Cerpen
Arsitektur Senja Jelaga
Bermain pasir di pantai, wajah mama timbul perlahan. Perlahan dan terus saja hingga akhirnya makin jelas. “Kapan aku akan kembali jatuh ke pelukannya yang makin sempit? Sekedar untuk melepas rasa yang diberi nama rindu, dan mencium bau khas ketiaknya.” Kalimat itu begitu tegas terbesit dalam benak. Senja yang berkilat-kilat menambah kerinduan makin keras.
”Duh sepertinya langit tak bersahabat, seolah tahu rasa yang mengingatkan mama.” Kataku lagi sambil terus meninggalkan jejak yang makin memuncak. Ombak biru bergulung-gulung seperti baru saja menemukan rasa asinnya yang hilang berwindu-windu. Pun pohon kelapa yang ikut menarikan tarian khas dari pulau Hawai, seraya menyambut rasa asin yang tak lagi menghambarkan lautan.
Setiap senja, pantai itu selalu memanggilku untuk terus bercanda, walau tak kunjung mengganti kerinduan pada mama. Tak heran bila orang-orang di sana, sangat mengenalku. Tak sering pula mereka memanggilku ”angin yang merdeka karena senja”. Ya karena aku selalu ke sana setiap senjanya.
**
Lalu, suara sayup terdengar, merambat melewati telingaku. Rasanya begitu dingin, seperti habis menggigil. Kususuri pantai yang panjang untuk mencari suara itu. Begitu pun senja yang makin mengenalkan malam nambah cekam. Kakiku ingin sekali berhenti, tapi hatiku melarangnya. Sampailah di tepi pantai di mana ada satu jalan kecil di depannya. Di sanalah hanya ada aku dan gadis jalanan.
”Kaukah yang menangis tadi? Tanyaku seraya menarik nafas panjang karena kelelahan. Karena gadis itu hanya diam, aku menanyakannya dengan pertanyaan yang sama. ”Kaukah yang menangis tadi?” Berkali-kali ditanya, gadis itu terus diam. Mungkin ia masih menikmati hawa malam yang sejak tadi menemaninya menangis.
Aku berniat meninggalkannya. Tapi ia merogoh tanganku dan menarik tubuhku untuk duduk di sampingnya. Ia mulai membuka mulutnya. Kata per kata mengalir tanpa hentinya. ”Aku di sini sendiri, tak punya apa-apa. Setiap malam aku terus menangis, karena tak ada yang menjemputku. Ayah dan ibuku telah terbang ke langit ke tujuh. Hanya jalan dan hawa malam yang setia menemani. Dan mereka pulalah yang mengajariku bagaimana menangis dengan nada yang sangat lirih.” Begitulah katanya yang lalu terdiam lagi.
”Kau rindu pada orang tuamu? Sama, aku pun begitu. Sudah hampir satu windu aku menetap di pulau ini, tanpa mama di sampingku.” Jelasku padanya sambil merangkul tubuhnya yang kesepian.
Lalu aku memulai pertanyaan yang baru kepadanya yang masih terus bungkam, ”Kau tinggal dengan siapa di sini?” Setelah mendengar pertanyaanku ia pun terus diam.
Angin malam terus mengusap muka lusuh kami. Tak lama setelah aku memejamkan mata, tangisnya yang lagi-lagi lirih pecah, membuyarkan malam yang kian dingin. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Mungkin karena kenangan yang begitu membekas dan sulit dilupakan. Aku pun baru sadar, bahwa ia sendiri tanpa kawan.
Aku mencoba menawarkannya bermalam di rumahku. Dan selanjutnya mungkin aku akan menitipkannya ke panti asuhan. ”Aku tinggal sendirian di rumah, maukah kau bermalam di rumahku?” Aku memang ragu menanyakan hal itu. Tapi sepertinya ia merespon pertanyaanku. Dia menganggukkan kepalanya tanpa berkata apapun. Aku menafsirkan diamnya, bahwa ia mau bermalam di rumahku.
Ia berjalan membuntutiku. Mungkin karena ia masih takut denganku, orang yang baru dikenal yang serta-merta langsung mengajaknya bermalam di rumah.
**
Setibanya di rumah, aku lansung menyuruhnya membersihkan diri dari debu jalanan.. ”Oh ya, panggil saja saya kakak. Kau tak usah sungkan, anggaplah seperti rumahmu sendiri. Kamar mu ada di samping ruang tengah. Kau bisa mengambil pakain di lemari. Kakak sudah menyiapkannya.”
”Maaf Kak, bukannya saya tidak mau menganggap rumah kakak seperti rumah saya sendiri. Tapi rumah saya yang sebenarnya hanya jalanan.” katanya lirih. Aku tertugun dan merasa ada hal yang berbeda dari perkataannya. Aku kembali menenangkan hatinya, ”kalau begitu anggaplah seperti tempat yang pernah kau impikan. Walau rumah kakak tak sebesar yang kau bayangkan, setidaknya dapat melindungimu dari panas dan hujan.”
Aku lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Karena ku pikir tidak hanya aku yang lapar, ia pun pasti lapar.
Betul saja, saat di meja makan, gadis itu melahap semua makanan yang tadi baru ku masak. Walau rasanya agak asin, tapi aku senang masih ada yang mau menghabiskannya. Karena biasanya makanan yang tak habis langsung di buang ke tong sampah.
Saat di meja makan, aku dan Si gadis kecil tadi mulai melakukan percakapan serius. Si gadis memulai pertanyaannya, ”Kakak kangen ya sama mama? Kapan kakak terakhir bertemu mama? Adakah kata terakhir dari mama yang kakak ingat saat bersama mama?”
Aku hanya diam, dan mencoba memutar waktu. Mengingat-ingat kalau-kalau ada yang tertinggal di ingatanku.
Aku mulai menarik nafas dalam-dalam. Lalu memulai percakapan itu kembali. ”Kakak akan sedikit bercerita kepadamu. Mungkin dari cerita kakak, kau akan mengerti bahwa tak ada yang dapat mengalahkan rasa selain rasa rindu.” Sejenak ku telan sisa makanan yang ada di mulutku. Lalu memulainya lagi.
”Saat usiaku masih 17 belas tahun, aku menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Karena saat itu aku memperoleh nilai tertinggi di tingkat provinsi. Pihak yang memberikan beasiswa kepadaku, memutuskan untuk mengirimku ke sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, akhirnya aku menyetujui keputusan tersebut. Satu minggu kemudian, aku berangkat menuju Yogyakarta. Setibanya di sana, aku ditempatkan di asrama yang bila melihat ke jendela luarnya, akan langsung tampak pantai biru dengan ombaknya yang gelombang. Sayangnya pemandangan indah itu segera digantikan dengan rasa kangen sama mama.” Aku sejenak menghentiakn ceritaku dan lagi mengambil nafas yang dalam dan panjang. Lalu melanjutkannya.
”Setiap kali sepulang dari kuliah, aku terus memandangi pantai dari dalam jendela. Mungkin di pantai itu dapat kutemukan wajah mama. Tahun-tahun kuliah berlalu, dan kangen kepada mama semakin memuncak. Puncaknya saat wisuda. Ternyata mama tidak bisa datang. Mama terkena serangan jantung. Adikku bilang katanya mama terlalu capek atau terlalu pusing memikirkan masalah keluarga. Apalagi dengan usianya yang sudah tua. Mudah sekali bagi penyakit menggerogoti kesehatannya.” Aku kembali menghentikan perkataanku. Lalu aku menatap matanya yang terlihat haus akan kasih sayang kedua orang tuanya.
”Apa kau masih mau mendengarkan ceritaku?” tanyaku padanya yang sejak tadi terus memperhatikanku dengan seksama.
”Ya tentu saja. Aku akan terus mendengarkannya.” jawabnya dengan singkat.
Dan lagi aku meneruskan ceritaku padanya, ”Di saat wisuda itulah, aku melihat yang lainnya berkumpul dengan keluarga besar mereka. Kini pun setelah wisuda, aku masih belum bisa bertemu dengan mama. Mengingat kondisi mama dan jarak yang jauh, menghalangi rasa kangen kepada mama.” Aku menghentikan ceritaku karena mataku yang mulai berkaca-kaca. Bukan karena bercerita kepada Si gadis kecil tadi. Tapi karena rasa kangen yang telah mendarah daging di tubuhku.
Aku kembali tersenyum. ”Nah sekarang giliranmu yang bercerita tentang ayah dan ibumu.” Kataku padanya sambil mengusap lagi air mata yang hampir tumpah.
Gadis itu memulai cerita dengan suaranya yang agak lirih. ”Ayah dan ibu sebenarnya sudah lama meninggal dunia saat aku masih sangat kecil. Setelah kematian mereka, aku diasuh bibi tiri yang sebenarnya sangat baik. Tapi belakangan bibi acuh tak acuh padaku. Entah apa yang terjadi padanya. Saat bibi pergi ke kantor, seperti biasa aku masih membersihkan rumah. Sampailah aku di kamar bibi. Tak seperti biasanya, kamar yang selalu rapi nampak berantakan. Rak meja yang terbuka, jendela yang tertutup, lampu yang tidak dipadamkan, juga bau kamar yang kurang sedap. Bukannya lancang, tapi aku penasaran saat melihat rak meja bibi. Ada secarik kertas dari dokter yang berisi daftar obat yang harus di beli bibi. Di sana juga tertulis bahwa bibi mengidap penyakit ginjal. Aku yang belum mengerti hal tersebut, berfikir bahwa kertas tersebut berisi lelucon. Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin bibi menderita penyakit yang ku pikir aneh itu. Lalu malam harinya, bibi menampakkan hal yang aneh. Mukanya terlihat pucat keabu-abuan. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Mungkin karena rasa sakit yang tertahankan. Ia pun tak sadarkan diri. Aku yang saat itu panik langsung menelepon seorang dokter, dan memintanya untuk segera datang.” Si gadis menghentikan ceritanya, dan lalu mengusap tangisnya yang hampir pecah. Aku yang masih penasaran, kembali memintanya untuk bercerita. Dan akhirnya Si gadis meneruskan ceritanya.
”Saat dokter tiba, ia langsung memeriksa bibi yang telah diboyong ke kamarnya. Namun semua terlambat. Hanya tubuh kaku yang dingin. Bibi sudah tiada. Saat itulah tangisku pecah, meramaikan rumah yang senyap setiap harinya. Ternyata setelah kematiannya pun, bibi masih meninggalkan masalah. Ia terlilit hutang di bank, yang mengakibatkan rumah dan depositonya disita. Saat itu hariku yang baru dimulai. Hari di mana aku menjadi anak jalanan. Tubuhku bertambah kurus kering. Karena dalam sehari aku hanya bisa makan sekali. Itu pun bila ada yang baik hati memberiku makan. Jalan dan hawa malamlah yang mengajariku perjuangan hidup sebagai anak jalanan.”
Setelah mendengar cerita Si gadis mungil air mataku pun ikut tumpah. Seolah tak ada pembatas yang menghambat, ia jatuh begitu saja.
”Kau adalah gadis yang bersemangat baja. Berton-ton beban menindihmu, kau terus bisa bertahan. Sungguh, kau gadis yang hebat.” Jelasku padanya dan mencoba memberinya semangat.
Tak terasa makanan di piring kami habis. Tinggal sepotong daging tersisa di meja makan. Dan cicak yang melototi kami di dinding, jadi mata kamera di setiap suapan dan cerita kami. Aku berniat menyimpannya untuk besok sarapan.
Saat aku hendak mencuci tangan di kamar mandi yang ada di dekat meja makan, lantainya yang licin membuatku tergelincir. Kepalaku terbentuk ujung bak mandi yang agak tajam. Semua terasa gelap dan beku, lalu senyap. Aku mulai tak sadarkan diri.
**
Ada setitik cahaya yang menyegarkan mata. Aku terus mengejar-ngejarnya. Sampailah aku di sebuah ruangan. Bau obat yang begitu pekat memenuhi rongga hidungku. Sambil mengusap mata dan mengernyitkan alis, ”Ah, aku masih harus mencatat daftar obat-obatan dari dinas kesehatan yang baru masuk bulan ini. Kalau tidak selesai, aku pasti dimarahi pimpinan. Belum lagi gajiku yang harus dipotong, dan tidak bisa mengirim uang bulanan kepada emak yang mulai sakit-sakitan karena sudah tua Apalagi adik yang sekarang duduk di bangku SMA.pasti lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan.” Gumamku dalam hati.
”Astaga, kenapa ada yang aneh dengan bukuku? Basah dan lengket” Kataku dengan suara yang agak serak karena heran, lalu menghentikan langkah.
”Ya aku baru ingat, ternyata itu air liur yang tumpah karena asik bermimpi. Mungkin karena rindu pada emak dan adik telah membawaku ke negeri kapuk.” Sambil menggaruk-garuk kepala.
”Semoga saja mimpi itu tak terjadi dalam kehidupan yang nyata. Biarlah ia membeku di dalam mimpi yang tertinggal jauh di pulau kapuk.” Kataku sambil mengusap dada. Lantas aku langsung mengambil secarik kertas dan pena. Di sana ku tuliskan :
”Ibu,
Pohon-pohon kian tumbuh
Mekar dan menajamkan warna
Seperti rinduku pada jalan
Di mana ku tinggalkan jejak
Agar tetap ibu bisa memandangku
Bersama siang ganjil dan malam genap
Rasaku kian terkuak
Tumbuh dengan sempurna
Lantas aku terkenang padamu
Di jalan itu
Ku tinggalkan jejak rindu”
Sinopsis Cerpen
Bermain pasir di pantai, wajah mama timbul perlahan. Perlahan dan terus saja hingga akhirnya makin jelas. Ya keadaan itulah yang membuatku ingat pada mama. Walau jarak yang jauh, tetap saja tercium aroma khas tubuh mama.
Bersama gadis yang bermalam di rumah, ku ceritakan semuanya. Ternyata kami memang sama. Tapi bedanya aku masih memiliki mama, dan ia telah ditinggal orang tuanya.
Itu hanyalah mimpi belaka. Terlalu kangen dengan emak, rupanya membawaku sampai pada mimpi yang tak diduga. Dua pelaku utama, lagi-lagi hanya mimpi belaka.
(mar)
Arsitektur Senja Jelaga
Bermain pasir di pantai, wajah mama timbul perlahan. Perlahan dan terus saja hingga akhirnya makin jelas. “Kapan aku akan kembali jatuh ke pelukannya yang makin sempit? Sekedar untuk melepas rasa yang diberi nama rindu, dan mencium bau khas ketiaknya.” Kalimat itu begitu tegas terbesit dalam benak. Senja yang berkilat-kilat menambah kerinduan makin keras.
”Duh sepertinya langit tak bersahabat, seolah tahu rasa yang mengingatkan mama.” Kataku lagi sambil terus meninggalkan jejak yang makin memuncak. Ombak biru bergulung-gulung seperti baru saja menemukan rasa asinnya yang hilang berwindu-windu. Pun pohon kelapa yang ikut menarikan tarian khas dari pulau Hawai, seraya menyambut rasa asin yang tak lagi menghambarkan lautan.
Setiap senja, pantai itu selalu memanggilku untuk terus bercanda, walau tak kunjung mengganti kerinduan pada mama. Tak heran bila orang-orang di sana, sangat mengenalku. Tak sering pula mereka memanggilku ”angin yang merdeka karena senja”. Ya karena aku selalu ke sana setiap senjanya.
**
Lalu, suara sayup terdengar, merambat melewati telingaku. Rasanya begitu dingin, seperti habis menggigil. Kususuri pantai yang panjang untuk mencari suara itu. Begitu pun senja yang makin mengenalkan malam nambah cekam. Kakiku ingin sekali berhenti, tapi hatiku melarangnya. Sampailah di tepi pantai di mana ada satu jalan kecil di depannya. Di sanalah hanya ada aku dan gadis jalanan.
”Kaukah yang menangis tadi? Tanyaku seraya menarik nafas panjang karena kelelahan. Karena gadis itu hanya diam, aku menanyakannya dengan pertanyaan yang sama. ”Kaukah yang menangis tadi?” Berkali-kali ditanya, gadis itu terus diam. Mungkin ia masih menikmati hawa malam yang sejak tadi menemaninya menangis.
Aku berniat meninggalkannya. Tapi ia merogoh tanganku dan menarik tubuhku untuk duduk di sampingnya. Ia mulai membuka mulutnya. Kata per kata mengalir tanpa hentinya. ”Aku di sini sendiri, tak punya apa-apa. Setiap malam aku terus menangis, karena tak ada yang menjemputku. Ayah dan ibuku telah terbang ke langit ke tujuh. Hanya jalan dan hawa malam yang setia menemani. Dan mereka pulalah yang mengajariku bagaimana menangis dengan nada yang sangat lirih.” Begitulah katanya yang lalu terdiam lagi.
”Kau rindu pada orang tuamu? Sama, aku pun begitu. Sudah hampir satu windu aku menetap di pulau ini, tanpa mama di sampingku.” Jelasku padanya sambil merangkul tubuhnya yang kesepian.
Lalu aku memulai pertanyaan yang baru kepadanya yang masih terus bungkam, ”Kau tinggal dengan siapa di sini?” Setelah mendengar pertanyaanku ia pun terus diam.
Angin malam terus mengusap muka lusuh kami. Tak lama setelah aku memejamkan mata, tangisnya yang lagi-lagi lirih pecah, membuyarkan malam yang kian dingin. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Mungkin karena kenangan yang begitu membekas dan sulit dilupakan. Aku pun baru sadar, bahwa ia sendiri tanpa kawan.
Aku mencoba menawarkannya bermalam di rumahku. Dan selanjutnya mungkin aku akan menitipkannya ke panti asuhan. ”Aku tinggal sendirian di rumah, maukah kau bermalam di rumahku?” Aku memang ragu menanyakan hal itu. Tapi sepertinya ia merespon pertanyaanku. Dia menganggukkan kepalanya tanpa berkata apapun. Aku menafsirkan diamnya, bahwa ia mau bermalam di rumahku.
Ia berjalan membuntutiku. Mungkin karena ia masih takut denganku, orang yang baru dikenal yang serta-merta langsung mengajaknya bermalam di rumah.
**
Setibanya di rumah, aku lansung menyuruhnya membersihkan diri dari debu jalanan.. ”Oh ya, panggil saja saya kakak. Kau tak usah sungkan, anggaplah seperti rumahmu sendiri. Kamar mu ada di samping ruang tengah. Kau bisa mengambil pakain di lemari. Kakak sudah menyiapkannya.”
”Maaf Kak, bukannya saya tidak mau menganggap rumah kakak seperti rumah saya sendiri. Tapi rumah saya yang sebenarnya hanya jalanan.” katanya lirih. Aku tertugun dan merasa ada hal yang berbeda dari perkataannya. Aku kembali menenangkan hatinya, ”kalau begitu anggaplah seperti tempat yang pernah kau impikan. Walau rumah kakak tak sebesar yang kau bayangkan, setidaknya dapat melindungimu dari panas dan hujan.”
Aku lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Karena ku pikir tidak hanya aku yang lapar, ia pun pasti lapar.
Betul saja, saat di meja makan, gadis itu melahap semua makanan yang tadi baru ku masak. Walau rasanya agak asin, tapi aku senang masih ada yang mau menghabiskannya. Karena biasanya makanan yang tak habis langsung di buang ke tong sampah.
Saat di meja makan, aku dan Si gadis kecil tadi mulai melakukan percakapan serius. Si gadis memulai pertanyaannya, ”Kakak kangen ya sama mama? Kapan kakak terakhir bertemu mama? Adakah kata terakhir dari mama yang kakak ingat saat bersama mama?”
Aku hanya diam, dan mencoba memutar waktu. Mengingat-ingat kalau-kalau ada yang tertinggal di ingatanku.
Aku mulai menarik nafas dalam-dalam. Lalu memulai percakapan itu kembali. ”Kakak akan sedikit bercerita kepadamu. Mungkin dari cerita kakak, kau akan mengerti bahwa tak ada yang dapat mengalahkan rasa selain rasa rindu.” Sejenak ku telan sisa makanan yang ada di mulutku. Lalu memulainya lagi.
”Saat usiaku masih 17 belas tahun, aku menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Karena saat itu aku memperoleh nilai tertinggi di tingkat provinsi. Pihak yang memberikan beasiswa kepadaku, memutuskan untuk mengirimku ke sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, akhirnya aku menyetujui keputusan tersebut. Satu minggu kemudian, aku berangkat menuju Yogyakarta. Setibanya di sana, aku ditempatkan di asrama yang bila melihat ke jendela luarnya, akan langsung tampak pantai biru dengan ombaknya yang gelombang. Sayangnya pemandangan indah itu segera digantikan dengan rasa kangen sama mama.” Aku sejenak menghentiakn ceritaku dan lagi mengambil nafas yang dalam dan panjang. Lalu melanjutkannya.
”Setiap kali sepulang dari kuliah, aku terus memandangi pantai dari dalam jendela. Mungkin di pantai itu dapat kutemukan wajah mama. Tahun-tahun kuliah berlalu, dan kangen kepada mama semakin memuncak. Puncaknya saat wisuda. Ternyata mama tidak bisa datang. Mama terkena serangan jantung. Adikku bilang katanya mama terlalu capek atau terlalu pusing memikirkan masalah keluarga. Apalagi dengan usianya yang sudah tua. Mudah sekali bagi penyakit menggerogoti kesehatannya.” Aku kembali menghentikan perkataanku. Lalu aku menatap matanya yang terlihat haus akan kasih sayang kedua orang tuanya.
”Apa kau masih mau mendengarkan ceritaku?” tanyaku padanya yang sejak tadi terus memperhatikanku dengan seksama.
”Ya tentu saja. Aku akan terus mendengarkannya.” jawabnya dengan singkat.
Dan lagi aku meneruskan ceritaku padanya, ”Di saat wisuda itulah, aku melihat yang lainnya berkumpul dengan keluarga besar mereka. Kini pun setelah wisuda, aku masih belum bisa bertemu dengan mama. Mengingat kondisi mama dan jarak yang jauh, menghalangi rasa kangen kepada mama.” Aku menghentikan ceritaku karena mataku yang mulai berkaca-kaca. Bukan karena bercerita kepada Si gadis kecil tadi. Tapi karena rasa kangen yang telah mendarah daging di tubuhku.
Aku kembali tersenyum. ”Nah sekarang giliranmu yang bercerita tentang ayah dan ibumu.” Kataku padanya sambil mengusap lagi air mata yang hampir tumpah.
Gadis itu memulai cerita dengan suaranya yang agak lirih. ”Ayah dan ibu sebenarnya sudah lama meninggal dunia saat aku masih sangat kecil. Setelah kematian mereka, aku diasuh bibi tiri yang sebenarnya sangat baik. Tapi belakangan bibi acuh tak acuh padaku. Entah apa yang terjadi padanya. Saat bibi pergi ke kantor, seperti biasa aku masih membersihkan rumah. Sampailah aku di kamar bibi. Tak seperti biasanya, kamar yang selalu rapi nampak berantakan. Rak meja yang terbuka, jendela yang tertutup, lampu yang tidak dipadamkan, juga bau kamar yang kurang sedap. Bukannya lancang, tapi aku penasaran saat melihat rak meja bibi. Ada secarik kertas dari dokter yang berisi daftar obat yang harus di beli bibi. Di sana juga tertulis bahwa bibi mengidap penyakit ginjal. Aku yang belum mengerti hal tersebut, berfikir bahwa kertas tersebut berisi lelucon. Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin bibi menderita penyakit yang ku pikir aneh itu. Lalu malam harinya, bibi menampakkan hal yang aneh. Mukanya terlihat pucat keabu-abuan. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Mungkin karena rasa sakit yang tertahankan. Ia pun tak sadarkan diri. Aku yang saat itu panik langsung menelepon seorang dokter, dan memintanya untuk segera datang.” Si gadis menghentikan ceritanya, dan lalu mengusap tangisnya yang hampir pecah. Aku yang masih penasaran, kembali memintanya untuk bercerita. Dan akhirnya Si gadis meneruskan ceritanya.
”Saat dokter tiba, ia langsung memeriksa bibi yang telah diboyong ke kamarnya. Namun semua terlambat. Hanya tubuh kaku yang dingin. Bibi sudah tiada. Saat itulah tangisku pecah, meramaikan rumah yang senyap setiap harinya. Ternyata setelah kematiannya pun, bibi masih meninggalkan masalah. Ia terlilit hutang di bank, yang mengakibatkan rumah dan depositonya disita. Saat itu hariku yang baru dimulai. Hari di mana aku menjadi anak jalanan. Tubuhku bertambah kurus kering. Karena dalam sehari aku hanya bisa makan sekali. Itu pun bila ada yang baik hati memberiku makan. Jalan dan hawa malamlah yang mengajariku perjuangan hidup sebagai anak jalanan.”
Setelah mendengar cerita Si gadis mungil air mataku pun ikut tumpah. Seolah tak ada pembatas yang menghambat, ia jatuh begitu saja.
”Kau adalah gadis yang bersemangat baja. Berton-ton beban menindihmu, kau terus bisa bertahan. Sungguh, kau gadis yang hebat.” Jelasku padanya dan mencoba memberinya semangat.
Tak terasa makanan di piring kami habis. Tinggal sepotong daging tersisa di meja makan. Dan cicak yang melototi kami di dinding, jadi mata kamera di setiap suapan dan cerita kami. Aku berniat menyimpannya untuk besok sarapan.
Saat aku hendak mencuci tangan di kamar mandi yang ada di dekat meja makan, lantainya yang licin membuatku tergelincir. Kepalaku terbentuk ujung bak mandi yang agak tajam. Semua terasa gelap dan beku, lalu senyap. Aku mulai tak sadarkan diri.
**
Ada setitik cahaya yang menyegarkan mata. Aku terus mengejar-ngejarnya. Sampailah aku di sebuah ruangan. Bau obat yang begitu pekat memenuhi rongga hidungku. Sambil mengusap mata dan mengernyitkan alis, ”Ah, aku masih harus mencatat daftar obat-obatan dari dinas kesehatan yang baru masuk bulan ini. Kalau tidak selesai, aku pasti dimarahi pimpinan. Belum lagi gajiku yang harus dipotong, dan tidak bisa mengirim uang bulanan kepada emak yang mulai sakit-sakitan karena sudah tua Apalagi adik yang sekarang duduk di bangku SMA.pasti lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan.” Gumamku dalam hati.
”Astaga, kenapa ada yang aneh dengan bukuku? Basah dan lengket” Kataku dengan suara yang agak serak karena heran, lalu menghentikan langkah.
”Ya aku baru ingat, ternyata itu air liur yang tumpah karena asik bermimpi. Mungkin karena rindu pada emak dan adik telah membawaku ke negeri kapuk.” Sambil menggaruk-garuk kepala.
”Semoga saja mimpi itu tak terjadi dalam kehidupan yang nyata. Biarlah ia membeku di dalam mimpi yang tertinggal jauh di pulau kapuk.” Kataku sambil mengusap dada. Lantas aku langsung mengambil secarik kertas dan pena. Di sana ku tuliskan :
”Ibu,
Pohon-pohon kian tumbuh
Mekar dan menajamkan warna
Seperti rinduku pada jalan
Di mana ku tinggalkan jejak
Agar tetap ibu bisa memandangku
Bersama siang ganjil dan malam genap
Rasaku kian terkuak
Tumbuh dengan sempurna
Lantas aku terkenang padamu
Di jalan itu
Ku tinggalkan jejak rindu”
Sinopsis Cerpen
Bermain pasir di pantai, wajah mama timbul perlahan. Perlahan dan terus saja hingga akhirnya makin jelas. Ya keadaan itulah yang membuatku ingat pada mama. Walau jarak yang jauh, tetap saja tercium aroma khas tubuh mama.
Bersama gadis yang bermalam di rumah, ku ceritakan semuanya. Ternyata kami memang sama. Tapi bedanya aku masih memiliki mama, dan ia telah ditinggal orang tuanya.
Itu hanyalah mimpi belaka. Terlalu kangen dengan emak, rupanya membawaku sampai pada mimpi yang tak diduga. Dua pelaku utama, lagi-lagi hanya mimpi belaka.
(mar)
Komentar
Posting Komentar
hembusan yang akan disampaikan pada nona-angin