Langsung ke konten utama

Aku Menantikannya, Ma!

“semoga aku tak melupakan suatu pagi ketika mama membuka dapur
mencari air di cangkir-cangkir kopi yang kotor.” lalu di meja makan
kakinya yang menyentuh sebuah catatan-catatan tagihan nasi dan ikan-ikan di swalayan

begitulan kenangan-kenangan minggu kemarin
aku masih menyimpannya di lemari berkala yang memantulkan raut mukanya
raut muka yang senantiasa pucat saat menjelang pagi
sebab catatan-catatan tagihan di dapur
selalu berjatuhan di telapak kakinya
mungkin sudah begitu lama
mama menyimpan angka-angka yang menumpuk
mungkin dalam pikirannya yang nanti akan meledak
satu per satu memori wajah dan bonekaku telah mulai terhapus
atau bahkan habis dengan percuma

”Ma, aku mencium pagi yang cemas lagi di sini
bibirku selalu bergetar ketika menahan deras air-air
yang bersumber dari segala tangis. Kacamataku dipenuhi
percikan-percikannya. Meja belajarku basah
sama seperti keringat yang memandikan dingin tubuh mama”

dapat kuperas cermin kenangan itu
lalu menjatuhkannya di antara rerumputan hijau yang
baru tumbuh: setelah semalam berhasil bertarung melawan
pekikan bulan. Di antara jemuran catatan-catatan tagihan
yang ikut hanyut, tintanya seketika luntur
mereka mungkin mengenal wajahku
:anak yang bertanya-tanya akan gelisah yang
diperam lama mamanya

semua masih sama
di kiri kacaku, masih ada jendela
yang memancing tubuh belakangmu, Ma
memalingkan muka dari kecemasan yang nantinya tak akan sia-sia

kepadaku yang mengingat sekaligus merindui pagi-pagi mama yang dulu
semoga dapat ku dengar untuk sekian kali
suara pertama dari mulut mama yang mengucapkan selamat pagi
bukan suara derit cangkir dan meja makan
atau pun catatan-catatan tagihan

aku menantikannya, Ma!



sekayu, 28 april '10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...