“Mau balon yang mana? Yang besar, sedang, warna-warni,
meriah, talinya panjang, bentuk boneka?”
Aku masih punya balon yang kian hari, ia matang di bawah
cahaya. Siang itu, aku ngamen musik dan puisi. Pasar yang sepi, kemudian
dipenuhi orang-orang yang berkeringat. Mereka mendekat. Mereka-reka apa yang
dikatakan oleh matanya, aku seolah sedang meramu jampi penglaris proses menjual
dan membeli. Entahlah. Siapa saja boleh menebak. Hanya hati dan akal
masing-masing yang berkata, “Itu jawabannya!” “Itu salah!”
Sinar matahari yang tembus di badan rimbun pohon, mulai
menggeliatkan waktu. Sejumlah awan beringsut mencari sumber dan cinta di langit
lain. Tidak ada yang berteduh. Aku bersyukur jika takdir mengamen seperti
menjadi rezeki sehari-hari.
Puisi dan musik live
concert, arah matahari mulai menikung. Wajah mereka yang menyaksikan
semakin nampak murung dan menyebalkan. Setidaknya ketika ada yang menghibur,
mengamen di depan mereka, ekspresi yang tergambar paling tepat seharusnya wajah
penasaran, mengernyitkan alis, mengerdipkan kelopak mata yang kuyu oleh
beberapa praduga. “Bukan, itu tebakan!”
“Sebuah jalan terbentang. Langit menghapus awan. Aku tidak
minum bir. Tapi secangkir kopi yang dituang ke celana kita, seolah membikin
gelembung. Dan apa yang kau ramalkan tentang manusia dan sebuah jalan, telah
benar-benar terbentang bagai dada telanjang”. Aku mulai dengan sebuah prelude atau interlude. Aku lupa mana istilah yang tepat untuk menjelaskan
setidaknya yang dibacakan adalah pembuka, awalan sebagai tanda aku akan serius
membaca. “Mengamen!”
Setimentil adalah sebuah kata sifat yang pertama kali
melintas bagai guru yang mencambuk kertas ujian. Ada petir dalam puisi, dan
nikmat dalam musik. Aku berlari dengan getar di tiap dawai. Ada vibrasi yang gelombang.
Tinta hitam telah menulis puisi dengan nyawa yang ia habiskan dengan cinta
kata-kata.
“Yuk mampir! Ajak teman-teman, anak-anak yang menggenggam
balon, penjajah jeruk manis dan bulat!”
Pengantar yang lebih dalam ini, aku sampaikan dengan tindak
laku yang mengencangkan otot-otot tenggorokan. “Yang ngamen seperti saat ini,
sudah begitu langka. Apalagi gratis. Memang cinta tak berarti, dan uang bukan
apa-apa.”
“Gelombang air susut mencapai suara yang hendak balik ke
muara. Seorang wanita menggendong jamu di teteknya. Tulang belakang yang
dihisap oleh asap-asap membuat angin, perpanjangan waktu, dan peluh yang
dinyatakan dengan ahhh semakin ada.”
Puisi dan musik. Aku ngamen dalam sebidang kertas yang menulis
darah atau lubang pikiran yang disiapkan bernafas panjang. Lirik menjadi makin
basah, dan kami tidak menyadari.
......
“Bibir kita. bibir yang menghisap darah. Biarkan dada ini
meradang merah. Sebab aku tahu yang menjadi gincu pada tabung bibir kita telah
memuat mawar yang tumbuh dari benih duri.”
“Aku mau siksa kau dengan sebotol miras yang cabul, sayang! Aku
mau congkel daging yang menyempil dan tumbuh seperti bukit yang baru tumbuh
itu! Aku mau sendok yang mengarah pada pipa-pipa rahimmu! Boleh aku cium nafas
yang sengit dari telur-telur yang suumbunyi dari kita-sebab leher pedangku
begitu tajamkah?”
......
Aku menggigil. Demam, orang menyebutnya sebagai penyakit
hukuman dari taring harimau yang tiap kali dikikis oleh pemangsa kehidupan. Voldemort. Kata mort yang menjadi konjugasi kata kerja mourir, artinya mati. Aku memelajarinya di beberapa kelas Prancis
untuk beberapa tahun saja.
Namun ada yang tak kupahami. Apakah orang-orang Prancis di
sana mati dengan penyakit yang mengikat dalam takdir hukuman? Atau matikah
mereka oleh sebab-sebab yang aku sendiri tidak tahu artinya. Meregang,
tenggorokan mereka terjepit dan gumpalan teriak menjadi semacam dosa yang tak
kupahami?
......
Puisi dan musik, di jalan lapang yang tengadah dalam jarak
ke jarak, puisi dan musik saat itu kemudian dapat aku bacakan sebagai
huruf-huruf kapital yang terpantul keras di ubun-ubun kertas.
”Mari mengawali
puisi dan musik sebelum tanah kita menjadi musim semi, musim gugur daun dari
batang-batang yang benci digerogoti, musim dingin milik Vivaldi, atau musim
panas yang bekerja di wajah laptop!”
“Mari menggigilkan urat-urat yang kencang pada tafsir yang
bebas dan liar seperti kali ini saja, pertama dan terakhir, ada puisi dan musik
melintas di canting-canting beras, fermentasi anggur yang dituang di gelas
plastik, balon yang merambat ke udara, jual beli yang gratis!”
November, 2013
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin