Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

ABFGKLPQVW

Ada telaga, dan cuma kita yang mondar-mandir di pagi hari Di deretan toko yang padat kendaraan dan sinyal LRT Kau mengantongi setumpuk gorengan yang basah Nominal kartu kredit yang melempam Dan paket telepon reguler yang mulai kosong Kau mantap menatap langkah ibu-ibu pengendara sepeda ontel Yang berteriak 'sui ora jamu' Sedang di kepalaku, sudah tak ada catatan kaki yang memperbarui makna jamu selain minuman sehat Kau panaskan di dapur yang mengepul, sedang oksigen dan asap yang menebal Mustahil dijadikan hutan Kau saring dengan filter kopi celup Lalu mencelupkan perlahan jarimu hingga tenggelam Seperti malam yang tidak pernah merasa cukup bising Ia timbul di hadapanku, menenggelamkan kita yang perlahan membuka pagar sebuah rumah makan sushi Pukul sebelas malam, tukang parkir berkeliaran Memanggili calon pembeli esok hari Namun kau terus masuk lebih dalam Menarik tangan kiriku sambil memegangi kunci di tangan kanan Anak tangga ini berusia lebih matang dar

Hai!

Kau tahu bahwa mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih, tidak keluar begitu saja dari mulut. Kata-kata magis itu mempunyai makna yang mendalam, baik bagi yang mengucapkan maupun bagi yang mendengarkan. Ketiganya tidak lantas diucapkan karena kita terbiasa mengucapkannya dan kemudian menjadi kebiasaan sehari-hari. Akan ada bedanya apabila kata-kata tersebut diucapkan tanpa betul-betul bermaksud meminta maaf, meminta tolong, dan berterima kasih. Jika benar demikian, yang diucapkan tidak lebih dari konsep abstrak, sebab kita 'tuman'. Tetapi, siapakah kita yang berhak menghakimi persepsi orang lain? Ah, ada satu hal lain yang ingin saya utarakan. Apabila kata maaf diganti dengan terima kasih, apa yang akan terjadi? Apakah logika bahasanya tetap sama? Misalnya seperti ini, ketika mengucapkan "maafkan saya terlalu banyak bicara" diganti dengan "terima kasih bersedia mendengarkan saya kali ini". Ucapan yang pertama disampaikan karena kita merasa 'insec