Langsung ke konten utama

Tangan Kanan

Belakangan saya mulai muak dengan rutinitas itu-itu saja setiap hari. Katakanlah bangun pagi sebelum pukul enam, lalu dual atau tiga menit selanjutnya saya gunakan untuk mengumpulkan nyawa, barangkali berserakan di pojok kamar, di balik almari, di bawah roda koper, di sela lubang earphone, atau bahkan di samping saya sendiri, dengan diam-diam is meninabobokkan hingga membuat saya lantas begitu enggan bangkit bersiap-siap kerja sampai semalam suntuk. Duh Gusti, beberapa tahun lalu bukankah ini kesibukan yang saya idamkan, pulang ke kamar hanya untuk membersihkan tubuh dan lanjut tidur selama kurang lebih enam atau tujuh jam setiap malam.

Mungkin saya sedang resah memikirkan tugas di sekolah tanpa henti. Jujur saja kepala pun terasa berat. Lantas kemana saya harus pergi? Apakah ada baiknya saya juga merencanakan perjalanan dimulai dari tempat-tempat terdekat? Tentu bukan ke pusat perbelanjaan, melainkan ke pameran di museum, perpustakaan, festival film Eropa, pertunjukkan teater, ke taman tulip dan edelweiss, kursus memasak, belajar bahasa asing di pusat studi, mengikuti summer course, mencicipi makanan dan minuman enak di tempat yang tidak banyak orang tahu, menikmati kuatnya rasa keju dan wine, meracik parfum atau juga jamu, mendengarkan lagu lawas lewat piringan hitam, berburu buku jadul di toko buku bekas, atau sekadar bepergian sambil membaca buku dan artikel ringan di dalam MRT.

Beberapa mengatakan usia dan realitas berlaku kejam pada mimpi kita. Terkadang kita lupa selain bekerja, kita juga punya kewajiban untuk merawat diri baik secara mental, jasmani, dan rohani. Atau logikanya saya ubah, justru dengan bekerja, hal-hal yang selama ini jadi mimpi dapat tercapai satu-persatu. Ah kalaupun benar, apalah arti kesabaran dan semangat tiada henti?

Sayang, boleh pinjam sebentar tangan kananmu?

Ah, saya sedang patah hati. Itu saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

2020 to 2024

The main themes for each year 2020 - pandemic, letting go, surrender, anxiety, invention, depression, betrayal, Italian food 2021 - teamwork, hope, vaccine, Italian food, people pleaser, hardworking, disappointment, letting go what doesn't serve me anymore, depressed, hard conversation, split, move on 2022 - healing, making plans, appointments with psychologists, false hope, broken heart, move on, blaming myself and others, seeking validation, betrayal, self love, meeting new people, photography, 2023 - fitness, new routine, falling in love, Montessori, self love, family, guilt, African food indecisiveness, failing to set boundaries, scared of failure, anger, manipulation, split, psychologist, hope, independence, redefining who I am, falling in love again, forgiveness, trust, adjustment to LDR, free from alcohol, cooking 2024 - family, gain my strength, self love, positivity, silence is gold, focus on becoming a better version of myself, gratitude, stress, peace, fitness, disciplin...

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...