Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2011

Kaspia

Mana ada lelaki berpendidikan yang mau mendekati perempuan tambun sepertinya. Selain uang, apalagi. Hanya lelaki tolol dan brengsek yang hanya ingin menikmati uangnya. “Sudah berapa lama kau mengenalnya” "Belum lama. Baru dua bulan sebelas hari. Kenapa?” “Jauhi dia. Kalau perlu pergi dari hidupnya. Kau baru mengenal luarnya. Saat ini kau masih buta. Buta cinta. Buta muka.” “Memangnya apa yang kau tahu dari lelaki itu?” “Banyak. Sangat sulit diceritakan. Lagi pula kau tak akan percaya.” “Ayolah! Jangan membuatku penasaran seperti ini.” “Yang kupikirkan bukan semata kau adalah sahabatku. Tapi kenapa dengan mudahnya, kau beri ruang masuk untuk lelaki jahanam seperti dia.” “Aku tak mengerti maksudmu.” “Kau tak akan mengerti. Dengan seribu satu bukti dan saksi pun, dapat kupastikan kau tetap tidak mengerti. Harusnya kau merasakan hal aneh ketika pergi berduaan dengannya.” “Apalagi itu? Cepat ceritakan. Kau membuatku takut.” “Sebelumnya aku pun tak percaya dengan g

Yoshiki San

Lalu tak ada gadis yang berjalan mengitari matamu Kecuali nampak air Dari seberang kolam yang bening Masturbia Di antara lubang angina Rambutmu menjadi gelombang yang panik Bulan kelima mengarat dibibirmu Kemudian mongering suara yang muncul dengan rapat dan mendesis adalah tuak sepanjang lima loki dari tanganmu hinggap pada masing-masing kuku yang berkeringat Ketika itu rumput Yang malu-malu membelai wajahmu Menyelinap masuk lewat usus Tak ada yang lebih paham Mengenai jalan sempit yang bermuara pada lorong becek pada lambungmu sebab ia mendekat maka dikoyaknyalah kulitmu perlahan agar hilang pedih sampai tiba darah mengental membusung di dadamu yang terbakar 2011 http://3.bp.blogspot.com/_rJVT53UElYs/SncxtbCUv5I/AAAAAAAACks/YOeRYK-U9Cg/s1600-h/Yoshiki+(21).jpg

Fermentasi Pukul 19.24

mama tiga ruang berdarah menekuk tepat pada rindang matamu saat itu tak pernah engkau lupa bagaimana terburu-buru berkemas menuju waktu yang sudah sepuluh tahun tiba dengan terbuka dan telentang memeluk langit serupa wajah yang mengembang di antara panas pemanggang seketika matahari yang berlepasan dari kancing kemejamu berlarian dan berloncatan menuju lekuk bukit hidung yang tercatat telah tujuh kali menerbitkan almanak-almanak gaib demi kesepian yang memanggil engkau berdiam dalam tungku serta kesakralan yang sekiranya paling lincah sekali pun engkau akan percaya malam ini kekasih yang engkau tinggalkan diam-diam di atas kematian dulu sempat memiliki rindu dari perih lipatan tangan yang mengerami kedua telapak tangannya engkau pergi mengutuk malam engkau berjalan dan gentayangan 2011

Tak Lain Sebab Aku Sayang Padamu

Nasihatku Bukan semata-mata menyuruhmu meringkuk sendirian tanpa mengenal api yang disulut malam hari Kalau kau mau pulang Keluarkan dulu semua yang masih lekat pada gigimu Termasuk janji yang kemarin kau sangkutkan pada pipa cerutu Bukannya sudah kubilang Kau bisa tolol bahkan menjadi seribu kali lipat lebih tolol dari seribu keturunanmu Begini sajalah, Biar lebih mudah dan lebih cepat diserap Pukul dua belas tepat nanti Tengoklah sebentar telepon genggammu Dari sebuah pesan yang sampai itulah Aku sampaikan bahwa cicak-cicak nakal yang melubangi jalan pulang yang melingkar di mulutmu Telah menghalangiku dengan begitu kejam Sederetan tembok-tembok penyekat mengikat leherku dengan erat Aku dilarang berlari menuju rumahmu Padahal kalau pun mau dihitung Akulah yang lebih lama hapal alamat jalan rumah ketujuhmu Walau pun aku bukanlah yang pertama dan satu-satunya yang berada di samping rumahmu waktu itu Setidaknya cukuplah bagi nasihatku ini Membuatmu paham maksud

A LA LUZ DE

a la luz de E laluna Engkau yang paham bahasa tubuh Aku ingin menggeliat di wajahmu Sebagai mata, aku ingin masuk serupa cahaya Terang retina, terang yang menembus lubang jantungmu Entah seperti napas mana yang paling kau sukai Tapi konon Dari merah lesung pipimu Ada sebuah tanda sedalam lubang sumur Sebab gelap, aku tak ingin masuk lagi Kecuali engkau, E laluna Menyalakan lampu-lampu neon Apa pun warnanya engkau boleh memilih Dengan cahaya mana pun E laluna, engkau tetap memijar menyala-nyala di hadapanku 2011 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA4Nzc90HHxpZYrk0JnSKdGD9weSIzKil9-DwIjzvKLWELx0ecbyRF0iixHnVOcbeJmAldfivhLDXXZHWTIFkkVMd0GMX8ca6NFlkvoOAvRriNaYZKknFPw6TNvQQWIGUsGxjDfcmLA6Y/s1600/lampu-pijar.jpg

Replika

Barangkali malam sabtu Ada banyak kelelawar keluar jendela Di antara kota yang mati Dan lenyap dalam peta Seorang anak duduk menepi Memeluk tubuhnya sendiri Sebatang korek di keranjang Namun lembap Masih begitu terasa hangat Bubuk mesiu di permukaan Sesekali menyembul malu-malu Dinyalakannya api Tapi cahaya naik dan surut dari mata mengalir sumber air Langit beramsal lensa yang cekung Kantung mata yang lebam Tak bedanya seperti rumah-rumah kayu Yang dimakan rayap Namun sebuah ruang yang masih kosong Dan nampak mungil Tak cukup lebar untuk dimasuki Kecuali beban udara Melenguh, dan bernapas --maaf, Saya ini dulunya angin Sebelum tidur Orang-orang biasa berdoa Kuil dan dupa terbakar Dari mulut Berbagai ingin, dan murka memancar Menunjuk ke arah awan yang bergerak Seorang dewa tertegun Maka atas nama kesaksian di kota ini Saya rela hidup untuk ditampar Hingga kulit menipis Sinyal ombak mengerut Saya yang dibiarkan cepat busuk Pasti nanti datang dewa

Gombal

menyimpan sebidang dada pada sebuah nama dapat membuat kita kesepian Kesepian macam ini Ketika larut datang pada sepi Mengusap-usap hidung kita Dengan mesra udara masuk Pembuluh tapis, segenap itu juga Perlahan menyapu sesisir ombak Yang ikut tergerai dari pantai yang jauh Hingga tiba-tiba sampai pada kamar kita Yang belum sempat diberi warna merah jambu Padahal sepasang cermin sudah saling barhadapan Memburu mata kita Bayangan lalu jatuh Satu persatu pecah Namun tak jauh dari bekas langkah kita duapuluh menit yang lalu Kemudian ada suara Angin mengetuk-ngetuk Pintu dan jendela terbuka Saling berpeluk Kita memandang masing-masing mata Ini tangan Dan demi jantung yang pernah kita tusuk bersama Hingga bocor dan berdarah Nama kita melingkar serupa putting sepasang cincin yang lekat dan mampat Makin sempit di tubuh Ini waktu Mungkin sudah begitu dingin dan subuh Atau Ini laron yang gemar pada lampu Kita mengalir pada tik toknya Sampai menangkap mimpi paling