Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2009

Saya Katakan, "Sayalah yang di depan Pintu itu."

orang yang kucintai bertanya saat aku mengunjunginya, siapa yang berdiri di depan pintu? jawabku, aku. katanya, kau salah kenalkan diri ketika kita dipisahkan di dalamnya. setahun telah berlalu dan tatkala aku mendatanginya, kuketuk pintu dengan melemahkannya. dia bertanya kepadaku, siapa engkau, kujawab, kulihat hanya engkau di depan pintu. dia berkata padaku, kau telah tepat kenalkan diri dan kau tahu makna cinta, masuklah.* *dikutip dari La Tahzan, halaman 331

mencapai kenangan

_tersebab rasti_ /1/ "dengan ujung matahari paling lindap kenangan kita makin panjang ke barat mencapai bulan yang kian karat oleh malammalam cemar dan lagi pekat" /2/ "kita sama dengan daun yang goyang dari pohon yang banyak cabang"

tanah subuh

Burung telah datang membawa banyak benih biji dan sari yang terkandung dalam rahim tanah (tempat menggeraikan tubuh mereka saat gelombang hujan badai gulungan gerimis yang landai) siang menepi membawa burung terbang burung itu beramsalkan pohon yang banyak daun juga buah rambutan : yang asalnya dari benih biji yang banyak rambutnya sama seperti bulu burung yang kadang rontok menyentuh segala ujung pangkal yang membikin banyak tanaman yang mengalir dalam rahim tanah di mana pinggulnya : subur lebih dari segenap gerimis sebelum hujan mengalir banih

Sengai Perawan Tanpa Lelaki yang Datang

sepanjang perjalanan di hutanhutan sungai tetap sama mengalir mengairi tanahtanah yang belum ditumbuhi benih yang masih perawan tanpa lelaki yang singgah sekedar mencetak telapak kaki yang penuh dengan kotoran pada riaknya yang masih tenang dan belum gelombang semua masih bergelayut di tempat yang sama tanpa tanda kedatangan ada yang kosong di rahim mereka (benihbenih yang belum ditanam) "hai lelaki yang dulu singgah kemana nakalmu yang telanjang di sini telah berlapang selaksa bulu tanpa benang" sungai yang perawan membawa dirinya terus mengairi tanah seperti anak mereka yang harus diberi makan bekas kerinduan palembang, september 2009

Paku

. . . . . . . (begitulah ia menajamkan kepalanya, meruncingkan ujungujung yang kian tajam oleh segala lapis ranggas yang berkarat) Begitulah kiranya Palembang, September 2009

Daun Yang Jatuh Bersama di Depan

Udara yang dihembuskan oleh burung yang bertengger di pohon mahoni ternyata lebih dingin dan lebih segar dari udara yang keluar dari nafas pohon-pohon itu sendiri. Saat semua panas tersedot ke dalam bulubulu hidung dan ronggarongga dada, mereka mencerna dan lalu menyimpannya di wadah yang kedap wangi (bau yang mencari kesegarannya). Setelah burung itu menghembuskan untuk kedua kalinya Basahlah semua tanah yang mengering karena terlalu banyak Menguapkan kerinduan hujan yang masih jauh untuk sampai dan Lagi membasahi setelah sempat lebih dulu udara itu menggamitnya. (bukan main beningnya dibanding kaca di permukaan air dangkal yang banyak ikannya) Lalu udara itu menangkap semua yang gelombang. Pernah saat itu daun yang jatuh bersamasama di depan (yang dulu bergelayut pada induknya) di ambil lagi supaya jangan mengganggu tanah dan pohon tidak gundul merata. Semua harmoni (antara udara yang keluar melalui burung, daun yang lepas setelah bergelayut, dan tanah kering) menggumpal dan lagi

Gerimis pada Beribu Panjang

Sudah sampai di muara mulut kami Bongkahan kerikil dari sisiran pinggir Menuju lidah kami, menggiring Masuk ke dalam dengan penuh Dan memeram bulat wajah kami Katakanlah telah sampai dari beribu panjang Melalui hujan hutan yang runtuh Oleh gelombang Dengan segala riak batu yang Menerjuni tebing tebing Dan oleh pantai pesisir yang gerimis Dengan pasir Kami menjelma seperti kata Di mana di setiap bunyinya Di situ kami menangis pecah Dan lagi menjelma gerimis O sayup di pelupuk mulut Dan lalu bermuara ke dalamnya Bersama lekuklekuk Yang kian menyempit Ribuan denyut gerimis Dan lagi kami menjelma Pada gerimis kami tertahan Menjadi tangis Rasa garam dan asinnya Dari beribu panjang Kembali menjadi gerimis Sekayu, 10 September 2009

Seperti tak Ada Hujan di Musim Panjang

Musimmusim masih sama saat tak ada hujan yang menenggelamkan pasirpasir ke dasar sungai, menenggelamkan asin ke badanbadan ikan, dan lagi mengembalikannya melalui angin mungkin juga pada pepohonan yang menanggalkan ketinggiannya. Bukan untuk hujan tapi agar sama rata dengan pohonpohon di hutan yang ditinggalkan oleh burung dan semut dan rayapnya. Waktu kian meluap menuntaskan kering dan kebekuan zaman. Saat matahari mendidihkan segala permukaan, semua pun runtuh menjejak ke tanah, lebih dalam dari akar sekali pun yang menggurat. Dan lebih rendah dari rumput yang membongkokkan tubuhnya, bukan karena takut. Tapi rasa lapar yang mengakar setelah musim nambah panjang. Masih sama dan lagilagi sama. Kering seakan menjadi bagian hidup. Saat kita laihat pohonpohon di luar pada goyang seraya merayu hujan untuk tidak merajuk dan kembali menjenguk musim lama. Dan di dalam : dinding tetap diam. Tetap tidur dan tak mau tahu tentang di luar. Karena kekeringan, semua kepayahan. Gairah hidup makin ber

Penghujung malam Tanpa Sisa Mataharinya

Telah digariskan batasbatas malam yang menggoyahkan dingin dan gigil lebih dalam dan lebih dulu tahu bahwa tak ada siang pada saat tebingtebing nambah curam, dan menerjuni setiap garis di penghujung malam. Apalah arti sekian banyak waktu yang terbuang siasia, kami masih kosong, perut kami sesak oleh udara yang cemar, dan kami telanjang, karena telapak tangan dan kaki kami mengeras di pinggir tebingtebing. Duh! Penghujung malam tak lebih dari segerombol burung yang lindap di bawah potongan bulan tanpa sisa sepenggal mataharinya. Dengan huruf P besar, kami makin mengecil tak karuan. Semua seolah tak ada zaman yang menggantikan batas-batas malam. Puing malam pada garis-garis menggoyahkan kami, beserta dingin dan gigil lebih dalam, lebih dari tulang dan tembus di kelengangan jalan. Pada akhirnya kami terus mencari batas ujung dan awal dari segala malam. 2-8 September 2009

Dengan Menebang Aku Menghilang

di atas perapian, ku bungkam denyut kota dari segala jalan, hilir menujumu ku hentikan. bukit-bukit memanjang, menunggu,abu, dan asap yang gelombang. (ah, sayang! Aku hanya bisa memahami dari bayang belakang yang tertahan di ujung badan, dan tak sempat masuk ke jari-jari untuk disimpan lekat-lekat sampai uasang). Kau yang kian menggetarkanku sampai ke kulitkulit yak peka rangsang, di situ kusampaikan telah ku potong baris-baris bukit panjang, denyut dari segala kota yang lengang. Melalui itu, aku cukup mengenangmu, tanpa perlu memeras rambutku yang tergerai setelah sesaat kujadikan jembatan seberang. Dan kau pun tak sungkan berjalan dengan kaki setengah pincang. Ada deretan bekas bukit belum ditebang yang terus mengikuti ke mana saja aku membuang tapak kaki, lalu telanjang tanpa benang, tanpa kandang. Barangkali mereka tahu aku tak berlaku demikian saat metahari pada siang dan bulan mendatangi petang. Berkali-kali tetap sama. Bukit menyiksaku dengan tebang! tebang! katanya padaku agar