Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

NGERI MEMIKIRKAN KITA

Sedang di langit Dan awan-awan kelabu Datang mengiringi sajak kita yang hujan Aku membawa sapu tangan dan menjadi gerimis di haluan Jalan-jalan menuju pangkuanmu tiba-tiba meruntuh Aku tidak ingin datang sia sia Sebab usia di sini yang menua Dan sajak gurun yang bergulir meniti Pengakuan dan penebusan kita yg akhir Menggenang di keluasan ketabahan Sepertinya kita mesti gamang Dalam bola matamu Yang menjual kenangan selepas pergi Dan datang kembali Aku berjalan tanpa tepi Lengkungan langit dan awan-awan Kian meneduh Pada ikatan tiket perjalanan masa depan Sudah waktunya Ketika seorang nabi Turun menjadi wahyu cinta Dan kita yang sempat hilang Sedang sabda yang kadang menunjuk malu-malu Bahwa kitalah sebenarnya menjadi jantung Gemuruh dalam detak Dan aku tidak nyenyak memikirkan kita Lagit dan awan-awan jingga dalam kantong plastik Ada rokok super dan pemantik Ada garam dan gula pasir Aku rindu pantai pada lukisan bungkus

GUNANYA PERTUNJUKAN MALAM NANTI

suatu malam aku merindukan seorang kekasih dari kepongahan yang diciptakan sendiri ketika aku cemas dalam gelisah yang memungut tahun-tahun menjadi drama singkat di atas panggung yang mencinta seorang pemain mesti keluar dari sana dalam gemas percakapan itu aku menulis catatan-catatan ditambah bulan kecil yang mengail wajahku melekat pada sebuah pertanyaan lantas seorang pemain yang lihai menggoda seorang wanita yang diam-diam ingin bersama waktu dan kegosongan kejujuran yang paling utama hingga yang lain beserta tik tok keringat dan perayaan yang dicemburui dan seorang wanita yang sibuk saat menanti mesti dipertaruhkan semut-semut pada wajahku memerah sari wajah-wajah dalam naskah telah habis dan percakapan yang memantul dari seorang pemain dan panggung yang sigap dalam sendiri akan bermain pada tahun-tahunnya yang panjang

NAMA(MU)

Hanya langit memandang kita dalam gelembung nista yang membengkak Aku tidak ingat namamu Kartu nama yang pernah disimpan di sini Menjadi kabut dalam sunyi Aku tidak mengenal namamu Saat itu aku letakkan sebuah mata pena yang melukai kertas-kertas yang menyudut pada garis tanganku Diam-diam menghafal detik yang tidak ingin runtuh dari tik tok yang sedikit gemetar Namamu Ketika hanya rahasia yang menentukan batas gelap Dan yang kosong tidak lagi menyebut sesiapa yang mesti diingat dalam kelam bertubi-tubi Namamu Waktu itu hanya bulan yang mendekat pada rumah kita Angin berisik sesekali menyapu ingatan dalam tubuh tangis Aku ingin menulis nama-nama kesabaran yang mengobar lewat ketajaman waktu

KITA SEKALI LAGI

Aku ingin mengerjar mimpimu sayang Sampai pada keharuan yang pernah kita tulis sebagai boneka-boneka yang gemar melihat saat tidur tidak lagi mengobati kerinduan Aku bermimpi dalam mimpi Menciptakan sosok dengan puisi dan gambar Aku terkenang dengan lembayung biru yang mengalir di atas langit kita Aku bayangkan sebuah laut sedang tumbuh di sana Sebuah metafora tentang pelangi yang memuat gelombang kehidupan antara sajak kini dengan buih biru dan gelembung yang kadang membuat mimpi ini terbang ke mana saja di langit Atau tongkat yang membangunkan kita pada gerak zaman yang lain Di sana aku termenung dengan kemurungan Aku ingin melukis kuda nakal yang berlari pada sepasang mata boneka Aku menangkap Aku mengejar jarak yang sudah begitu melaju Dalam kenang-kenang mendamba Mimpi kita yang rimba

MENANGIS DALAM KAMAR MANDI

: piyu Inilah kenangan pada jinjit anak-anak menarikan sebuah pagi dengan kerutan luka di keningmu. Aku ingin membuang kertas foto dan tasbih meretak pada doa kita dengan pengabulan paling sakral kali ini. Dewi langit dengan kebaikan nafas dan senja yang menguning di timur matamu, kapan kami akan pulang bersemedi dalam gairah waktu dan sepasang kekasih yang sedang membangun kuburnya dengan nama? 2013