Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2010

Sudah Lewat Enam Puluh Menit

aku kali ini sedang duduk di kursi dan mendengar bunyi telepon-telepon barangkali ditujukan padamu dari urat leher hingga keningmu aku dapat melihat di antara saraf-saraf itu berdenyut mereka berlari dengan mata yang limbung di depan tiang-tiang listrik masih mendengungkan suara yang sunyi dan memperhatikan kita yang tak kunjung bertegur sapa beramsalkan debu yang tiba-tiba menghambur tapi tak juga mampu mengedipkan mata kita untuk sekadar basa-basi memburu atau sejenak saling tertawa dengan lepas semuanya terasa seperti mustahil terjadi karena orang-orang di luar mobil telah berganti pakaian ada yang ber-jeans ada yang bersarung di pusar perut dan terlihat menggantung di antara betis-betis dan dengkul-dengkulnya sudah lewat enam puluh menit aku masih terus diam mengumpulkan kata-kata yang pas buatmu yang semakin banyak bicara lalu sampai kapan, Nun kita terus-terusan menghindar dari godaan seperti anak muda lainnya untuk saling memahami dan berbagi sesuatu setelah hampir lima belas ta

Aku Menantinya, Ma!

“semoga aku tak melupakan suatu pagi ketika mama membuka dapur mencari air di cangkir-cangkir kopi yang kotor.” lalu di meja makan kakinya yang menyentuh sebuah catatan-catatan tagihan nasi dan ikan-ikan di swalayan begitulan kenangan-kenangan minggu kemarin aku masih menyimpannya di lemari berkala yang memantulkan raut mukanya raut muka yang senantiasa pucat saat menjelang pagi sebab catatan-catatan tagihan di dapur selalu berjatuhan di telapak kakinya mungkin sudah begitu lama mama menyimpan angka-angka yang menumpuk mungkin dalam pikirannya yang nanti akan meledak satu per satu memori wajah dan bonekaku telah mulai terhapus atau bahkan habis dengan percuma ”Ma, aku mencium pagi yang cemas lagi di sini bibirku selalu bergetar ketika menahan deras air-air yang bersumber dari segala tangis. Kacamataku dipenuhi percikan-percikannya. Meja belajarku basah sama seperti keringat yang memandikan dingin tubuh mama” dapat kuperas cermin kenangan itu lalu menjatuhkannya di antara rerumputan hij

Holocaust yang Akut

Cerpen Holocaust yang Akut ”berita hari ini, sekelompok remaja sekolah menengah atas melancarkan aksi lempar botol di depan kantor bupati sebagai wujud protes akan nilai standar kelulusan yang akan mereka hadapi.” ucap salah seorang reporter di salah satu stasiun televisi swasta. ”huuuaaahhh, tiap hari hanya berita keributan. Di sana perang, di sini perang, di situ ikut-ikutan perang. Aku jadi ngantuk. Yang ada hanya semacam pergulatan yang meneteskan banyak darah. Lama-lama aku makin muak” seorang lelaki menyambar ucapan tiba-tiba. Kalau dihitung-hitung memang ada benarnya juga, tanpa perang mungkin aku tak akan merdeka. Bahkan merasa was-was. Ya, walaupun sedikit dibuat-buat. Setidaknya aku akan menjadi manusia normal seperti yang lainnya. Untunglah tak banyak yang tahu siapa dalang kerusuhannya. Andai saja aku yang menjadi dalangnya, aku tak perlu repot-repot mesti ikut terjun ke lapangan. Itulah mengapa banyak provokator tertangkap dengan sia-sia. Membusuk di buih penjara. ”Dunia m

Sajak di Usia Empat Belas Tahun

Mengajak Pena Berkencan Kata-kata dari keramaian duka Gerimis, mata air yang tumpah Goresan pena itu dilumuri tinta darah Segenap tenaga diukir, terpahat, jauh lamunan Selongsong peluru dalam senapan Ku pacu dengan lincah menembus hutan Jari yang terluka di suatu senja Mendongeng jejak hujan, teks kehidupan Tumpah dari wadah, bungkuk berlutut harapan Kala senja itu ada kesedihan Jari yang terluka, teriris menganga, kepedihan Ketika ku mengajak pena berkencan Bercerita nostalgia roda zaman Andai jari manis tak pernah tahu Andai luka tak bertanya begitu Mengapa senja tumpah haru Ketika jari terluka di senja biru -----sajak saya di usia empat belas tahun (cukup berantakan) jan, 2009

Dari Monitor, Kita

----tersebab t.t Sejak tadi layar monitor menampilkan desktop dengan wajahmu Juga kenangan kita yang sudah lama Menahan sakit yang menahun Aku akan menyebutkannya satu persatu Dimulai saat kita memotong kabel komputer di laboratorium Sebab memang tak ada guru Atau pun pelajaran yang mampu mengusik gunting dan pisau tajam kita ”aku memustuskan kabel yang ini Supaya tak menghalangi sinyal-sinyal yang nanti akan kuantarkan ke lembar kerjamu Sampai jam dua belas malam Pastikan hanya ada angka nol dan satu Karena kode-kode yang sederhana itu Yang paling bersedia terjaga samapi esok hari Sampai kita menemu mata lagi : mata dari keyboard menuju tulisan di desktop” Lalu yang kedua Ketika kita menaiki satu kursi yang kehilangan kaki Tembok-tembok bungkam Beramsal huruf-huruf yang senantiasa menuruti Apa-apa yang kita taruh dan kita simpan melalui sepuluh jemari seterusnya Kita melakukan hal yang lain Berulangkali Kalau pun lonceng di sekolah Tak punya arti Pasti sampai saat ini Sampai monitor m

Subhi

pada satu garis yang melintang di ujung kedua alisku dan satu garis yang lurus di belahan kerut keningmu tertulis nama Tuhan yang kerap kita panjatkan tepat di waktu subuh mengantarkan tanganku kepada air wudhu yang dingin bila kita berdekatan mungkin saja tak ada lagi tanda kurang kali dan bagi dan hanya akan ada tanda tambah yang makin menambah kehidmatan dalam sujud-sujud akhir aku bermohon kepada-Nya untukku dan untukmu semoga senantiasa dalam damai semoga senantiasa lupa segala risau semoga senantiasa menggumamkan bunyi-bunyi kasih dari tempat tersembunyi yang kusebut itu hati assalamu'alaikum warohmatullah! assalamu'alaikum warohmatullah! dalam salam perjumpaan yang paling hening bersama-Nya, lalu bersamamu dalam mata yang menahan keruh di atas tengadah dalam salam menemu yang sedang menanti bersama-Nya, dan bersamamu dalam pejam yang lelah yang berairmata Sekayu, mei '10

Bersabarlah

bagaimana pun malam ini kau tetap datang kepadaku menemui wajahku yang bulat sebab semalaman aku menatap bulan menghitung senyummu yang masih berkata: Mei ”izinkan aku duduk ribuan jangkrik di tenggorokanku akan berkeringat mereka akan merloncatan di atas pundakmu” pintamu dengan pucat bukankah kau tahu kita mesti sabar mengukur-ukur langkah yang tepat dari kamar hingga meja belajar dari pintu hingga kembali lagi ke pintu bagaimana pun malam ini tetaplah sama tidak akan menjadi lebih pendek dan panjang ”dan kau, bersabarlah!” sekayu, 1 mei '10

Aku Menantikannya, Ma!

“semoga aku tak melupakan suatu pagi ketika mama membuka dapur mencari air di cangkir-cangkir kopi yang kotor.” lalu di meja makan kakinya yang menyentuh sebuah catatan-catatan tagihan nasi dan ikan-ikan di swalayan begitulan kenangan-kenangan minggu kemarin aku masih menyimpannya di lemari berkala yang memantulkan raut mukanya raut muka yang senantiasa pucat saat menjelang pagi sebab catatan-catatan tagihan di dapur selalu berjatuhan di telapak kakinya mungkin sudah begitu lama mama menyimpan angka-angka yang menumpuk mungkin dalam pikirannya yang nanti akan meledak satu per satu memori wajah dan bonekaku telah mulai terhapus atau bahkan habis dengan percuma ”Ma, aku mencium pagi yang cemas lagi di sini bibirku selalu bergetar ketika menahan deras air-air yang bersumber dari segala tangis. Kacamataku dipenuhi percikan-percikannya. Meja belajarku basah sama seperti keringat yang memandikan dingin tubuh mama” dapat kuperas cermin kenangan itu lalu menjatuhkannya di antara rerumputan hij