Sepertinya baru saja 24 jam berlalu. Aku mendengar suara AC lebih kencang dari biasanya, suhu di kamar terasa lebih dingin. Aku tidak melakukan banyak hal layaknya sepertu tahun-tahun lalu, menikmati depresi yang kambuh. Sekadar menghirup udara luar atau meregangkan kelopak mata pun membuatku malas.
•••
Setidaknya dalam 2 atau 3 jam sekali aku bangkit menuju kamar mandi melakukan hal-hal menyenangkan. Aku menyalakan keran air Dan mendengar riciknya bagai hujan di tengah hari. Di tempat baru ini, suhu hampir genap di angka 38 derajat Celcius. Dari jendela kamar mandi yang tidak terlalu lebar aku mengintip ke luar. Ketika melihat aspal, bayang-bayang fatamorgana nampak jelas.
Selepas mencuci tangan dan membasuh muka, aku kembali meringkuk tidak berdaya. Sesekali menarik selimut, melanjutkan membaca, atau iseng mengecek persiapan mengajar untuk satu minggu ke depan. Buku-buku yang akan aku pakai di kelas hanya tersentuh beberapa kali sambil membolak-balikkan halamannya.
"Ah minggu ini terasa berat. Aku akan bekerja lebih keras dari minggu sebelumnya."
Sebelumnya mungkin dua atau tiga hari saja aku akan pulang sangat terlambat, misalnya pukul delapan malam. Itu artinya aku bekerja selama kurang lebih tiga belas jam selama dua atau tiga hari. Tapi tidak minggu ini dan seterusnya, kegiatan itu akan berlangsung hampir tiap hari.
Aku masih setengah mengantuk. Aku menoleh ke arah jam, ternyata hampir pukul 2 siang. Aku mengingat-ingat kapan terakhir makan. Ternyata kemarin sore. Anehnya hingga saat ini tidak merasa lapar sedikit pun. Lalu aku kembali memfokuskan diri untuk rebahan senyaman mungkin.
Aku membalikkan badan sambil menghadap tembok. Tiba-tiba saja membayangkan sudah berapa lama tembok ini terpancang kuat menahan ganasnya matahari juga hujan. Tanpa sadar kedua mataku terpejam pelan. Namun ada aroma khas yang dengan lembut menyergap masuk ke lubang hidung.
Aroma ini terasa manis tapi juga sangat maskulin. Ia menempel di bantal. Lantas aku pun teringat betapa hangatnya kemarin, betapa pulasnya kemarin, betapa kesedihan dan rasa tidak nyaman luruh dengan sendirinya.
Aroma ini terasa manis tapi juga sangat maskulin. Ia menempel di bantal. Lantas aku pun teringat betapa hangatnya kemarin, betapa pulasnya kemarin, betapa kesedihan dan rasa tidak nyaman luruh dengan sendirinya.
"Sayang, baru saja 24 jam yang lalu kamu pamit untuk berjibaku di kitchen. Maaf jika aku memilih menggunakan diksi itu ketimbang kantor. Terdengar tidak millennial tapi justru itu yang membuatku mencintaimu."
Seperti alur sebuah cerita, setelah menciumi aroma manis tapi juga sangat maskulin, aku mencium aroma lain yang begitu khas. Ya, aroma lehermu selepas bangun tidur, aroma ketenangan sebelum kembali tenggelam dalam kebisingan tiada henti. Aku teringat betapa lekuk lehermu terlihat kuat menahan pelukanku yang erat.
Aku tidak pernah benar-benar bermimpi dapat melewati usia seperempat abad seperti saat ini. Bekerja dan menghabiskan sebagian besar waktu di sekolah adalah semacam pelarian diri. Sebab pulang hanya menyodorkan kesepian yang berlipat ganda. Tidak jarang ketika sudah begini, aku akan menelan pil tidur, berharap dapat tidur lebih cepat, dan sesekali bangun memastikan kamu pulang dengan selamat.
"Kalau sedang hectic, aku juga deg-degan." Begitu katamu. "Meskipun demikian, toh nantinya akan pulang dengan selamat."
Dua kalimat itu tidak lelah berputar di kepalaku. Sebelum benar-benar terlelap, aku menyempatkan menghitung berapa hari lagi kamu akan menjengukku. Ternyata masih empat hari, itu artinya 4 dikali 24 jam. Bukan main, hampir mencapai tiga digit angka dalam satuan jam mau tidak mau harus aku lewati. Atau menurutmu, manakah penggunaan kata yang lebih pas antara lewati dan selami?
Pernah beberapa waktu yang lalu ketika sedang menumpangi kereta MRT, aku duduk dan tenggelam dalam sebuah artikel pendek yang menarik. Isinya membahas bagaimana tersesat dalam sebuah perjalanan, akan mengantarkan kita pada kemungkinan yang tidak terduga. Tapi yang membuat momen tersesat itu melekat kuat pada diri adalah bisa jadi ia gerbang yang akan membawa kita pada wahana baru. Wahana penuh kejutan, atau sekalipun kesedihan, setidaknya selama proses menemukan jalan pulang, kita dilahirkan kembali.
•••
Aku masih belum beranjak dari tempat tidur. Semoga dapat bermimpi indah ucapku dalam hati.
Kedua mataku tertutup sayu, pandangan mulai gelap. Titik-titik cahaya bermunculan satu-persatu. Awalnya hanya sedikit, lama-lama semakin bertambah. Beberapa di antaranya melesat cepat dan bergerak pelan. Aku seperti melayang di ruang kosong. Tubuh terasa ringan. Selebihnya titik-titik cahaya itu menjadi ujud yang lain menyerupai spiral. Aku tersedot ke ruang yang lain, dan tibalah di sebuah kedai kopi mungil dengan interior bergaya Jepang.
"Affogato dua, take away. Pakai es ya", ucapmu barusan. Aku menoleh ke arahmu menunjukkan senyum paling sederhana. Sambil menunggu pesanan disiapkan, kita berjalan menuju kursi dan meja kosong dekat pintu masuk berwarna kuning. Di bagian tengahnya yang terbuat dari kaca, pemilik sengaja memajang belasan toples kaca berisi bijih kopi.
Di kedai KOHI, Affogato menjadi minuman kesukaan. Meski terkadang asam lambung meningkat tiba-tiba, namun jika Affogato ini diminum bersamamu, ketakutan itu seperti menciut.
Di kedai KOHI, Affogato menjadi minuman kesukaan. Meski terkadang asam lambung meningkat tiba-tiba, namun jika Affogato ini diminum bersamamu, ketakutan itu seperti menciut.
Bila sedang memesan Affogato seorang diri untuk diminum berdua, aku pasti lupa memesan tambahan es. Sebab menurutku Affogato yang pas terlihat pekat, yakni perpaduan antara espresso, Diary Hometown, gula aren, dan dua scoop ice cream Campina saja. Tapi lidahmu yang lebih sensitif selalu menangkap mesti ditambahkurangkan apa biar terasa pas.
Jekardah, November 2019
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin