Aku seorang siswa, sedang belajar mengenal diri. Momentum untuk berkaca, selalu muncul di hadapanku saat aku merapatkan pandangan pada sebuaj kaca tebal. Permukaannya mengilap dan bening. Kedua bola mataku sedikitpun tidak lari melirik hal-hal di luar materi belajar.
Seekor ikan yang besar dan licin, berenang mengitari gelembung udara yang terperangkap di kedalaman air yang asin. Siripnya menerjang arus seperti kaki yang lincah berlarian di jalan beraspal.
Terkadang ikan itu berenang melambat, namun tiba-tiba juga bisa berenang kelewat cepat. Gerakannya serupa suara, bergetar. Ikan itu, melayang-layang. Siripnya lebar, tipis, juga lentur, mirip dengan selendang satin yang tenggelam menuju dasar air yang dalam.
Selendang itu, barangkali ketakutan yang gagal kusuarakan. Ikan yang berenang-renang itu seolah bicara padaku, membaca pikiranku yang tak jinak pada apa pun. Maka terkenanglah masa kanak dan drama permainan sengit ketika berkejar-kejaran di teras rumah nenenda yang terlihat luas dari kacamata seorang bocah.
Aku, anak yang gelisah di meja makan pun meja belajar. Aku kerap meraih tangan nenenda. Tekstur kulitnya keriput. Urat-urat di tangannya membikin lintasan terjal yang sulit disusuri oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Aku sengaja meminta nenenda datang menjemputku di sekolah lalu pulang menggandeng erat tanganku. Tangannya hangat, dan aku merasa aman. Nenenda sering menanyakan maukah mampir ke penjual kue basah. Lalu akan menjawab sekenanya sambil bilang, "Itu perkara gampang. Yang penting ada 'fish cake' aku akan makan sambil melihat-lihat kenangan yang hidup dan menyenangkan tersimpan rapih di lekukan saraf pengingat yang lunak.
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin