Langsung ke konten utama

Mencintai Wanita yang Lenyap Begitu Saja


: Wa Ode Wulan Ratna

dear wanita dengan separuh luka yang mengering di bahunya


aku adalah seorang wanita lain yang mengerjakan hal yang sama denganmu malam-malam. setiap orang-orang tengah tidur bersama bapak ibu dan perempuan simpanan lain, aku pergi. keluar dari apartemen menuju gang-gang yang dilupakan siangnya. menuju sebuah jalan sehabis hujan. lantas aku membawa payung. aku membayangkan hujan saat itu juga akan turun namun sia-sia.

lalu di sebuah tikungan yang kadang menyala lampunya, aku berhenti. membersihkan sepatu dari luka-luka tajam yang mengelupasi alasnya. sampai di sini aku mesti berjalan kaki. aku sangat suka menyanyikan sebuah lagu kebangsaan bekas perang zaman dulu. mengerikan. tapi aku membayangkan ada selongsong peluru memacu jantungku hingga pecah, lalu akan datang wanita lain memberikan persedian jantung lainnya, hingga aku hidup dan bergairah. berulangkali aku mesti berjalan dan mengerjakan hal-hal seperti biasa.



dear antoni


sayang, aku harus pergi pagi-pagi sekali. ada seorang wanita kaya mengajakku minum secangkir kopi di sebuah kamarnya yang masih beraroma parfum cokelat milik mantannya. ia hanya mengatakan mantannya saja. aku paham itu sangat rahasia. barangkali jika aku menolak ajakan semacam itu, aku mungkin tidak akan tinggal lebih lama.

menelusuri tiap biang kerinduan semalam suntuk, membuat darahku menjadi daging dan mengeras. lalu sebagian tulang pelipismu, adalah tumpukan doa-doaku yang tidak pernah turun dalam tengadah. lantas pasti ada cara lain untuk menurunkannya lewat tengadah lain. meski agak memaksa.



dear lili


sayonara. sayang, kamu mesti pergi duluan. aku tidak enak badan. belakangan cuaca menganggapku musuh yang mesti dilumpuhkan. tiap kali haus dan keluar kamar, sekawanan cahaya menusukku dengan cara yang tidak biasa. aku dipaksa menyerah. aku dituduh bersetia dengan matahari lain tanpa sepengetahuan.

menurut berita dua hari yang lalu, telah ditemukan sepasang matahari sedang tamasya di jagad raya. mereka bewarna cerah. begitu katanya. sebelum sampai mereka berpisah jauh mengelilingi jagad raya yang lain, matahari yang satu datang padaku. lewat cahaya kamar yang padam, ia menyentuh keningku. lantas aku menjadi demam dan menggigil selepas ia menarik cahayanya yang cerah.



kavka


aku ingin masuk namun kamu membuang kunci pintunya. kamu sedang marah. kamu memukulku dengan sepasang piring yang hampir belah. dulu sekali, ketika kita masih remaja, kita pernah bersepakat akan selalu baik dan saling menjaga. aku bilang itu bohong.

sebab firasatku yang lemah, aku menjadi tipuan pertamamu yang berhasil. perjajian ini menyekapku menjadi wanita lain. melalaikan segala macam kewajiban. aku melupakan bahwa pernah ada sepasang tangan yang diciptakan untuk mengadu dan bersusah payah. tangan itu punyamu dan punyaku. sayang, kamu pun ingkar. tuhan kesepian. tuhan melihatmu sedang menawan. ini wanita, tuhan bertanya, sampai kapan aku mesti turun tangan.



anji


teruskan sayang. aku masih merindukanmu dengan tik tok jam tanpa lelah. jarak yang jauh telah membuat kita melupakan segalanya yang masig gelap. kita menyebutnya mereka yang tidak bernama. jalan-jalan menuju kepulangan berikutnya hanya nasib.

di sebuah tempat dimana kita menjadi saling rindu, dulu pernah tinggal setangkai bunga harum yang tumbuh di antara taman. tidak ada pengunjung. hanya hujan yang sesekali melenyapkan kabut pertanda pagi.

ia tumbuh layaknya yang tumbuh. menjadi sebentuk apa pun dengan bentuk yang lain. aku mengira bahwa bunga dan candu masih sama. di sebuah foto yang tergeletak di sisi tembok yang lupa dicat, wajahnya memantulkan sebuah ikatan. batin kami beradu. kami berjumpa. namun hanya sekali dan itu saja.



dear wanita dengan separuh luka yang mengering di bahunya


aku masih berjalan. orang-orang tidak memerhatikanku. aku bebas memilih jalan mana yang mesti disinggahi. sepasang kaki yang telanjang sedang mengingat mana saja yang pernah melumat dan dilumat.

aku mestinya sudah sampai. aku ini beruntung. malam tanpa kerinduan lewat begitu saja. Sebagai rasa sayang, aku menyebutnya sebuah kesepian. panorama-panorama yang membikin kita panik. membikin hari-hari panjang.

malam memang sebentar. mungkin aku kehilangan sinyalmu yang kacau. aku menemukan sepasang cahaya yang memerah dari sepasang jendela dengan sebuah gaun yang bergelantungan. aku tidak takut. sebuah keyakinan masih saja tumbuh. aku mengira itu bukan siapa-siapa sebab tidak ada rupa dengan bentuk tubuh yang pucat sepeti punyamu

semacam perasaan yang baru, sepakat saja, baik kamu, aku, mau pun kita kelak menyebutnya melankolia.

aku tidak menemukanmu juga. aku mengira perjalanan masih satu langkah namun salah. hujan lalu turun tapi aku masih tetap salah. aku menjadi sakit. demikian sakitnya membuatku melupakan jalan-jalan yang baru saja disinggahi. lalu kamu diam-diam datang. memelukku dengan sepasang tangan yang ditempa untuk kerinduan dari alam yang berbeda. kamu tidak menjadi sehangat dulu. aku tidak ingin menyadari kamu yang tidak setia memilih wanita lain yang membuatmu meninggalkan kita.

“aku dicintai oleh perasaan yang tidak akan membuatku sakit. tidak membuat demam dan menggigil. menanggalkan segala hal mengenai luka yang sempat membuat kita bertemu. namun tidak dalam bentuk yang sedang berkekasih. kita menjauh. aku terlambat menyampaikannya pada kita yang masih hidup saat itu. sayang, mencintai tidak akan membuatmu bertahan lebih lama untuk mencapai sebuah kerinduan.
jangan lupa. aku tidak ingin menunggumu di sana. mengolah waktu yang sebenarnya akan habis, membuatku tiada.”


-2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

2020 to 2024

The main themes for each year 2020 - pandemic, letting go, surrender, anxiety, invention, depression, betrayal, Italian food 2021 - teamwork, hope, vaccine, Italian food, people pleaser, hardworking, disappointment, letting go what doesn't serve me anymore, depressed, hard conversation, split, move on 2022 - healing, making plans, appointments with psychologists, false hope, broken heart, move on, blaming myself and others, seeking validation, betrayal, self love, meeting new people, photography, 2023 - fitness, new routine, falling in love, Montessori, self love, family, guilt, African food indecisiveness, failing to set boundaries, scared of failure, anger, manipulation, split, psychologist, hope, independence, redefining who I am, falling in love again, forgiveness, trust, adjustment to LDR, free from alcohol, cooking 2024 - family, gain my strength, self love, positivity, silence is gold, focus on becoming a better version of myself, gratitude, stress, peace, fitness, disciplin...

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...