Langsung ke konten utama

Hidup untuk Hidup, Berkarya untuk Berkarya

Barangkali kita berkarya: menulis, menggambar, memotret, bekerja, memasak, menjahit, bermain musik, untuk menyenangkan orang lain, dan lupa sebetulnya kita berkarya untuk diri sendiri, kelegaan sendiri, untuk dinikmati sendiri, sebab kita menikmati berkarya. Akan ada waktunya karya-karya itu juga ikut dinikmati oleh orang lain, dan apresiasinya bermacam-macam. Saat kuliah, saya mengikuti pameran foto di kampus bersama teman-teman kelas fotografi. Ketika dipajang, banyak sekali bentuk apresiasi yang saya temui, salah satunya dengan mencorat-coret hasil foto saya. Bohong kalau saya tidak marah. Dalam hati sepanjang hari, saya mengumpat, uring-uringan tidak karuan, bahkan ketika di kelas, saya menjadi tidak fokus belajar. Ingin sekali teriak, "Taik, asu, fuck, merde, kampang!" pada yang merusak karya saya. Saya putuskan untuk mengadu pada senior-senior, setidaknya untuk dibela bahwa karya saya sudah dirusak. Salah seorang senior saya merespon, "Begitulah hasil jepretanmu diapresiasi. Kamu ga bisa mengharapkan bentuk apresiasi setiap orang sama." Very well!


...


Saya mengagumi tulisan-tulisan yang banyak membahas refleksi diri, yang membantu saya berpikir, yang membuat saya memaknai kehidupan setiap hari. Termasuk tulisanmu. Kamu tidak perlu khawatir bila saya sering berkunjung ke laman blog-mu, sebab saya membaca, membandingkan beberapa point yang kamu tulis dengan nilai-nilai yang ada dalam kepala saya, bila saya belum yakin, saya coba untuk membaca lebih banyak sumber lain. Tentu kita tidak akan selamanya sepaham. Tentu saja akan ada perbedaan pandangan, dan itu manusiawi. 


Kamu tidak perlu takut pada pandangan orang lain yang berseberangan dengan pemikiranmu. Fokuslah menulis bila itu membuatmu lega. Menulislah karena kamu harus menulis, bukan karena kamu ingin disukai. Menulislah tanpa pernah takut dinilai sebagai seorang medioker, sebab isi tulisanmu mungkin sangat biasa bagi segelintir orang. Menulislah bila itu membuatmu waras dan hidup. Menulislah sebab itu privilese yang tidak semua orang mampu melakukannya. Betapa ruginya bila proses kreatifmu dibatasi oleh pandangan orang lain yang belum tentu sepenuhnya benar. Menulislah tanpa memedulikan umpatan-unpatan klise orang lain, sebab yang harusnya menjadi fokusmu adalah meningkatkan kualitas karyamu. Hidupmu dan karyamu jauh lebih penting dari sekadar menjadi pengumpat, yang menilai tindakan orang lain selalu salah bila berbeda dengan nilai-nilai hidup yang kamu yakini. 


Disakiti, adalah salah satu bentuk dari hidup berdampingan dengan orang lain. Hidup tidak melulu mengenai dicintai, atau seberapa pantas kamu dikagumi. Hiduplah karena kamu harus hidup, minimal untuk dirimu sendiri. 


...


Saya, tentu saja tidak pernah mengenalmu secara pribadi. Mungkin saja, nanti akan ada kesempatan untuk mengenalmu, tanpa menghakimi apakah kamu pribadi yang menyenangkan atau menjengkelkan. Terlepas dari hal-hal itu, pertemuan adalah tujuan hidup yang menyenangkan, bukan? Manis atau getir, baik atau malapetaka, semuanya bagian dari hidup yang tak bisa kita hindari, kan? Aku menyayangimu, karena kamu hidup, dan hidup adalah karunia, meski rumit. Menulislah, sebab aku sangat gemar membaca secara diam-diam. Berkunjunglah ke kedaiku, kamu boleh membaca apapun yang menurutmu enak dibaca. Berhentikah menghakimi, berehentilah menjadi musuh seolah di antara kita adalah iblis atau malaikat. Berhentilah mengatur ekspektasi orang lain terhadap hidup dan karyamu. 


...


Tabik!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...