Kepada K.
Aku mencitaimu sepanjang sinar bulan yang membulat sampai ke bumi tanpa dipantulkan ulang cahayanya. Air menggenang di tanah tapi hujan tertampung di kaca jendela. Langit berawan, namun bintang mengerdip, begitu genit berkelindan di balik matamu. Aku ingin mendaki ke atas bulan, memanjatkan hal-hal mustahil sambil memegang erat pergelangan tanganmu. Bawa saja aku, bahkan ketika kau sedang bermimpi, menghidupkan ulang harapan yang terpotong menjadi tersambung, satu-persatu, juga begitu pelan.
Di perjalanan yang tidak begitu singkat, kita berkelana, mengarungi banyak kelok, jatuh dan tergelincir, menyasar hingga menemukan petunjuk dengan mengikuti kemana garis tanganmu menyebar. Tatkala garis itu terpotong, kita bergegas dengan menukik ke arah tebing yang masih hijau. Ucapmu, "Udara menjadi segar begitu kita senantiasa bersama." Maka kuikat kedua lenganku di pundakmu. Aku berdoa sejenak, bahwa meski bencana melanda, kita masih bisa berenang dan berpegangan lebih erat menuju tepian yang lebih kering.
Pendar bulan terasa begitu santun. Malam menjadi tidak asing sekaligus menjadi penanda waktu yang mustajab untuk hal-hal yang ajaib. Bulan membius kita untuk pulang, namun kukatakan apa adanya, aku sudah pulang sejak aku melangkahkan kaki dan maju bersamamu, jauh dan dekat, yang penting aku pulang. Singkatnya begitu.
Jakarta, 2024
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin