Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2010

Mukamu, yang

Di batas kecipak air dan meja makan yang kosong Mukamu yang dikenang masalalu Sepuluh tahun dijerat leher dan urat usus yang buntu dengan ide-ide Menulis harapan, dan siang tanpa mengenal api Yang menyuluk dari riak air tenang Mukamu, di batas perih dan luka bakar tanpa api Yang lebih dulu habis. Sebab matahari itu dendam Kepada waktu yang lebih terang. Tahun menjadi semakin kacau dan tak berangka Anak-anak sekolah kehilangan makna Sepatu-sepatu dan dasi merah kehilangan akal dan debu kuning Yang mengotori ban sepeda, juga gerobak, juga mukamu. Dan tentang tulisan di wajahmu yang menyisir bulu-bulu kenangan Di depan cermin, sebelum berangkat sekolah Harapan menjadi ketiadaan semata. Harapan menjadi kulit kacang. Harapan pergi, kemudian hilang begitu belum tutup jendela petang Dari riak dan teriak air tenang yang jatuh di mukamu Bersamanya datang itu luka Datang itu perih Datang itu segala lara yang kosong yang lalu yang buntu yang tanpa mengenal api Yang tenang...

Nyanyian Selamat Datang

musim angin yang bergelayut di telinga telah berlalu. berlari dari waktu. bunga mawar mekar, daun ingatan di kepalamu semakin hijau. "kita serupa batang yang bergoyang bercokol di tanah, tempat atap rumah kita didirikan. dari balik matahari dan sinarnya yang dibawa udara musim angin akan dikenang" sebab kenapa di bumi kita yang belum cukup tua untuk kakek kita merasa bermanja-manja pada ibu bapak kita minta digendong dibawa ke sana kemari "saudara sayang mari tidur siang malam ini ada pesta di ladang mawar akan mekar musim angin akan datang di pelupuk mata ibu bapak kamu dan aku mesti bergadang, masak udang capit pedas cumi goreng bumbu syomai yang paling penting nila dan tujuh loki arak dari pohon aren di hutan yang bersebelah dengan bilah pengasah parang penebang kayu kita" atap kita akan tetap berdiri meneduhi dari waktu tiba matahari yang tembus pandang. nyanyian kita akan tetap dinamai selamat datang kepada musim angin dan mawa...

Mae, Dokumenter

Kasih di matamu bermain air Menjadi api di tiap malam yang tak ingin dikuliti sepi Lampu akan padam Dan selimut bergemetar di tepi ranjang Tidur pada nanar kamar itu, kamar waktu Kamar tentang pengabadian O mae* Di pembuluh darahmu *) berasal dari bahasa Portugis yang artinya ibu '10

Ringtone

pusara di lagu yang bernada garis retak biola, dan listrik di malam minggu yang masih ingin mendengar suara ”hai” katakan, o kita masih saja merasa mesra di usia yang belia di antara 89 tahun kandungan ibumu dan 94 kandungan ibuku katakan ya kita masih berbicara dan tertawa geli, berbicara dan saling menggurui bukan ini. tapi kita yang itu akan sepakat melompat demi istirah pada tiang-tiang nada lagu bertempo mars dan begitu cepat bermukim di tenggorokan kita berdawai dan bergesekan lalu menjadi geram mencubiti tiap lubang di pipi. Chubby kasihku , mana bisikan dan cintamu? berujung pada pukul berapakah rindu jam pada arloji ponselmu? '10

Sapu Tangan di

sapu tangan hilir di atas air sepi pada asap dan dada sapu tangan di sisi matamu meledak di tepi airmata mengalir ke lembah pipi dan tinggi hidungmu sapu tangan di sisi tanganmu : sepi asap airmata :sepi seka menuju dada :sepi yang beriak dan bergema   --Sekayu, '10  

Mengenai Sapaan dan Cinta

hai, kata cinta itu berpagut dari sinyal yang jauh jatuh ditimpa badai ribut badai yang meraung di dalam jantung badai yang menyuluk di tiap belai bulu dan rambut hai, kata cinta suara mana yang masih dapat dikenali di antara baris-baris senar cello yang begitu rapat? suara apa yang mendentumkan nada bertingkap, wajah terang langit di atas bumi kita? hai, dan cinta membawa kemari cinta menari dengan sepatu cinta hai, siapa kini cinta yang yakin atas segala denting-denting di redup kamar istirah yang mendengar dan berjinjit di atas pukulan nyaring angit angin hai, o cinta berayun-ayun di hilang daun yang selalu ingin naik di gedung menghadap senja berhati awan cinta berangin di tiang dudukan yang manis dan cinta yang serupa ingin menerus pergi bersama udara yang dingin hai hai cinta dan itu cinta pergi kemana cinta? -- Sekayu, 2010

Pemondokan yang Sempat Diingat

datanglah badai itu. menggemuruh di lebar daun, di tipis pintu yang bersekat tubuhku.. sebab kali ini tak akan ada batas antara waktu yang lampau aku baru ingat, pernah mengatakan tentang sebuah kubus bidang di lingkar puting ibuku. aku pun menyusu sampai tak ada air yang tergelincir di lubang kehausan tenggorokkanku. aku baru ingat, pernah memikirkan orang berpakaian asing. di lehernya terlilit balutan syal biru. meski tak ada hujan dan dingin, keringat dan panasnya pasti melunak. menjadi penyejuk sampai habis angin malam ini. "tidurlah pundak mana pun yang kau suka. tapi jenjang pundak yang kanan milikku masih ada bekas tusukan beling yang tak sudah gatal dan mengering. sewaktu-waktu aku pun akan bersandar melepas peluh di pundakmu." :mengecilkan suara perih, luka cepat pulih -- sekayu, 2010

DI BAWAH LAMPU JAM TIGA PAGI

Ganz Pecandukata * ada gambar wajah dan kakimu telungkup pada baskom berisi airmataku ** pundak dan tangan yang kuberikan rupanya susah menjadi huruf di gelombang menuju kotamu; kotamu yang masih rapi tapi, tampak segalanya seperti buritan *** jika dua mata ini tak cukup maka ambillah yang ada pada dadaku, sebab jantungku tau kapan harus berdetak kapan menyatu dengan detakmu **** jam tiga pagi ini ada tubuh yang puisi penangkal remang-rindu di bawah lampu yang gelisah memijar tanya apakah usiamu setara tangismu, mataku? http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/10/di-bawah-lampu-jam-tiga-pagi.html

saat itu

langit di batas kota menguning. lampu di batas kota kenangan di batas kota menguning. dan suara gitar piring makan, air minum di gelas yang bermuara ke selaput tangan kita, menguning. perjalanan yang jauh, kemudian jatuh menguning palembang, 2010

Tuhan, “Kamu Mesti Tahu”

Tuhan tak mengenal wajah siapa yang tertidur di sampingnya. Suara roll kaset radio berderak kacau. ”ku tahu kau selalu ingin denganku”*. Lima bait lirik lagu tanpa judul. Tuhan bernyanyi. Rak buku, tempat tidur, dan suara pesan di ponsel berdering. Dan bergemincing kelap-kelip. Di tubuh itu, Tuhan menyenggolkan perutnya yang masih gatal. Getah yang turun dari hujan di bawah pohon pinus yang bergulung-gulung, tiba-tiba turun. Sambil menegang matanya, Tuhan berteriak, :jangan berkuda di sini!” awas lika liku luka di betis pahamu akan melebar!” Hujan, dan rintik. Dibasuhnya keadaan yang menakutkan itu. Tuhan tak mau memekik. Wajah yang tertidur di sampingnya pasti terbangun. Mengusik ketenangan yang sudah lama tidak teratur. Debu, entah kuda siapa itu yang melaju. Pengelana yang datang jauh pasti tahu kemana jalan yang salah. Sepertinya di sini bukan jalan menuju tujuan dan jawaban. ”Aduhai! Turuti saja, dan kembalilah membelakangi hati yang sedang cemas ini.” ”Perkenalan wajah sia...