Andai Ayah_
andai ayah
mengetuk pintu yang semula
berpijar mengulum rindu
malam yang bergetar bersama waktu
'takkan pecah menanti senyum
yang tertahan di bibir berbekas debu
dalam malam larut dalam kelam
terdengar langkah menuju pintu
hanya angin bergumam, menggamit ngilu
ayah tak jua datang
melumat api yang padam
namun mataku tak pula terpejam
cahya semakin menusuk diam-diam
mengadukku dalam gamang yang makin didih
pasti, ayah_jiwaku sumbang mengingatmu dalam mimpi
sekayu, 2009
_menjadi puisi_
aku tertegun nyeri
kau bergumam
:wahai pengantinku
bergelutlah kamu bersama cintaku
biarkan kulitku melaipisi malammu
dan liarku menjadi
penobatan candi yang
kita tulis menjadi puisi
sekayu, 2009
_aku kembali_
ke pangkuan lama yang dikenal sepi
yang sejak dulu ku semai dalam lemari
akhirnya hablur menjadi buih
ke sinar lampu yang sering mati
terpejam karena tak ada pagi
menjalar bersama harum matahari
ke selimut yang menemani mimpi
di atas ranjang panuh puisi
katanya, sekarang menjadi rupa tak lagi
Sekayu, 2009
_mencari kamu_
aku mencari kamu
pada lapisan dinding tak ada celah
pada mulut tanpa suara
pada cakrawala hampa megah
kamu tetap tidak ada
menghilang bersama deru kabut
menyingkap di ujung rambut
ikalmu tinggal tergerai
menjadi puncak ketegangan lenyapmu
sekayu, 2009
Balada Kamarku
Kamar adalah bagian cerita purba
Dari megantrophus paleojavanikus hingga homo erectus
Kamar adalah gubuk cakrawala
Yang bikin sejuta mata
Yang memotret
Bersama hilangnya penat-penat
Saat mimpi mengemudi perahu menjauhi nirwana
Kamar adalah tirai tanpa rahasia
Terbuka apa adanya
Mulai matahari mencakar wajah
Dan bulan tiduri tanpa sengaja
Kamar adalah sajak dan prosa
Yang terbakar bersama kata
Yang berubah menjadi rupa
Rupa kita pada cermin tua
Kamar jadi langit yang mengawan
Naungi kehidupan bagai hujan
Didihkan gigil yang menyerang badan
Kamar adalah wajah jendela dan pintu yang muram
Lusuh, bau, berdebu, penuh coretan
kamar, tempat ibu bikin aku
dari ayah yang lelah sehabis kerja
dari nafsu yang mereka jaga
yang mereka tanam, pupuk, siram
lalu memanennya bersama
sekayu, 2009
Ku koyak, Ku Lumat
Ku koyak gunung
Ku koyak punggung
Agar angin bergulung-gulung
Dan sukma meraung-raung
Ku lumat malam
Ku lumat kelam
Agar gamang nambah cekam
Dan badanku hitam legam
sekayu,2009
Matahari, bulan mengalir
Dalam 1095 terangnya
Dalam 1095 gelapnya
Sejenak debu, asam, basa
Merasa mencerna angka-angka bersama
Tanpa menghasilkan rumus yang dapat diberi nama
”untuk kenangan”
sekayu, 2009
ang Mendera-dera*
Langit segar
Angin bergetar
Bunga mekar
Jiwa menggelegar
Saat riuh menaklukan sepi
Jadi runtuh
Saat senyum menanggalkan elegi
Adalah haru
Saat lalat sibuk pulang pergi
Jadi wangi
Jalanku yang merdeka
Ku jejaki kau penuh langkah
Sukma membara
Api menyala
Berkobarlah!
Berkobarlah!
Wahai yang mendera-dera!
*untuk kelulusan kakak-kakak sekalian
sekayu, 2009
_pada hari ini_
Tak ada yang dapat memaknai hari ini. Begitu sempit dan tercekik. Terasa tersedot ke lubang-lubang yang menyimpan banyak kenangan, mengenangmu jadi kepedihan. Lalu fitrah hidup perlahan-lahan berjalan, memburu waktu yang makin bergeser ke seberang.
Adakah yang bias saat ku tanya kau di laut mana? Apakah kabut menyibak setelah pelabuhan tua nampak, dan tak ku temui kau terbahak-bahak. Aku idiot seketika. Mulutku menganga sambil melumat karcis pertemuan kita. Aku autis tiba-tiba. Aku sibuk sendiri mencarimu ke sela-sela. Ke selaput, ke rongga-rongga, ke batas cakrawala. Jiwamu begitu kerdil untuk dijamah.
Gunda! Aku gemetar hebat kala kau tak ada. Menghilang ke layar maya. Terpampang wujudmu paling nyata di sana. Aku bertanya-tanya. Siang asik bicara. Malam asik tidur seenaknya. Apalah arti pencarian tanpa yang dikenal jua? Hanya menghabiskan sisa-sisa nafas yang terengah-engah.
Luka! Beribu ton besi dan baja menindih dan menindih badan atau pun jiwa. Awan pun menemani seolah tahu bahwa hujannya sama dengan air mata. Mega bersembunyi menyimpan senyumnya seolah setia. Dan malam masih tidur seenaknya, mengunci diri rapat-rapat hingga saatnya. Air berhenti ke hulu seolah mengalir ke salah muara. Dan orang-orangan sawah masih saja sibuk mengusir hama seolah tak lihat darah bersimabah.
Tak ada yang dapat memaknai hari ini. Ataukah esok, lusa berjuta tahun tiba, fitrah hidup merasa sesak lagi susah. Kala kau lenyap seketika. Dan pelukan kita sia-sia.
palembang, 2009
_yang kian melupakanmu
Biarlah angin membeku
Dan air berdebu
Lalu udara kian melupakanmu
Pada hari-hari yang mendidih
Dan sumbu yang masih menyala
Dan malam yang hampir padam bulannya...
sekayu, 2009
_menghadap maut_
Menghadapi maut
Ada yang tersenyum
Di balik lubang hitam
Pendarnya menaruh kelam
sekayu, 2009
_bersama muasalku_
bila angin tak padam
:air memecah kelam
di ambang, biarlah
sukma melebur bersama gamang
entahlah, fajar membara lalu
meradang membakar arang
bersama muasalku di pertapaan ibu..
palembang, 2009
Yang Melarikan Diri
Setelah lama menunggu mimpi :
Waktu menderuderu mengarungi
Pasti! Dalam setiap lelap yang
Membentangkan letih, dan bau asap
Fajar yang lama menanti
Membungkam dan menutup diri
Jadi bisu
Jadi tuli
Yang semula surut menjelang susut
Ke dalam mimpi yang agaknya makin kelam
Supaya sukma tak mengendusendus ke dalam
Jendela dan kaca, maka tabir mimpi
Menjauh dan berlayar ke arah yang lebih sepi
Ke laut yang dikenal senyapsunyi
Tanpa busana, tanpa senyum, tanpa angin
Yang membawa mimpi terus berlari.
Dari waktu lalu mimpi yang sudah disinggahi
Didapatlah sejumlah insan yang banyak elegi
Menjerit mereka, terbahakbahak mereka
Melihat mimpi yang mengurung sendiri
Lalu, dari awal waktu yang letih
Dalam dekapan mimpi
Akhirnya! Sungguh, terlelaplah jiwa yang memutih
Palembang, Juni 2009
Lahirnya dewi
Karena bulanbulan pagi
Lahirlah dewi yang agaknya
Menyombongkan diri
Setelah darah dari pertapaannya
Melarikan diri, dan malam yang
Melapisi sendi-sendi tak karuan
Kacau, hingarbingar membungkam sendiri
Lalu dewi itu bernyanyi :
Dari tempat yang kokoh itu
Jiwaku yang telah melebur
Jadi sukmaku, baru
Kelak merubah bulanbulan pagi
Bersama sinar yang membuat tuli
Pada malamnya lekas kelam
Dan bulan itu akan nambah cekam. Mesti!
Teruslah ia mengaisngais tanah
Seraya berkata :
Bilaman api dan air
Serta nyala dan mencair
Adalah sumbu yang tak kunjung nyala
Mendidih. Hingga matahari di atas kepala
Suhu tak ada sepi, lalu bermuara ke lereng
Di sana ditemui nafas bau melati
Yang dulu bekasku membasuh daki
Sejak itu, saat itu, waktu itu
Alam dan bumi dan langit
Yang mengaku paling bening
Menjadi dusta, dusta karena hening
Di waktu lahirnya dewi
Pada bulanbulan pagi
Palembang, Juni 2009
Di ujung jalan
Di depan pagar-pagar beton
Ku antar kau, angin
Ku lepas kau, dingin
Agar terbanglah daun-daun yang menguning
Dan lenyaplah hawa panas di sekeliling
Tinggal seikat roti di dalam jari-jari hari
Dalam pelukan mesra dan sentosa
Dan tak sampai satu matahari di hadapan
Dan tak habis satu bulan di pelipis mata
Itu..............................
Rupa yang jadi tabir kita
Akan tiba secara tiba-tiba
Lalu inikah bau bunga bakung
Dulu kita tanam bijinya
Agar dapat kita kembangnya
Setelah ia layu dan lagi terus memanen bunga
Sempat kita masih menanamnya
Di sinilah,
Di ujung jalan
Di depan pagar-pagar beton
Dan langit berbahan sutera
Jadi arloji akhir waktu semesta
Ya!
Akhir rupa melanda kita,
Badan,
Dan jas baru kita
Huh!
Tinggal cinta berbungkus kado merah jambu
Jadi sejuta mata kamera alam yang menyokong kita
Ternyata kita masih juga bajingan, ya!
Kita kebal pada tangisan
Kerna t’lah bosan pada kesedihan
Ya! Kita memang bajingan :
Bajingan untuk kehidupan
Kehidupan untuk bajingan
Sajak memori
Untuk kakak-kakak sekalian
sekayu, 2009
Tak Ada
Tak ada lagi puisi-puisimu
Tak ada lagi tembang-tembang dalam kamarku
Tak ada pula sepoi angin yang lepaskan
Penat-penat kita
Sehabis disuguhi bermacam angka-angka
Yang tak bisa dirumuskan
Dan seterusnya tak pernah ada
sekayu, 2009
Di Waktu Berdua
Senantiasa kita bertemu sehari lima waktu
Saat kita asyik berkencan
Jariku lebam kau lumat rapat-rapat
Bibirku kau hisap setelah berucap bahasa cinta
Keningku cadas sehabis puas mengetok batok
Kerna ku sering lupa waktu kita berduaan
Dan saat itu
Waktu terbuang kala rindu berkumandang
Sumur kerontang untuk mencuci badan
Jalan raya macet kala kita hendak bepergian
Tapi kasih!
Kasih yang berkuta
Percayakah pada keteguhan cinta
Cinta yang dapat saling membawa
Tubuh yang berdaki tak kan mampu berpaling dan murtad
sekayu, 2009
Gemercik Angin I
Rindu gurun adalah rindu stepa
Rindu senja adalah rindu purba
Rindu dunia :
Rindu yang terbuka lekuk isinya
Setelah rindu-rindu itu,
Tampak dirinya
Lusuh tanpa benang melilit tubuhnya
Manis, raut wajah Sang purnama
Lukisan potretnya pada bingkai foto
Yang hampir kusam
Yang menanggalkan keriputnya
Mengerak pada bilik pagi buta
Gemercik angin senja
Datang merembes
Menampar sukmanya
Maka saat itu
Ia menjerit ke arah bangunan tua
Ia robek baju di jalan yang penuh roda
Ia seret bukit setinggi pundaknya
Ia panjat tebing alisnya,
Tak ia temukan puncaknya
Hingga waktu mengekang langkahnya
Hingga debu buyarkan tulang kerangkanya
Hingga tanah mencerna sisa-sisa bangkainya
Gemercik Angin II
Kursi-kursi sofa
Kursi-kursi roda
Kursi-kursi pelana
Kursi-kursi pallawa
Kursi-kursi penyambung nyawa
Pada kosongnya malam bercahya
Cahya ilafi bulan sabit
Bulan sabit bersandar pada bintangnya
Bintangnya merindukan relief pelataran
Pelataran candi pada gubuk-gubuk kelam
Kelam jadi perekam, pemotret gemercik langkah angin
Gemercik yang tertahan di suatu sofa
Di suatu roda
Di atas pelana
Di huruf-huruf pallawa
sekayu, 2009
Padat Puisi
Puisi adalah senja
Yang menghabiskan pagi sebagaimana mestinya
Puisi adalah lagu lama
Yang jadi batu sandungan lahirnya kata pada dunia
Puisi jadi saksi mata
Yang menyaksikan zaman menuntun kita
