Langsung ke konten utama

Postingan

Day 9 of Work From Home

We and all these things are here for a reason to become, wether by design or by default, by errata or afterthought. We trust our timing, when the time is right, it will come. Hari ini, saya masih mengeluhkan tagar DiRumahAja. Seperti biasa, dalam hati ingin sekali teriak kapan situasi semacam ini berakhir. Selain keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar semakin membesar, saya juga menginginkan untuk kembali aktif di sekolah bersama anak-anak. Saya masih ingat detik-detik menuju Outside Time, ketika kami berjalan menaiki anak tanggal satu-persatu, nenuju outdoor playground. Kami dimandikan dengan hangatnya cahaya matahari. Setelah berkeringat, angin sesekali lewat, membelai kulit, dan mrndinginkan sisa keringat. Situasi work from home tidak begitu menguntungkan bagi saya, terutama karena saya menyukai aktivitas yang menggerakkan seluruh anggota tubuh, bukan duduk-duduk di depan monitor dari pagi hingga petang. Pertemuan dengan anak-anak melalui screen time hari ini b...

Day 8 of Work From Home

Hari Senin, seperti biasa saya bangun lebih pagi ketimbang hari-hari bekerja normal sebelumnya. Usai minum segelas air putih dan naik turun tangga sebanyak delapan kali, saya duduk-duduk di teras paling atas. Di bawah nampak lebih ramai dari pada kemarin. Finally, Monday feels much better than Sunday. Sayangnya langit kelihatan mendung. Mungkin saja satu atau dua jam lagi akan turun hujan. Kira-kira lima belas menit berjemur, saya kembali ke kamar. Agenda pertama hari ini merapikan tumpukan buku yang mulai berserakan. Barangkali saya membutuhkan satu atau dua rak yang baru. Tugas pertama mesti dikerjakan kurang lebih satu jam, mengingat sebentar lagi saya akan bekerja (dari kamar). Debunya tidak terlalu tebal, sebab tiga minggu yang lalu saya sempat melakukan deep cleaning. Ah, bukan saya. Untungnya ada jasa deep cleaning. Tinggal tunggu tiga puluh menit, kamar bersih dan rapih lagi. Beberapa menit sebelum pukul sembilan, saya buru-buru membuka laptop dan lain sebagainya. Saat di...

Day 7 of Work From Home

Saya memang tidak mempunyai privilese untuk tinggal di rumah (orang tua) saat situasi pandemi seperti sekarang. Meskipun belum bisa pulang, setidaknya kamar yang saya tempati cukup aman untuk membuat saya merasa tenang dari hingar-bingar pemberitaan ganasnya Covid19. Hal ini tidak saja menyadarkan saya bahwa badai pasti berlalu, tetapi juga memperingatkan saya untuk lebih siap menghadapi saat-saat tersulit nanti sampai pada akhirnya matahari pagi menerobos melewati lubang jendela. Di hari ke tujuh menjalani isolasi diri, jujur saya menemui banyak ketakutan. Saya menemui berbagai bentuk kesepian, karena merasa terkurung oleh tembok dari dunia luar yang nyata. Hari ini saya bangun lebih pagi. Tapi tidak banyak yang saya kerjakan setelahnya. Beberapa jam terpaku di atas tempat tidur, sambil sesekali mengintip keluar. Jalanan lebih sepi dari biasanya.  Tidak banyak lalu lalang. Hanya segelintir orang yang berjalan mondar-mandir sambil mengenakan masker menutupi sebagian wajah merek...

K I T A Berdua Saja

Apa rencanamu saat malam minggu? Bila pertanyaan ini diutarakan pada Ombucin, tentu akan dijawab dengan banyolan, "Hidup itu ga perlu rencana. Besok ya besok, hari ini ya hari ini." Sambil terkekeh geli, sesekali Ombucin menggodai saya, mungkin karena saya terkadang bersikap agak rumit, kadang-kadang tegang. Kalau sudah seperti ini Ombucin akan lebih sigap membantu menenangkan. Saya akui terkadang mendapati kesulitan dalam mengontrol diri, mengendalikan ketakutan, dan apapun yang berkenaan dengan suasana hati.  Tapi semalam, di malam minggu, saya dan Ombucin, berdua saja. Meskipun berdiam diri, ritual berbagi pasti tiada henti. Menyenangkan sekali, tapi bukan berarti saat sendiri tidak menyenangkan. Tidak juga.  Ketika sedang sendiri, saya cenderung disibukkan dengan paperwork tiada henti, tanpa mengenal jam istirahat.  Makanya jika ada waktu kurang lebih lima menit hingga tiga puluh menit, saya maksimalkan untuk memeluk diri, mengapresiasi diri telah bekerja keras...

S T A L K I N G

Stalking disadari atau tidak menjadi bagian dari kegiatan atau selingan ketika bersosial media. Anggap saja ini konsekuensi dari yang mestinya sudah dipahami saat kita mengiyakan untuk bersedia terekspos atau mengekspos diri meskipun tujuan awalnya hanya ingin berbagi. Ya tentu saja membagi sebagian hidupmu untuk dinikmati oleh orang terdekat maupun orang asing. Hal ini juga sejalan dengan menyadari bahwa stalking (yang dilakukan orang lain) di luar kontrol kita secara pribadi. Kita cukup paham bahwasanya yang dibagikan di sosial media pun tidak sebenar-benarnya diri kita. We put a spell on it, sehingga yang terlihat, katakanlah sisi baiknya saja. Jika tidak ingin di-stalking, well, sebaiknya puasa atau bahkan berhenti menjadi pengguna dari salah satu sosial media. Di era ini, kebutuhan primer kita adalah sekuritas. Jangankan sosial media, dengan mempunyai perangkat berkamera saja artinya gerak gerik kita terpantau. Lebih dari itu, toh sebenarnya kita pun menikmati stalking, karena ise...

Literasi, Dimulai Sejak Kapan?

Literasi, dimulai sejak kapan ya? Ini pertanyaan menarik bukan, mengingat banyak sekali ahli yang mengemukakan simpulan analisis yang juga berbeda. Ada yang mengatakan literasi dimulai sejak seorang anak melihat huruf dan dan angka. Ada juga yang mengatakan bahwa literasi dimulai sejak anak menyentuh tiga dimensi huruf dan angka. Kita diingatkan kembali bahwasanya ada elemen yang lebih kecil dari huruf dan angka. Apa itu? Bunyi. Bunyi ini tidak hanya berupa vokal dan konsonan, tapi juga suara yang dihasilkan dari objek-objek yang kita dengar. Saat bayi, indera yang pertama kali bekerja adalah pendengaran. Berdasarkan hal inilah, lalu disimpulkan literasi dimulai saat kita mendengarkan bunyi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa seorang bayi yang baru dilahirkan akan mampu mengenali dari mana datangnya suara ayah atau ibu mereka. ... Bagaimana dengan menulis? Bagaimana dengan bicara? Bagaimana dengan memahami bahasa? Kita 'share' lagi nanti ya... Tabik

'Privilege' yang Tak Disadari

Setelah membaca sekilas mengenai garis besar seperti apa jellyfish parenting, dolphin parenting, tiger parenting, bahkan hellicopter parenting, benang merahnya adalah apakah kita cukup aman dan nyaman dengan bentuk kasih sayang tiada duanya dari kedua orang tua kita? Pertanyaan ini kemudian membawa kembali memori masa kecil. Untuk mendapatkan kasih sayang dari Ibu terutama, saya harus bekerja keras terlebih dahulu. Segala tindak tanduk saya diukur melalui skala keberhasilan, semakin tinggi nilainya, semakin sayang Ibu pada saya. Sebaliknya, semakin kecil angkanya, well jangan berharap banyak. Akhirnya ini mempengaruhi sikap yang mesti saya putuskan jika dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan ini harus membuat orang tua tetap sayang pada saya. Memang terdengar picik dan sangat menghakimi, seolah yang diupayakan orang tua adalah semata hal buruk. Tentu tidak. Justru dengan begitu saya belajar untuk lebih tegas dalam beberapa situasi. Jika tidak suka, katakan tidak. Jika suka, katakan suk...