“semoga aku tak melupakan suatu pagi ketika mama membuka dapur
mencari air di cangkir-cangkir kopi yang kotor.” lalu di meja makan
kakinya yang menyentuh sebuah catatan-catatan tagihan nasi dan ikan-ikan di swalayan
begitulan kenangan-kenangan minggu kemarin
aku masih menyimpannya di lemari berkala yang memantulkan raut mukanya
raut muka yang senantiasa pucat saat menjelang pagi
sebab catatan-catatan tagihan di dapur
selalu berjatuhan di telapak kakinya
mungkin sudah begitu lama
mama menyimpan angka-angka yang menumpuk
mungkin dalam pikirannya yang nanti akan meledak
satu per satu memori wajah dan bonekaku telah mulai terhapus
atau bahkan habis dengan percuma
”Ma, aku mencium pagi yang cemas lagi di sini
bibirku selalu bergetar ketika menahan deras air-air
yang bersumber dari segala tangis. Kacamataku dipenuhi
percikan-percikannya. Meja belajarku basah
sama seperti keringat yang memandikan dingin tubuh mama”
dapat kuperas cermin kenangan itu
lalu menjatuhkannya di antara rerumputan hijau yang
baru tumbuh: setelah semalam berhasil bertarung melawan
pekikan bulan. Di antara jemuran catatan-catatan tagihan
yang ikut hanyut, tintanya seketika luntur
mereka mungkin mengenal wajahku
:anak yang bertanya-tanya akan gelisah yang
diperam lama mamanya
semua masih sama
di kiri kacaku, masih ada jendela
yang memancing tubuh belakangmu, Ma
memalingkan muka dari kecemasan yang nantinya tak akan sia-sia
kepadaku yang mengingat sekaligus merindui pagi-pagi mama yang dulu
semoga dapat ku dengar untuk sekian kali
suara pertama dari mulut mama yang mengucapkan selamat pagi
bukan suara derit cangkir dan meja makan
atau pun catatan-catatan tagihan
aku menantikannya, Ma!
mencari air di cangkir-cangkir kopi yang kotor.” lalu di meja makan
kakinya yang menyentuh sebuah catatan-catatan tagihan nasi dan ikan-ikan di swalayan
begitulan kenangan-kenangan minggu kemarin
aku masih menyimpannya di lemari berkala yang memantulkan raut mukanya
raut muka yang senantiasa pucat saat menjelang pagi
sebab catatan-catatan tagihan di dapur
selalu berjatuhan di telapak kakinya
mungkin sudah begitu lama
mama menyimpan angka-angka yang menumpuk
mungkin dalam pikirannya yang nanti akan meledak
satu per satu memori wajah dan bonekaku telah mulai terhapus
atau bahkan habis dengan percuma
”Ma, aku mencium pagi yang cemas lagi di sini
bibirku selalu bergetar ketika menahan deras air-air
yang bersumber dari segala tangis. Kacamataku dipenuhi
percikan-percikannya. Meja belajarku basah
sama seperti keringat yang memandikan dingin tubuh mama”
dapat kuperas cermin kenangan itu
lalu menjatuhkannya di antara rerumputan hijau yang
baru tumbuh: setelah semalam berhasil bertarung melawan
pekikan bulan. Di antara jemuran catatan-catatan tagihan
yang ikut hanyut, tintanya seketika luntur
mereka mungkin mengenal wajahku
:anak yang bertanya-tanya akan gelisah yang
diperam lama mamanya
semua masih sama
di kiri kacaku, masih ada jendela
yang memancing tubuh belakangmu, Ma
memalingkan muka dari kecemasan yang nantinya tak akan sia-sia
kepadaku yang mengingat sekaligus merindui pagi-pagi mama yang dulu
semoga dapat ku dengar untuk sekian kali
suara pertama dari mulut mama yang mengucapkan selamat pagi
bukan suara derit cangkir dan meja makan
atau pun catatan-catatan tagihan
aku menantikannya, Ma!
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin