Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2009

Melalui Ricik Akar

di luar : debu tanah (yang hidup menunggu kalaukalau langit menangis) menatap basah tentang kerinduan daun yang patah, bunga yang menajamkan warna, lalu membelai kita sejurus, juga masuk ke mulut jendela. angin yang tibatiba lewat, setelah membelai kita, dan bersama gerainya badanbadan tanah, lekuklekuk dan cacing tanah, mengabarkan reruntuhan api yang menandakan kehidupan baru, yang pada mulanya tidak ada, hanya kosong semata. lalu setelah yang terjadi pun terjadi, segala tanya : pada mulanya, debu dan tanah terpisah, di atas dan di bawah. apa yang membuatnya rindu pada daun dan bunga tanpa patah dan warna, lalu tak pula ke mulut jendela. yang angin mengabarkan sebuah keruntuhan, bila api makin merah dan bertambah nyala, mana tanda kehidupan baru itu, atau bisa jadi tertunda. pada akhir segalanya, yang berasal dari luar : debu tanah, angin, pun kosong semata. melalui ricik akar, dari yang kokoh itu ia bertapa.

sebuah percakapan

Ibu, lekas aku mengerti Yang dulu Kala sesuap hari Sesajak pagi Kau bilang : Bila matahari berlari Dan debu menggamit langkah yang Dijejaki : Maka jiwa sudah dibebani Janji mesti ditepati Dan malammalam pasti diterangi Lalu kau, dirimu sendiri : Hidup yang utuh tanpa basabasi Palembang , Juni 2009

yang diberi nama rindu

yang diberi nama rindu 1 tak ku dengar suaramu di musim itu. Telinga yang begitu lengang nampak dari sisi depan mukamu, berwarna merah menyala. dan remuk_lalu membusuk kala diterpa rindu di waktu suntuk. Lalu rindu yang mengguncang banyak getaran kantukku yang mrnggiringku lengah dalam mimpi_membaur bersama wangi tubuhmu. 2 sesaat itu, segalanya masih gelap. Inginku turuni tanggatangga yang memikat sekap yang lalu mencegah jejak mengikuti langkahku. tapi bolamatamu menyergap segenap lelalku_tibatiba. Dan hujan yang bernadanada sejenak terhenti saat tumpahnya. Lalu angin yang menggemagema memutar arah, dan rasa yang diberi nama rindu_menderadera tetap menyala dan makin memerah. di jalan tua itu, ku lepas tanganmu yang dulu merogoh sukmaku_begitu dalam. Aku pun agaknya terpental ke lumpur hitam. Kau gunakan yang sedang merindu jadi sarat lapar dan haus purbamu. Mungkin edan. Tapi begitu jalang. 3 dari munculnya api yang menjalar di sebelah timur, maka lenyapla

wajah-wajah langit

Langit menunggu jenuh sungguh Pada pagi yang hampir tenggelam fajarnya Pada senja yang hampir lenyap bulannya Yang saat datangnya mereka pada dunia Adalah seluruh wajah-wajah yang permukaannya Pada kulit yang terjal sisinya Jadi dupa Dan langit merah Jadi dewa Dan langit murka Pada lebar alasnya Lalu dalam jenuh di baliknya Ada wajah-wajah tanpa dusta Mereka bermain, berlarian menuju bukit Yang tak menunjukkan puncak Segenap mereka telusuri ribuan matahari yang terangnya Mereka tiduri ribuan bulan yang kelamnya Bergiliran Betapa gamangnya! Dan senantiasa langit menunggu jenuh sungguh Adalah seluruh wajah-wajah Yang tenggelam fajarnya Yang lenyap bulannya sekayu, 2009

lahirnya api

1 adakah lahir yang membawamu mengerti bahwa abu. yang terbakar di bawah ketiak api_yang menderadera dalam sunyi, telah bersemedi bersama muasalku. lalu lahirnya oleh waktu_cinta yang bertapa berwinduwindu, telah menjadikan aku lahir dari telunjukmu. 2 setelah asap mengepul membakar kerak cangkangmu, lalu bersama abu yang mengeringkan kesiasiaan_waktu genap yang telah menyimpan kakimu : adalah api_yang telah melebur bersama didih, yang kian menghablur.

you're always in my heart

smanda is our first home. by sharing each other, we can make it a better place : full of smiling, kidding, learning, and wow,,, so many things we can do here.. just like two body and soul, we can't be separated by anything. because we believe, the togetherness is like the jewel in the palace, where all peoples are gonna take and care it as their furtune... and at the long run,, smanda is our first home... ^_^

panas

saat yang dingin menghapusmu, masuklah kamu ke rumah kokoh itu, dan lahirlah kamu melalui telunjukku, karena ini ibumu, memintamu, mengipas diri di waktu panas

di bawah ketiak api

Andai Ayah_ andai ayah mengetuk pintu yang semula berpijar mengulum rindu malam yang bergetar bersama waktu 'takkan pecah menanti senyum yang tertahan di bibir berbekas debu dalam malam larut dalam kelam terdengar langkah menuju pintu hanya angin bergumam, menggamit ngilu ayah tak jua datang melumat api yang padam namun mataku tak pula terpejam cahya semakin menusuk diam-diam mengadukku dalam gamang yang makin didih pasti, ayah_jiwaku sumbang mengingatmu dalam mimpi sekayu, 2009 _menjadi puisi_ aku tertegun nyeri kau bergumam :wahai pengantinku bergelutlah kamu bersama cintaku biarkan kulitku melaipisi malammu dan liarku menjadi penobatan candi yang kita tulis menjadi puisi sekayu, 2009 _aku kembali_ ke pangkuan lama yang dikenal sepi yang sejak dulu ku semai dalam lemari akhirnya hablur menjadi buih ke sinar lampu yang sering mati terpejam karena tak ada pagi menjalar bersama harum matahari ke selimut yang menemani mimpi di atas ranjang panuh puisi katanya, sekarang menjadi rupa