Langsung ke konten utama

Kenormalan di Rumah

Rumah telah menjadi semacam dunia baru bagiku
Tidak dalam pengertian bundar sungguhan 
seperti bola pingpong, ringan dan gampang digelindingkan 
terkurung ketika terperosok ke lubang berdiameter kecil namun dalam


Bagiku, rumah menyediakan arena permainan
Tiada habis konflik dan perseteruan 
Aku kerap bersitegang dengan diriku sendiri
Di depan cermin rias, sesekali aku menodongkan moncong pistol di kepala
Dalam hati aku menghitung satu sampai sepuluh sebelum menarik pelatuk
Dan membiarkan besi panas melubangi kening

Tapi tak jarang kuurungkan niat menghabisi sisa petualangan
sebab masih banyak sudut dalam rumahku yang belum terjamah
Misalnya saja di dapur, di dalam rak penyimpanan alat memasak
Aku teringat menyimpan berbagai pisau, serbet, sumpit, sendok takar dalam sebuah toples besar
Serbet itu kugunakan untuk menutupi mata pisau yang kelewat tajam
Lalu kubayangkan pelan-pelan, apa mungkin pisau, serbet, sumpit, dan sendok takar berkelahi
beradu argumen tentang bagaimana pandemic menghancurkan kehidupan
pengangguran menjadi kenormalan baru
kebiasaan hidup sehat diawali oleh keterpaksaan
lalu berakhir dengan mengurung diri, menjaga kontak fisik juga sosial
Semua serba virtual, bahkan bercinta 
tak lagi menjadi intim

Rumahku, dunia penuh teka-teki
Aku kerap menerkan hal-hal yang rupanya tak pernah kupahami
Misalnya ketika menutup pintu kamar mandi
mengapa harus dikunci
Atau ketika selesai mandi, mengapa handuk harus dijemur di bawah sinar matahari

Di hari kesekian
di rumahku
Aku menakar sedih dan bahagia


Jakarta, 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Terjemahan William Wordsworth - I Wandered Lonely as a Cloud

Hari ini, saya mencoba lagi menerjemahkan sebuah sajak berjudul I Wandered Lonely as a Cloud yang ditulis oleh William Wordsworth. Selamat membaca kawan! Semoga apa yang kita baca hari ini, membuat kita merasa penuh dan bahagia.  *** Umpama Segumpal Awan Aku Berkelana Aku berkelana umpama segumpal awan Yang melayang di ketinggian melampaui lembah dan bukit, Ketika tak sengaja kudapati sejauh mata memandang, Sehamparan bunga-bunga daffodil; Di dekat danau, di bawah rimbun pepohonan, Bunga-bunga daffodil melambai dan menari dikibaskan angin. Tak henti-hentinya laksana bintang-gemintang yang berkilatan Dan mengerjap di keluasan bima sakti, Bintang-gemintang itu, meregang dalam lintasan tanpa batas Di sepanjang tepian danau yang luas: Sekilas kusaksikan berpuluh ribu, Bunga-bunga daffodil saling beradu lewat tarian yang begitu lincah. Ombak di sebelahnya menggulung dan pecah; namun bunga-bunga daffodil Menghempaskan kilauan ombak itu dalam sukacita: Seorang penyair menjumpai dirinya te...

To Our 2nd Anniversary

The night has fall, curled around, and settled In silence and peace, the moon flickered courageously and stars blinked naughty It was a rectangled room with a hanging rattan bulb where the cold took hold A wave of joyful energy gathered and helped me chanted, "this day came, we're filled with love and pleasure." We have shared sunrises and sunsets Conquering all fears, expressing the passage of time, enduring love, and tumbling in joy. I dove beneath the quilt Drifted into dreams  "Before two, I was one celebrating the innocence, the unsolved questions about why I was one, not two.  I was a foreigner, wandered with a self-made map In the North I would see the frosting winter, magical skies with ribbons of light In the East, I would see new days filled with promise, flashing out warm greetings In the South, days stretch long, bread freshly baked, and conversations about clumsy feet strolling through the field never ends In the West, trees trembled the rustling leaves....

The Complexity

Last two days wasn't simple. I entered my bedroom and started to complain, "Why there's no one seemed to understand and listen to me? All of us has two ears but one mouth seemed louder and enough to create deafening sound that forced everything to lend their ears with no willingness."  I slammed the door. I threw my bag to the floor. I punched the wall that if they could talk, they would shout at me to stop. I kept punching the wall several times to mute the fire of the anger that burned my heart and head. The way I punched the wall was enough to break the bones of my hands into pieces. I might not show people that I was furious. I would just hide it till I found my safest place, I would resume to lose my sanity.  My chest was aching. My hand was numb. I found out that being destructive, would create a bigger pain than the anger did. That's when I gained the logical thinking back, I commenced holding the horse.  I moved backwards. I landed my feet on the bed and l...