Beberapa menit lalu, saya memutuskan untuk berhenti sejenak melakukan apa-apa. Sambil duduk di kursi penumpang, perlahan saya pejamkan mata. Kemudian diikuti dengan menarik napas secara teratur dan perlahan. Terkadang pikiran saya kalut tak karuan. Hanya saja akan menjadi lebih terkontrol saat sedang berada di tempat ramai.
Membaca gambar yang dipublikasi oleh fotografer perang jelas membuat saya bergidik sambil sesekali mengalihkan perhatian karena tidak sanggup melihat efek yang di terima oleh orang-orang yang bermukim di sekitar itu. Yang terkena dampak pun bermacam-macam, mulai dari janin dalam kandungan hingga yang secara fisik terlihat sama seperti kakek nenek kita.
Ketika bom dijatuhkan dan senjata api diterjangkan, saya melihat beberapa yang masih hidup meski harus merelakan tubuhnya tidak utuh, meratapi kepergian orang-orang tercinta. Tangisan mereka menjadi indikasi ketidakberdayaan dan kekecewaan atas konflik politik di tanah mereka. Tidak sampai di situ, mata saya selanjutnya tertuju pada mereka yang akhirnya terpaksa meregang nyawa. Tapi ada satu hal yang menarik, mereka terlihat pasrah dan damai, sekolah mengamini kematian menjadi pintu kebebasan penderitaan duniawi.
Secara tidak sadar, ada beberapa hal yang terproyeksi dari dalam diri. Sayangnya saya sempat menerjemahkan kematian sebagai pintu kebebasan secara literal. Itulah pikiran, sekalipun dimiliki oleh diri sendiri, tetap saja tidak dapat dikontrol.
Lalu seperti apakah saya harus menerjemahkan kematian itu? Saya meyakini satu hal, kematian dapat menjadi pembebas dalam artian kematian ego. Kesadaran ini niscaya membawa kita pada tingkat terlepas dari keterikatan dan penghindaran. Dalam perang, menang dan kalah menjadi abu dan arang. Dengan kematian ego, saya meyakini kita akan menjadi pribadi yang menyeluruh, yang terlepas dari keinginan untuk menang dan kalah secara bersamaan.
Membaca gambar yang dipublikasi oleh fotografer perang jelas membuat saya bergidik sambil sesekali mengalihkan perhatian karena tidak sanggup melihat efek yang di terima oleh orang-orang yang bermukim di sekitar itu. Yang terkena dampak pun bermacam-macam, mulai dari janin dalam kandungan hingga yang secara fisik terlihat sama seperti kakek nenek kita.
Ketika bom dijatuhkan dan senjata api diterjangkan, saya melihat beberapa yang masih hidup meski harus merelakan tubuhnya tidak utuh, meratapi kepergian orang-orang tercinta. Tangisan mereka menjadi indikasi ketidakberdayaan dan kekecewaan atas konflik politik di tanah mereka. Tidak sampai di situ, mata saya selanjutnya tertuju pada mereka yang akhirnya terpaksa meregang nyawa. Tapi ada satu hal yang menarik, mereka terlihat pasrah dan damai, sekolah mengamini kematian menjadi pintu kebebasan penderitaan duniawi.
Secara tidak sadar, ada beberapa hal yang terproyeksi dari dalam diri. Sayangnya saya sempat menerjemahkan kematian sebagai pintu kebebasan secara literal. Itulah pikiran, sekalipun dimiliki oleh diri sendiri, tetap saja tidak dapat dikontrol.
Lalu seperti apakah saya harus menerjemahkan kematian itu? Saya meyakini satu hal, kematian dapat menjadi pembebas dalam artian kematian ego. Kesadaran ini niscaya membawa kita pada tingkat terlepas dari keterikatan dan penghindaran. Dalam perang, menang dan kalah menjadi abu dan arang. Dengan kematian ego, saya meyakini kita akan menjadi pribadi yang menyeluruh, yang terlepas dari keinginan untuk menang dan kalah secara bersamaan.
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin