Jalan pintas adalah jalan yang dapat mencapai kepuasan. Aku teringat
pada sebuah cerita tentang seorang pria yang ingin terjun dari tempat tinggi. Beberapa
polisi sedang menarik rata sebuah matras empuk dan beberapa lagi ada yang
melihat sebentar karena takut, dan sisanya merekam setiap langkah, setiap
kegalauan, setiap keringat yang sia-sia dihisap awan sebagai pemantik, itu
bunuh diri namanya.
Namun tidak denganku yang membayangkan tempat tinggi itu
sebagai jembatan terindah menurut hati dan pikirannya yang tercabik-cabik.
Aku mampu melihatnya dari pakaian yang dinodai oleh sepasang bibir dengan gincu
ungu, dan sebagian lagi seperti terbakar oleh sesuatu. Anggap saja itu
intermezo atau pariwara televisi yang berisik dengan reka ulang dan berita. Itu
bunuh diri namanya.
Aku, dan jembatan terindah, kami membuat perjanjian palsu
sebenarnya. siapa di antara kita yang mematok waktu lebih lama kapan pria itu
akan hanyut ke telaga hati dan pikirannya, maka akan dapat hadiah. Terserah matahari
atau gelagat pria itu sendiri yang menentukan apa yang pantas dan tidak pantas
menjadi kejutan.
Pukul 3 dan gerimis mulai basah. Pikiran kotor orang-orangg
menyembul mengingat komponen makna basah ada pada tiap pergulatan saat yang
lelah dengan pasrah menutupi mimpinya dengan sekarung ranjang empuk. Itu bunuh
diri namanya.
Kalau aku, aku mau kasih si jembatan itu si pria yang
terlihat mau terjun tadi. Katakan seperti itu. Maklum kenangan-kenangan yang
aku tumpukkan pada televisi hitam putih, sudah terjual bersama botol-botol
hangat penghabis waktu saat gairah menjadi peti untuk menyimpan kebahagiaan
yang sulit dimiliki tetangga, mama, dan papa.
Tetangga, mama, papa, mereka baik. Mereka suka tersenyum
saat melihat burung, mawar, dan sedannya masih tertata rapi seperti kemarin. Benar
atau tidak yang menjadi taruhanku di awal sebenarnya adalah mereka yang begitu
egois dengan jembatan terindah masing-masing.
Di usia sepuluh, aku kira jembatan terindah mereka adalah
anak-anak yang berangkat sekolah, mencium tangan kedua orang tua supaya menjadi
doa keselamatan saat mereka hendak pergi dengan sebuah taksi. Di usia lima
belas, aku yakin jembatan terindah mereka adalah dialog keuangan yang mesti
mereka rapikan sebab anak-anak yang sering bepergian dengan taksi, mesti naik
metromini yang menjamin banyak kecelakaan. Dan saat ini, ketika usiaku genap
sembilan belas, aku jadi ragu yang menjadi jembatan terindah mereka adalah
dirinya sendiri. Dirinya yang bahagia oleh burung, mawar, dan sedan adalah
pemusnahan harmonisasi saat orang-orang memulai lomba persaingan dan
perseteruan.
Jembatan terindah bagiku adalah saat aku bisa menguasai diri
dari bisikan yang terdengar asik dari tembok yang mengepung kamar persegi empat
– aku pernah menggunting foto mama papa di sana, menjadi teka-teki saat mau
meletakkan pakaian dalam di mesin cuci. Aku tidak bisa mengelak jika bisikan
itu berbahaya. Lebih berbahaya dari lututku yang cidera oleh gerigi mobil bus
tank-tank yang meledakkan sebuah kilang pasir, dan aku terkena nasib sial itu
saat sedang sendiri di kelas. Melamun namanya. Bunuh diri namanya.
Aku berpikir berpikir berpikir, dialog dengan sebuah tempat
tinggi tidak mendidikku menjadi pria yang insaf menelan kepalsuan lelaki. Ia tidak
tahu jika aku sedang membayangkan tubuhnya dikuliti dan aku menghisap nanah
yang encer dari rambutnya, seolah menghisap jelly pada minuman berkaleng yang
difermentasi. Makin dihisap, makin tidak sampai di pangkal tenggorokanku, makin
aku kesal.
Tempat tinggi itu, ia diterpa angin, ketika seorang pria
yang kami jadikan umpan taruhan telah terjun tanpa tanda suara, histeris, atau
kebencian yang meluluhkan kakinya menjadi kekecewaan seperti pada tayangan
sinetron kebanyakan, dan ia menyimpan kedengkian dan tafsir hidup yang belum
diterjemahkan sendiri di kepalanya. Aku melihat huruf-huruf seolah terbakar
saat yang meleleh dari dari kepalanya adalah cairan putih, kental, dan licin. Itu
bunuh diri namanya.
Satu persatu, kami mengakhirinya dengan tembakan peluru air
mata, agar kami pura-pura bersimpati dan kemudian memuntahkan segala item di
perut sebagai protes manusia tidak boleh membuang hal-hal yang berharga darinya
– nyawa, langkah yang ditahan angin, bangunan-bangunan yang lugu dan kita
terhimpit di sana, setidaknya mampu membuat kita tegar.
Aku melangkah lebih jauh, dan yang aku kenakan seolah
menjadi merah. Saat itu hujan tiba-tiba menjadi yang paling deras dan paling
sesak di ulu hati. Ia menggiring apa yang menyembul dari pria itu menjadi lebih
menyebar lalu mencari sumber urat nadi. Aku seolah diajarkan cara menitipkan
jembatan terindah menjadi darah.
2013
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin