Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2009

Menggenap di Garis Waktu

Ambillah aku dari segenap jiwa di tebingtebing Di bawahnya yang mengalirkan banyak air Lalu menggiringnya ke muara sungai yang tak kunjung kering Dari sungai yang tak kunjung kering Lahir tetes air yang setiap waktunya Muncul sumber yang baru bagi kehidupan baru Kehidupan baru setelahku Menggenap di garisgaris waktu 2009

Tak Diam Lagi, Suara Kami Kembali

ah kami cuma bisa diam seperti dinding kamar kami yang menyaksikan debur ombak meraung lalu pecah bersama diam kami. Bertahun-tahun diam menua sendiri, bukan karena kami: tapi karena diam kami yang berbongkah-bongkah bertapa di mulut kami. setelah diam berjumpa pada waktu yang lama, asin yang bermuara di lautnya yang panjang telah kembali kepada mulut kami yang kemudian memberi kami potongan-potongan kata yang akhirnya memberi suara pada diam kami. lalu kami pungut lagi setelah kata-kata meluncur dari mulut kami, dari diam kami, supaya jangan habis asin yang telah kembali, yang setelah pulangnya dari laut yang panjang, bergelut dengan ombak; bergelut dengan badan-badan ikan, lalu akhirnya pecah di mulut kami. suara kami telah kembali, setelah menahan senyap-sepi pada malam-malam ganjil dan bersama dinginnya yang gigil, pun anginnya yang telah sampai di menara paling tinggi, menggiring asin kami, tertuju pada mulut kami. Kami tak lagi diam seperti dinding kamar. Kami punya suara, dan su

Bang

” Bang, lihatlah di atas lautan yang lagi menderu-deru bayangan kita terpajang di sana : berlapis kepulan debu ; kulit goni ; lalu wewangian khas yang kita tunjukkan sehabis lelah : adalah asinmu yang telah mengerak menjadi satu pada dada lautan, Bang! Di sana kau hidupkan benih dari segala didih dari api yang mengikat buihbuih dengan sabunnya, dengan gelombangnya bersamasama. Maka kau, Bang! Diriku berlapang.” 2009

Wajahmu Pengkremasian

Ada paras wajahmu Yang lalu terbakar di dalam unggun Setelah menenggak kopi Yang disaji dengan roti Di sana Mungkin Wajahmu yang kemerahan Mulai kehitaman Kedinginan atau kepanasan Karena kau minum bir Atau sekedar berbincang Dengan tamu undangan Di pesta kremasimu Tadi siang Wajahmu tak lagi kelihatan Berkalikali samar Lalu mulai menghilang, di balik Api unggun pengkremasian Tinggal abu sisa pembakaran, Bersemayam di tembok zaman Dan kami yang jadi kedinginan 2009

Musim di Jalan Kota

Duh : berkalikali awan memagutku Dari kepak sayap yang rontok Jatuh di binar mata Setelah sesaat mengernyitkan alis Bahwa musim ini : musim melati Tak berbunga lagi Jalan di kota nampak sepi Bertahuntahun lengang lalu didih Bersama api dari percikan matahari Paras kota agaknya gosong Dan merembeslah melalui pori pun celah Menghitamkan segala, menarik daundaun Patah dari batang pohon yang tak pernah goyah Musim belum berganti Kulo pasati tembokan jugo gedek kamar* Tak ada fotomu menggantung Hanya retak tua dan sawang membayang Yang lagilagi jatuh bersama daun Yang tadi patah dari batang Duh : hanya kata yang masih sempat mengguyur kota Turunlah sesuatu dari langit yang hanya diam Tumbuhlah melati yang tadi padam Lekatlah daun pada batang Jangan sampai pada goyah Karena pada akhirnya Musim di jalan kota pasti tiba *ku lihat jalan pun dinding kamar 2009

Di Perjalanan

Aku pergi Setelah memeluk ibu Dalam buaian sendiri Aku pergi Kala jalan masih kelam Ada malam Yang mengintai langkah Jejakku tinggalkan Aku pergi Ibu tambah sepi Jalan lelap Dalam malam Aku pergi 2009

Teh Manis : Kusaksikan

\1\ Hanya sebatas teh manis Saat malam pertama Yang mempertemukan antara kulit (bertelanjang dada) Dingin mengguyur Kepadamu, kesaksian kukubur Di atas ranjang Di bawah bulan : Ku titipkan segenap Nafsu purba \2\ Di atas kesaksian kubur Ku saksikan : Tubuhmu terlunta Berlari mengejar-ngejar Yang tertinggal Yang sejak tadi Telah dijemput di hari ketiga. 2009

Afirah

”Yang tertuang di keningmu terbayang di waktu malam masih gugu meleleh melewati baris-baris nafas antara dada dan jantungmu. Begitu takut kau pada fajar lalu sembunyi di bawah api. Bukan pagi bukan pula kau Afirah, yang terselip di jeruji sifatmu pada malam mengenangkan yang telah padam!” sekayu, 2009

Ah, Benalu

: dekap saja ia di lekuk dadamu (yang kau pintal dari tumpukan pita merah jambu) ikatlah ia di lehermu, supaya jinak. Dan kau mabuk untuk itu, lalu pun kau lupa segala benalu Sekayu, Juli 2009