Seberangi batas angan cakrawala
Tempat kita menyusun rupa
Hingga terbentuk manusia sempurna
sekayu, 2009
Dan Kerinduan
Betapa pun di waktu itu hujan
Ialah tangisan yang lagi merindukan
Bukan untuk menghidupkan kehidupan
Tapi segenap hawa dingin terasakan
sekayu, 2009
Paling
Ku tulis sajak paling sederhana
Sebab sering aku menulisnya
Agar dapat kau memadatkannya
sekayu, 2009
Setelah Jadi Mimpi
Jadi apakah mati itu sendiri setelah lama berdiskusi
Pada tiap-tiap cabang muda yang enggan berganti nama
Dan sepi setelah jadi mimpi
Adalah malam yang meninggalkan jejak di waktu pagi
sekayu, 2009
Selalu Habis
Malam selalu dihabiskan oleh pagi
Lalu pagi disapu kelamnya malam
Apa yang terjadi pada alam
Adalah materi soal ujian
Mata kita selalu merasa
Dan jiwa kita mulai memangsa
Dan pagi, serta malam
Adalah musuh yang paling nyata
Dalam keengganan menatap kemauan
Lalu pulih dengan percobaan
Merenggut sejumlah buku dan halaman
Dan ketika itu,
Aku pingsan
Matilah rohku dalam kejapan
Jasadku meraung kesakitan
Mencari yang tiba-tiba lenyap
Hilang dalam genggaman
Genggaman debu yang meradang
sekayu, 2009
Berteman Gelap
Tak mau aku berteman pada kegelapan
Yang bikin takutku semakin kencang
Yang biarkan pandanganku kabur mengekang................
sekayu, 2009
Penetral...........
Sajak-sajakmu jadi asam dan basa
Netralkan zat-zat kimia
Dari MSG hingga karbon monoksida
sekayu, 2009
Hari Ini................
Gembala tak lagi bercerita
Menggiring kerbau dan sapi ke kandangnya
Televisi tak lagi bicara
Mengisi warta
Dan dialog wawancara
Pasukan keamanan berpelor baja
Angkat senjata
Tembaki mahasiswa
Perut menganga
Setelah piring diganti daun kelapa
Hari ini
Sumbu menyala
Darah mengaliri darah
Menganak ke berbagai muara
Hari ini
Dalam tatanan alam
Berjalan sendirian
Jadi hantu gentayangan
Hari ini
Berwarna merah
Seterusnya
Hitam seketika
Hari ini
Adalah duka semesta
Semesta berduka
Hari ini
Gembala
Televisi
Keamanan berpelor baja
Perut nganga
Jadi duka semesta
sekayu, 2009
Dua
Dua matahari
Pantai menggigil
Bulan menggamit
Celah yang sempit
Dua bulan
Dada meradang
Malam mencekik
Siang mesti terik
sekayu, 2009
Bagi yang Maya, Bagi yang Hampa
Tak ada yang maya bagi yang maya
Tak ada yang hampa bagi yang hampa
Gulingkan seribu mata sebagaimana mestinya
Tataplah dengan tiada maya dan hampa
Mereka sungguh tiada .........................
sekayu, 2009
Saat Tak Ada
Saat tak ada lagi rupa
Muncullah rupamu dari segenap rupa
Saat tak ada lagi kata
Meruap kata-katamu dalam baris-baris sajak
Saat tak ada siang yang menyala
Terbakarlah baumu dari sumbu-sumbu yang menyala
Saat tak ada malam yang padam
Gamanglah kelam melihatmu hitam legam
Yang rupa
Yang kata
Yang nyala
Yang padam
Jadi wujudmu yang paling megah
sekayu, 2009
Ku peluk ombak
pada cadas kerikil
Ku teguk karang
Pada hening tahlil
Pada-Mu............
Ku terisak dan terbahak
Sekedar merayu seraya menggoda
*hanya Kau yang kutemukan saat ini
sekayu, 2009
Malam terselip di ketiak bulan
Bulan menggamit kelamnya
Begitu dalam dan agaknya tenggelam
Lalu turunlah cahya-cahya yang disebut fajar
Atau apa saja yang kusebut itu menjalar
Ia menghapus malam dan gelapnya dengan sabetan
Sabetan yang bikin gamang penghuni lautan
Dalam peperangan itu
Adalah waktu yang menanggalkan senyummu
Dan menjara duka-dukamu
Dalam pelukmu
Dalam tangismu
Dalam tidurmu
Dalam cita-cita yang meledek senyummu
Dalam hari-hari yang melupakanmu
Apakah ini yang kau sebut musibah
Yang katamu meluluhlantakan jiwa kembaramu
Sesaat kau mulai sadar dari mabukmu
Kau lumat gamisku
Kukumu yang tumpul mencabik danging, urat,
Lalu kau kunyah tulang-tulangnya
Kau jadi lapar
Setelah semalam kau bergelut dengan sendirimu
Dan kau terkulai terengah-engah
Diamlah kau menatap pohon rimbun
Sambil terbahak kau sesali pergulatan itu
Kau rangkul kursi yang ada dihadapanmu
Dengan tenaga yang tersisa dan jejak yang karatan
Kau pecahkan cermin-cermin yang meramal jiwa-jiwa
Kau jadi liar
Lalu kau terpukau
Saat kau melihat kepingan cermin yang telah mencair
Senyummu mengembang ke dua samudera
Otakmu mulai mencerna
Saraf-saraf mulai bekerja
Kau bilang :
Hidupku adalah istimewa
Malam tak mampu memadamkan
Siang pun tak mampu menyalakan
Kau mulai kerepotan sendiri dengan luka-luka
Kau coba tutupi kain kasa, percuma!
Lukamu nambah parah
Saat matahari terangnya
Saat bulan gelapnya
Kau kaku, kau kedinginan
Badanmu berontak menopang tubuh yang semakin dusta
Lalu nongollah yang kusebut ia pencabut nyawa
Ditariknyalah geliatmu :
Kepala, tangan, ikalmu kusut
Kau gamang, lalu kau masuk ke perut
ranjang yang kau semai pada laut
Dari saat malam terselip di ketiak bulan
Bulan menggamit kelamnya
Begitu dalam dan agaknya tenggelam
Menangislah kamu meminta penderitaan
sekayu, 2009
Aku melebur pada topik-topik petang
Pada gamis ku taruh pasrah meradang
Pada ujung kaki yang terjulur panjang
Mataku menatap ribuan elang
Terbang, dengan gerak yang tak berbilang
Wahai batu-batu karang yang melintas kencang
Memecah serpih-serpih yang nampak telanjang
Aku terkenang bilik-bilik malang
Bernaung genting-genting usang
Berselimut nyanyian-nyanyian peri hutan
Betapa gamang!
Tangan ku gamit wajah-wajah yang sesak dusta
Seraya melumat isyarat yang menyala-nyala
Dan sukma yang berteriak atas nama derita
Di ujung-ujung udara yang lengang suara
Riuhku meminta, menengadah pasrah
Aku bersimbah susah!
Lalu setelah beribu liter keringat yang berbau darah
Ku hisap lagi jadi tenaga
Sia-sia, tak mencukupi derita malam yang semakin dalam
Pada penghuni mayapada yang banyak bicara
Aku menyusup mencari kata-kata
Yang kelak aku jadikan rupa
Yang lagi mau menopang payah
Pada gorong-gorong yang kering sampah
Aku jadi mata-mata tikus yang berakhlak mulia
Yang kelak ku jadikan mainan warna-warna
Hidupku lekas punya makna!
Aku melebur pada topik-topik petang
Pada gamis ku taruh pasrah meradang
Sungguh bernada gamang
sekayu, 2009
Cahya Ilafi
Cahya menguning menyapu debu genting
Cahya bening
Cahya tembus pagi lenting
Menyergap segenap rawa pening
Hawa guling nafas bunting…
sekayu, 2009
Adakah cermin yang menolak bayangmu diam-diam
Dan batu yang meledek lahirmu di khalayak
Lalu sinar gersang yang mendidihkan sungai dari mata gagak
Yang mendiami raungmu jadi api yang
Meniduri lelah di ranjang mimpi yang
Menjajaki kaki angin pengap buih yang
Lenyap bersama fajar pagi yang
Larang sawah panen padi
Ialah sergap peri hutan di laut nyeri
Yang memperlambat nantimu
Dan kebutkan hari yang menindih lukamu...
sekayu, 2009
Seperti air menitik bebatuan
Cadas kecil jadi lubang dalam
Pada jalannya malam dan siang
Adalah cermin waktu yang terbuang.......
sekayu, 2009
Biarlah angin membeku
Dan air berdebu
Lalu udara kian melupakanmu
Pada hari-hari yang mendidih
Dan sumbu yang masih menyala
Dan malam yang hampir padam bulannya...
sekayu, 2009
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin