terjatuh mengenai lantai. Masa lalu, masa kini, masa depan telah pecah. Mengeras dan terbakar menjadi abu. Setelah angin, kembali menjadi debu.



sekayu, 02 mei 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya, Aku Pulang

Kepada K. Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan. Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat ...

Writing As A Love Language

:Vin Elk, Ars Magna, & Lady Loved* Lately, I have enjoyed writing a lot. Writing worked on me the way Dumbledore did while he was in Penseive, so he could experience his memories through other perspectives. He uses it to siphon the excess thoughts from his mind, pour them into the basin, and examine them at leisure. Writing has helped me to untangle my mind, examine what to deliver, communicate the messages verbally and non-verbally, and reflect on how this writing will evoke certain emotions or moods. Writing becomes the mirror that provides insight into who I am, what I desire, what I experience, what I value, and what I am not into. Writing becomes the language that deliberates my inner peace. On another level, writing could answer the quest that dwells in my mind.  I am glad to share what is significant for me right now. Being loved by the right person and people is heaven, and so is being respected, prioritized, supported, desired, and understood. The right person and peop...

The Fall and The Rise, The Sorrow and The Courage

 Dear my love, Kelvin, please accept my deep condolence on the loss of your beloved sister and beloved grandma this year.  We never been taught how to understand the loss of our loved ones: father, sister, and granny. The grief can be particularly intense. It is accepted as natural part of life with shock, confusion, and also sadness. Grieving becomes significant to welcome those feelings and to continue to embrace the time we had with our loved ones.  I genuinely appreciate your personal willingness to share what you feel. Let's go hand in hand with this wide range of emotions. This sad news can be the most uneasy challenge we face. It also can be the remembrance to honor them. I am thinking about you who are experiencing restlessness, tightness in the chest, and breathlessness.  We don't miss our father, our sister, and our granny. It's not a goodbye for they always stay here, with us in our hearts with love and peace. We will continue the bond we had with our love...